Rabu, 18 Juli 2012









Franky Pandana didepan karya penulis dalam pameran di Rumah Seni Embun, Medan, 2012 (foto oleh penulis)

INTERVIEW DENGAN FRANKY PANDANA
Dari tanggal 11 sampai 18 Mei 2012 yang lalu saya melakukan ‘short residence’  di Rumah Seni Embun, Medan atas undangan pemiliknya, Franky Pandana (36 tahun, biasa dipanggil Franky), seorang  pengajar bahasa Inggris/kolektor/pelukis yang selalu bersemangat berbincang seni rupa.  Disana saya memberikan workshop woodcut, membuat karya, berpameran dan melakukan performance art saat pembukaan pameran. Dalam rentang waktu yang tidak panjang tersebut selain merasakan atmosfir yang baru dalam berkarya, saya juga berkesempatan mengenal lebih dekat Franky dan keluarganya.
Franky yang saya kenal sejak tahun 2006 (?) ketika ia membeli karya grafis saya lewat telepon dan dua kali bertemu muka di Magelang dan Yogya beberapa tahun kemudian, adalah pribadi yang hangat, terbuka dan cinta keluarga. Bicaranya lugas, apa adanya, penuh canda namun selalu serius. Setidaknya itulah kesan yang saya dapat dalam 7 hari ‘bergaul’ bersama dirinya dan komunitasnya. Ia sendiri (bersama Johnson Pasaribu/pelukis dan Bp. Jimmy Siahaan/kolektor dan pelukis) yang menjemput saya di Bandara Polonia Medan. Dalam masa tinggal saya, ia selalu menyempatkan diri menemani atau sekedar menjenguk aktifitas saya disela-sela kesibukannya mengajar kursus. Tak ketinggalan, istri dan dua anaknya, Peter (12) dan Paris (8) sedapat mungkin selalu ia ajak dan libatkan dalam kegiatan mulai dari workshop, ngobrol seni, persiapan pameran dan acara makan bersama. Ia juga rajin ‘memprovokasi’ teman-temannya yang belum terjangkiti ‘virus seni’ untuk mengikuti jejaknya menyukai seni dan mungkin menjadi kolektor. Keseriusan Franky dalam mengoleksi karya dan ikut membangun infrastruktur seni rupa  khususnya di kotanya  patut menjadi perhatian kita. Kita butuh lebih banyak lagi orang-orang seperti dirinya agar seni rupa ini terus bergairah dan dirayakan tidak hanya di ‘pusat’ tapi juga di ‘daerah’. Beberapa pikirannya tentang seni rupa dan seniman yang sempat ia obrolkan ke saya dalam masa tinggal di Medan rasanya sayang dilewatkan. Inilah yang mendorong saya untuk melakukan wawancara email sepulang dari Medan dan mencoba menggali kembali pikiran-pikirannya yang sempat ‘mengganggu saya’. Mudah-mudahan wawancara ini cukup bisa dinikmati pembaca.
Berikut ini hasil interview penulis dengan Franky Pandana. Pertanyaan dikirim Rabu, 6 Juni 2012 dan jawaban diterima dua kali: Sabtu, 9 Juni baru terisi separuh dan jawaban lengkap diterima Senin, 11 Juni 2012.
Interview Syahrizal Pahlevi with Franky Pandana/Rumah Seni Embun, Medan by email.

Syahrizal Pahlevi (SP): Anda dikenal sebagai bagian orang muda Indonesia yang serius mengoleksi karya seni  rupa saat ini, padahal anda tinggal nun jauh di Medan, bukan di   Magelang/Temanggung/Surabaya/Jakarta seperti kebanyakan kolektor. Apa tanggapan anda dan bagaimana anda ‘kukuh’ memposisikan diri sebagai kolektor diluar pusat seni rupa?
Franky Pandana (FP): Saya rasa seni itu transcends boundaries. Tidak ada masalah apakah kita berada di pusat seni rupa atau tidak. Sepanjang mempunyai rasa cinta dan tekad yang kuat apa pun mungkin terjadi saja. Suatu kebetulan saya cinta seni rupa sehingga saya tidak usah repot-repot memberi semangat atau pun diberi semangat hehehehe...Berada di kota yang sebenarnya tidak kondusif terhadap seni, saya merasa beban saya cukup berat karena saya harus melakukan sesuatu yang lebih daripada yang sifatnya pribadi. tapi bagaimana pun saya harus mengangkat "beban" itu dengan santai aja..hehehehe....

SP: Kapan anda mulai membeli/mengoleksi karya? Karya siapa dan bagaiamana ceritanya? Dari mana budget anda untuk membeli karya-karya itu…apa bisnis anda?
FP: Tahun 2004 dan saya membeli karya seniman Medan, Panji Sutrisno. Budget saya kalau membeli lukisan sampai sekarang jarang yang melebihi Rp 5 juta. Saya tidak punya budget yang besar  karena saya hanya guru Bahasa Inggris dan buka kursus kecil-kecilan di Medan, yang namanya CORPUS ENGLISH TUTORIAL CENTRE..

SP: Bagaimana cara anda mendapatkan karya-karya tersebut? Membeli lewat galeri/pameran atau langsung ke perupa? Apa anda juga melakukan subsidi silang dengan menjual beberapa koleksi untuk mendapatkan karya-karya tertentu? Apakah anda juga bermain di balai lelang dan mengikutkan beberapa koleksi anda?
FP: Ada beberapa karya yang saya beli lewat galeri dan lelang, tapi seringnya saya dapat dari perupa..enaknya kita dapat ngobrol sehingga saya bisa lebih mengenal karakter seniman dan karyanya...juga bisa dapat harga yang murah serta pilihan yang banyak..hehehehehe....Waktu booming saya pernah lepas karya seniman muda untuk beli karya Heri Dono, Mella Jaarsma dan Ugo Untoro..Senang banget waktu itu! soalnya seniman itu sekarang gak jelas perjalanan seninya...hehehehe

SP: Koleksi anda sekarang ada 300an…benarkah? Saya melihat ada banyak karya seniman Yogya dalam koleksi anda, apakah anda seorang‘Yogya mania’? Bagaimana dengan seniman Medan sendiri, apa anda ‘mewajibkan’ diri  untuk juga mengapresiasi seniman daerah anda? Dari sekian koleksi tesebut, karya atau seniman mana yang jadi pavorit anda? Mengapa?
FP: Kalau dihitung dengan sketsa dan karya kertas mungkin ada. Saya akui saya ceroboh dalam dokumentasi koleksi saya..tapi kalau ada yang hilang saya tahu juga hehehehe..Kebetulan yang saya sukai saya temui di seniman Yogya..Saya ada juga grafis Tisna (Sanjaya). Saya tidak merasa wajib mengoleksi seniman berdasarkan asalnya, tetapi saya merasa wajib mengoleksi karya seniman yang memenuhi 'kebutuhan'ku..hahahhahahaha..Saya suka Ugo, Mella, Harlen, L.Fairuzha (Boi) dan Ibrahim karena itu...mereka memenuhi 'kebutuhan'ku hehehehehe....

SP: Dari mana anda mengikuti perkembangan seni rupa, apakah anda memiliki link dengan institusi/lembaga/jaringan kolektor di pulau Jawa? Siapa saja teman diskusi anda dari sesama kolektor? Seberapa intens anda berdiskusi dengan mereka, tentang apa saja?
FP: Internet dan baca-baca ..saya banyak diskusi bersama Pak Suwito Gunawan di Jakarta dan Pak Jimmy Siahaan. kita diskusi dari masalah seni secara esensi sampai juga masalah pribadi. Dengan Pak Wito, kita sering berburu karya bareng di Yogyakarta.

SP: Termasuk gonjang-ganjing koleksi museum OHD?
FP: Yap..di Medan ada kenalan yang koleksinya saya curigai tetapi saya diam saja karena itu masalah yang sangat sensitif. Tetapi OHD telah  menjadi sebuah institusi sehingga kita harus lebih kritis pada saat yang sama harus extra hati-hati dalam membuat sebuah pernyataan.

SP: (jika jawaban ya) Ok, kita berkelok arah dahulu…jika anda mencurigai ada yang ‘tidak beres/palsu’ dalam koleksi seseorang/pihak tertentu, apakah anda akan memblow up sedemikian rupa atau menempuh langkah bijak lainnya? Seperti apa? Bagaimana jika dalam koleksi anda dicurigai pihak tertentu sebagai ‘ada yang diduga palsu’, apa tindakan anda?
FP: Selain intuisi sebagaimana dibahas dalam buku "Blink" karya Malcom Gladwell, saya juga menuntut adanya fakta ilmiah yang mendukung. Sebelum adanya bukti-bukti ilmiah mungkin lebih baik diadakan sebuah diskusi tertutup. Setelah terbukti palsu, maka pihak yang dimaksudkan harus menjelaskannya kepada publik lewat media ataupun secara terbuka. Itu lebih graceful menurut saya, tapi saya ini hanya guru Bahasa Inggris, kurang mengerti juga..hehehehehe...Kalau ada koleksi saya yang dituduh palsu, saya akan memberikan nomor telepon senimannya kepada yang nuduh. Tapi kalau senimannya sudah tidak bisa dikonfirmasi, saya minta bukti ilmiah...kalau terbukti palsu, saya akan berikan karya itu kepada yang nuduh mungkin lebih berguna buat dia..hehehehehe...

SP: Kembali ke aktifitas anda…anda juga melukis dan barusan berpameran tunggal di Penang, Malaysia. Sudah berapa lama anda melukis dan berapa banyak lukisan yang sudah dibuat? Bagaimana ceritanya sampai anda berpameran disana, komunikasi  seperti apa yang anda bangun dengan mereka?
FP: Udah cukup lama...saya suka gambar-gambar sejak kecil, tapi makin serius di tahun 2001 dan aktif lagi 2008 ketika saya merasa ada yang kurang ketika mengoleksi. Sekarang kalau dihitung dengan karya kertas lukisan saya ada ratusan juga. Tahun 2011 saya bersama Jonson, temanku yang juga seniman, menenteng lukisan ke Penang dan menawarkan ke galeri-galeri di sana. Sebelum ke sana, saya mempelajari karya-karya seniman di sana lewat internet. Semua informasi mengenai alamat galeri juga saya dapatkan dari galeri. Sampai di Penang, semua galeri yang kita kunjungi menerima karya kita dengan baik tapi kita putuskan berpameran di A2 Art Gallery di Bangkok Lane. Kebetulan Penang itu sister city kota Medan dalam soal bahasa tidak ada masalah...mau Mandarin, Hokkien, Kanton atau Inggris itu bahasaku juga..hehheheehe..tetapi kalau soal materi pembahasan sepertinya mereka lebih menitik beratkan pada pasar walaupun saya berusaha mengeser sedikit ke soal wacana..hehehehe. Penang mempunyai struktur seni rupa yang cukup baik loh.

SP: Jika melihat lukisan-lukisan anda terakhir, bagaimana kalau saya katakan anda sangat terpengaruh dengan koleksi-koleksi lukisan anda, terutama yang dari Yogya? Apakah anda memang memuja seseorang/sekelompok seniman atau menyukai gaya tertentu hingga terasa terbawa ke dalam visualisasi lukisan-lukisan anda? Anda  memiliki argumen tersendiri mengapa sampai demikian?Apa arti melukis buat anda?
FP:Malah mungkin saya yang mempengaruhi mereka...hehehehehehe...saya pribadi memang suka yang sepi, puitis cerdas tapi juga tertarik dengan yang enerjetik dan spontan...sebenarnya saling belajar lebih tepat dibanding pengaruh..Melukis bagi saya itu kegiatan yang alamiah dan juga pelepasan. Bukan sekedar hobi. Hobi adalah kegiatan waktu senggang, tapi saya juga gambar-gambar kok waktu tidak senggang..hehehehehe

SP: Sekarang anda memiliki ruang seni sendiri , Rumah Seni Embun yang berlantai empat di pusat kota ini. Apa yang mendorong anda membangun ruang seperti ini di kota anda? Apa yang anda harapkan dengan kehadiran ruang seperti ini dan bagaimana anda akan mengelolanya? Apa saja aktifitas yang sudah dibuat?
FP: Pada awalnya itu mau saya bikin sebagai tempat kursus juga, tapi saya bosan melakukan hal yang sama terus menerus..Saya memerlukan ruang buat berkesenian. Saya suka kumpul dengan seniman, sastrawan dan "sejenisnya". Kalau ngumpul ama teman-teman bisnis saya malah ngantuk..Jadi Embun itu tempat kita saling belajar seni, tempat pameran dan tempat main-main saya bersama teman-teman dalam arti yang positif loh..hehehehehe...Biaya pembangunan disponsori langsung dari kocek CORPUS, biaya operasionalnya dari kocek FRANKY sebagai guru, biaya pameran dari penjualan karya FRANKY...hehehehe..ke depan mungkin kita sewakan buat photo shooting session, product launching, birthday party dan sebagainya untuk extra income lah...kita sudah dua kali mengadakan pameran tunggal untuk Harlen Kurniawan dan Syahrizal Pahlevi serta woodcut workshop yang diadakan oleh Mas Levi..

SP: Kita tahu, beberapa ruang seni pernah didirikan di Medan, seperti Galeri Tondi, Komuitas Lak-lak, Galeri….(saya lupa namanya). Ruang-ruang itu sempat berkegiatan dan beberapa cukup mendapat publikasi secara nasional…tapi kemudian ruang-ruang itu berhenti beraktifitas atau terpaksa tutup. Jatuh bangunnya ruang-ruang seni di Medan, bagaimana anda melihatnya, apakah ini hal yang wajar ataukah ada yang salah disana, mungkin dalam pengelolaan atau hal lainnya?
FP: Itu terjadi kalau mengharapkan 'sesuatu' dan ketika harapannya tidak ketemu maka merasa rugi dan akhirnya ditutup. Wajar ketika mengharapkan 'sesuatu' tetapi kalau mengharapkan keuntungan materi, saya nasehatkan jangan deh...Medan belum menjadi kota yang tepat untuk bisnis seni rupa.

SP: Anda tidak takut ruang seni yang anda bangun ini akan bernasib sama dengan pendahulu-pendahulunya, tidak berumur panjang? Anda sudah punya antisipasinya dengan belajar dari sepak terjang ruang-ruang seni sebelumnya?
FP: Takut lah..makanya saya gak berani muluk-muluk dan hanya berani bikin paling banyak dua pameran setiap tahun dengan anggaran yang minim saja...Saya bikin asyik seperti acara keluarga saja lah kebetulan yang saya ajak pameran juga teman-teman saya...hehehehehe.

SP: Di beberapa kesempatan, anda bicara soal perlunya museum seni rupa di Medan…seberapa perlunya hal tersebut diwujudkan, mengingat Medan tidak dikenal karena seni rupanya, tapi mungkin cabang seni lainnya sebagaimana umumnya daerah-daerah lain di Sumatera, seperti seni sastra, tari, teater dan seni pertunjukan lainnya? Dan kalaupun ada perupa handal Indonesia kelahiran Medan, toh mereka lebih banyak beraktifitas dan terkenal  di Jawa sehingga tidak cukup untuk mengatakan Medan sebagai kota seni atau yang melahirkan seniman…apakah anda melihatnya seperti ini?
FP: Medan memang bukan sebuah kota yang kondusif untuk seni rupa tetapi kembali ke statement sebelumnya: seni itu tidak mengenal batas wilayah..Dengan adanya sebuah museum maka ada sebuah barometer mengenai apa seni rupa itu dan saya jarang ingin melihat seni itu dari cabangnya karena kalau di dalami, pendapatku loh, seni itu sama saja. Mungkin dengan adanya museum seni rupa, maka perupa kelahiran Medan tidak perlu lagi merantau ke Yogyakarta atau pun apa yang disebut sebagai pusat seni rupa Indonesia lainnya. Negara kita ini heterogenous loh...budaya Indonesia itu bukan hanya Jawa loh..belum lagi mixed cultural customs...dan Medan itu sebuah kota yang menarik karena setiap tradisi suku masih terasa. Datang saja lah ke Medan, suku Tionghoa-nya masih menggunakan bahasa Hokkien untuk sehari-hari demikian juga dengan suku-suku lainnya. Kemajemukkan sangat terasa cuma kadang-kadang ada kesalahpahaman bukan terhadap satu sama lain, tetapi ketidakpahaman bagaimana memanfaatkan kemajemukkan tersebut.

SP: Pertanyaan klasik…bagaimana dukungan pemerintah daerah terhadap senirupa dan seniman di Medan? Masih perlukah kita mengharapkan adanya perhatian dari pihak pemerintah dalam hubungan kebutuhan aktifitas seniman?
FP:Kalau sudah bicara pemerintah, biasanya saya hanya akan menaikkan alis mataku yang tipis itu sepuluh kali..heheheheheh....

SP: Apa peran Dewan Kesenian Medan, aktifkah mereka dalam merangsang pertumbuhan seni itu sendiri? Dekatkah hubungan pengelolanya dengan seniman atau komunitas seniman? Bagaiman dengan pihak swasta, adakah yang tertarik berinvestasi dalam kegiatan seni di Medan?
FP Saya sangat buta loh dengan kegiatan DKM mungkin sama butanya mereka dengan kegiatan dan juga visi mereka terhadap kesenian itu sendiri...hahahahhaha...kalau swasta itu umumnya kan tertarik dengan kegiatan yang bisa memberikan pendapatan, sampai sekarang saya belum ketemu pihak swasta yang seserius kursus Bahasa Inggris CORPUS dalam mendukung seni rupa....hahahahahah...bukan sombong loh hanya menyampaikan kenyataan...kekeekeke...

SP: Lalu seperti apa hubungan antar seniman sendiri di Medan? Apakah mereka mampu menciptakan iklim kondusif dengan saling mendukung, mendorong dan mengapresiasi aktifitas rekan-rekan seprofesinya?  Hubungan seperti apa yang semestinya dibina oleh seniman agar tercipta iklim saling menguntungkan?
FP: Salah satu kelemahan seniman Medan adalah malas. Malas memberikan informasi; malas belajar; malas mendukung yang lain; malah ada yang malas berkarya...Seniman di Medan umumnya kurang menghargai apa yang dikerjakan orang lain tetapi mau dihargai. Istilah teman saya: sudah dibeliin baju harus dipakaikan lagi..itu lah, yang membuat saya malas juga mendorong-dorong mereka. Sebenarnya seni itu 'kan sifatnya alamiah. Seniman itu harus tetap berkarya tanpa ada dorongan ataupun dukungan dari pihak lain. Dia harus mencoba menghidupkan seninya dulu sebelum pada akhirnya seni itu menghidupi dirinya...dan itu saya hanya temui tidak lebih dari lima jariku lah..

SP: Ini mengenai media massa yang seyogyanya masih kita percayai sebagai ujung tombak informasi, adakah telah memberi cukup ruang apresiasi terhadap seni? Adakah penulis dan kritikus Medan yang rajin menulis di media massa?
FP: Belum...penulis seni rupa di Medan itu orang-orang yang sudah merasa sampai di sebuah titik - sehingga, entah tidak mau atau tidak mampu belajar lagi..banyak hal-hal sepele dan yang sudah antik tetapi diangkat terus dan tidak tajam dalam penulisan. Tulisannya juga menggunakan bahasa atau kalimat planet lain yang tidak dimengerti orang Bumi umumnya..beberapa media memang menyediakan ruang buat seni rupa, tetapi penulis dan tulisannya mungkin yang harus diseleksi lebih serius. Ini juga PR buat saya sih..mungkin ke depan, saya harus mencoba menulis-nulis juga. hehehehe...

SP: Di era internet dan media online saat ini, apakah telah dimanfaatkan secara maksimal oleh seniman Medan untuk kebutuhan-kebutuhan berekspresinya? Website misalnya, menjadi kebutuhankah  atau belum dirasa perlu? Apakah Rumah Seni Embun telah memiliki website dimana setiap orang yang terhubung dengan internet dapat melihat profil dan aktifitas ruang tersebut?
FP:Teman-teman seniman Medan kurang membuka diri terhadap pihak luar..mereka lebih mengandalkan kemampuan berpikirnya sendiri. Padahal, siapa sih kita ini? Picasso saja mempelajari patung-patung Afrika. Sebenarnya di Rumah Seni Embun terdapat perpustakaan kecil bagi teman-teman yang ingin belajar. Saya membeli buku-buku monografi seniman seperti Cy Twombly, Anselm Kiefer, Basquiat dan sebagainya lewat internet...kalau tidak ada dana untuk akses ke internet, silahkan datang untuk baca-baca buku di Embun tapi yang mau untuk itu yah..kembali lagi tidak melebihi lima jariku..hehehehe...Untuk sementara, Embun belum memiliki bagian administrasi yang baik, tetapi ke depan pasti ada..bukan membela diri, tetapi saya memang masih mempunyai kegiatan lain yang banyak menyita otakku yang sempit ini juga...hehehehe

SP: Oya,…katanya anda pernah menggelar dan menjual karya anda di kaki-lima trotoar Medan, coba ceritakan sedikit tentang itu…apa motivasinya waktu itu, karena hemat saya toh anda sebenarnya tidak bermaksud mencari penghasilan tambahan dari menjual karya di kaki-lima seperti umumnya ‘seniman kaki-lima’ yang banyak kita ketahui.
FP: Heheheeheh...itu metode pengajaran saya sih: teaching by examples dan learning by doing. saya ingin memberikan sebuah contoh cara bertahan di seni rupa. Uang tidak pernah menjadi motivasi saya dalam bekerja..saya perlu uang sehingga saya bisa bekerja lebih baik saja. Jadi waktu itu saya bikin karya kertas dan menjajakan dengan harga murah meriah..karyaku laku Rp. 100.000 / 2 biji..hehehehe. Sayang, stands yang saya bikin telah saya berikan ke tukang parkir untuk dijadikan kandang ayam, karena teman-teman rupanya kurang bersemangat.

SP: Terakhir, bagaimana anda mendeskripsikan diri anda: …praktisi bahasa Inggris…pencinta seni…pelukis…pemilik ruang seni…atau apa?
FP: Saya manusia penuh cinta...hehehehehee.


Hmm…Begitulah Franky J (Syahrizal Pahlevi)

(tulisan ini setelah mengalami pengeditan oleh redaksi dimuat di http://indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=320 dengan tajuk "Kelemahan Seniman Medan Adalah Malas"



Kamis, 15 September 2011

PESAN DARI VERMONT

RESIDENSI.
PESAN DARI  VERMONT.
Program residensi Vermont Studio Center   mengandaikan terciptanya komunitas kreatif yang membaurkan batas-batas medium, kebangsaan, kultur dan usia. Lewat berbagai kegiatan yang terancang rapi dapat dirasakan bagaimana suasana kreatif itu dibangun
(prolog). 28 februari 2011...Sedianya dari bandara JFK, New York, setelah penerbangan 20  jam lebih dari Indonesia, saya akan menumpang Delta Airlines menuju Burlington Airport, Vermont. Ini airport terdekat dengan lokasi  residensi, Vermont Studio Center (VSC), Johnson, Vermont,  dan perkiraan waktu terbang 1 jam. Tapi sampai jarum jam bergerak ke angka 11.05, jadwal  berangkat pesawat  yang tercantum di tiket, tidak ada gelagat akan ada penerbangan saat itu. Cuaca yang masih banyak badai menjadi penghalangnya, begitu menurut keterangan petugas. Sebagian calon penumpang mulai gelisah bahkan beberapa terlihat bersitegang dengan petugas, hal  yang mirip juga seperti sering terjadi di Indonesia bila ada delay atau cancel dalam sebuah penerbangan.  Setelah menunggu tanpa kepastian hampir 2 jam, petugas Delta Airlines memberi pilihan pada  calon penumpang: perjalanan  menuju Burlington  diganti menggunakan bus atau menunggu penerbangan esok harinya. Karena tidak ingin berlama-lama lagi menunggu di airport (saya tiba di JFK sejak 27 februari sekitar pukul 8 malam), jadilah saya termasuk penumpang yang memilih mengganti melanjutkan perjalanan menggunakan bus.
Bus bertolak sekitar pukul 01.30 siang. Pemandangan di kiri kanan tidak banyak terlihat salju menghampar. “Wah, musim salju sudah akan selesai”, saya pikir. Namun semakin jauh perjalanan, tumpukan salju makin terlihat menebal dimana-mana. Dingin mulai menusuk, saya  memuaskan mata mengamati pemandangan dari jendela bus seakan tidak ingin melewatkan momen yang langka bagi saya ini sedetikpun. Kira kira pukul 8 malam waktu setempat bus tiba di Burlington Airport yang juga menjadi bus terminal. Ini artinya tidak ada lagi penjemputan dari pihak pengundang buat saya karena dalam pesan e-mail mereka mensyaratkan penjemputan maksimal dilayani hanya sampai jam 4 sore. Lagian kedatangan saya ini terlambat satu hari karena jadwal residensi saya dimulai 27 Februari.  Setelah mengambil koper dan bawaan, saya  memutuskan menyewa taxi yang ada disana agar sampai di tempat residensi malam itu juga. Pengemudi taxinya anak muda, perawakan agak kecil dan tipikal wajah timur tengah. Ia mengenalkan dirinya dari Irak,  Ahmad namanya dan seorang muslim. Saya mengatakan bahwa nama depan saya adalah Muhammad, mirip-mirip dengan namanya dan juga muslim - ini  dengan harapan agar  ia tidak membawa saya berputar putar yang berakibat ongkos taxi menjadi mahal. Keadaan jalan sangat gelap dan sepi, ditambah lagi saya orang asing, dengan orang asing dan di daerah yang asing pula. “Ah...semoga selamat sampai tujuan”, begitu doa saya. Kami memecah kesunyian dengan bercakap-cakap apa saja. Kira-kira 1 jam perjalanan taxi sampai di 80 Pearl St, Johnson, Vermont, gedung merah jantung, kantor VSC. Ternyata perihal nama kami yang mirip-mirip dan sesama muslim tidak berpengaruh terhadap ongkos yang harus saya bayar. Argometer menunjukkan angka 95,25 dan saya memberinya 100 dollar. Ongkos ini jauh lebih mahal dari tarif taxi biasanya yang berkisar 60-70 dollar menurut teman-teman residen yang kemudian saya temui disana.
Tidak ada staff VSC yang menyambut saya malam itu karena kantor mereka tutup pukul 4 sore. Tapi di meja ada pesan dalam tulisan tangan dari resepsionis , Kate Westcott, yang berisi ucapan selamat datang dan petunjuk mengenai dimana kamar saya, studio saya dan denah kampus VSC berikut kunci-kunci. Malam itu saya berkenalan dengan beberapa residen yang menunjukkan dimana saya bisa mengambil makanan untuk mengisi perut saya yang terasa kosong. Saya mendapat kamar di lantai dua  gedung Red Mill  yang merangkap kantor, dinning hall, lounge dan galeri. Bersebelahan dengan kamar saya adalah residen dari Singapore dan Jepang yang lebih dahulu datang.

Pesan Sejarah.

Vermont Studio Center/VSC (sebelumnya bernama Vermont Studio School) dibentuk  pada tahun 1984 oleh Jonathan Gregg (arsitek dan pelukis) bersama pasangannya Louise von Weise (praktisi pendidikan dan disainer grafis) dan Fred Osborne (pematung). Menurut situs www.vermontstudiocenter.org saat ini VSC adalah penyelenggara program residensi internasional untuk perupa dan penulis yang terbesar di Amerika Serikat. Setiap bulannya mereka mendatangkan 50 perupa dan penulis dari seluruh negara bagian dan belahan dunia dan 6 visiting artists/writers. Total setiap tahun ada 600 residen perupa dan penulis dan 72 visiting artist/writers yang datang ke VSC untuk bertemu, berbagi dan membuat karya baru. Kampus VSC adalah kampus yang ramah lingkungan, terletak di jantung desa Johnson, Vermont Utara yang tenang, agak terpencil dan memiliki panorama indah  dikelilingi  deretan pegunungan. Lembaga ini mendapat banyak pendanaan untuk menjalankan programnya mulai dari pemerintah kota, swasta, perusahaan, lembaga partner, kelompok hingga perorangan dengan kisaran sumbangan mulai 1 dollar sampai diatas 100 ribu dollar  Amerika.

Gedung-gedung VSC yang tersebar di tepian Gihon river yang jernih dan terawat menampilkan arsitektur yang menarik.  Saat ini  VSC memiliki  33 bangunan  hasil renovasi dari bangunan-bangunan tua dengan tetap memperlihatkan asal usulnya. Ada bangunan bekas pabrik penggilingan gandum yang menjadi gedung utama dimana terdapat dining hall, lounge, kantor dan galeri. Ada  bangunan bekas stasiun  pemadam kebakaran yang menjadi studio patung, ada bangunan bekas gymnasium tua, rumah-rumah dan bangunan tua lainnya yang  kemudian difungsikan sebagai studio, rumah tinggal, ruang kuliah, rumah meditasi, studio yoga, toko art material  dan taman. Nama-nama bangunan itu sendiri menarik karena sengaja dibuat untuk mengingatkan sejarah bangunan atau orang-orang yang berjasa atas perkembangan kota itu seperti: gedung utama Red Mill yang bekas pabrik tua Red, studio patung Firehouse yang dulunya stasiun pemadam kebakaran, Schultz Studios yang namanya diambil dari nama  pematung media kayu Elias “Dutch” Schultz, Barbara White Studios untuk mengenang artist dan philanthropist Barbara White Fishman, Church Studios yang sepertinya bekas gereja, Maverick Studios yang menjadi studionya residen penulis, lalu  Wolf Kahn Studios, Bradley House, Kowalsky House, Pearlman House,  Mason House dan lain-lain yang dari namanya menunjukkan komitmen lembaga ini pada sejarah kota.
Pesan Komunitas. 
VSC menawarkan independent working, tidak ada tenaga yang akan membantu  residen bekerja. Selain mendapat kamar tidur pribadi, masing-masing residen mendapat  studio sendiri dengan ukuran yang cukup luas dengan fasilitas untuk bekerja , seperti meja dan sketsel-sketsel besar di studio seni lukis/2D,  peralatan lengkap untuk membuat patung/karya 3D, studio kamar gelap untuk photography hitam-putih, printshop dengan mesin etching press dan beberapa fasilitas  standar membuat karya  grafis, studio live model bagi yang berminat, fentilasi dan pencahayaan yang baik, koneksi internet, perpustakaan untuk perupa dan penulis.  Mereka juga memiliki studio store yang lumayan lengkap dimana residen bisa mencari material berkarya kesukaannya. Tersedia juga ruang meditasi dan kelas yoga untuk menyegarkan pikiran. Sebagai program dari residen untuk residen VSC membuka kesempatan kepada setiap residen untuk menjadi sukarelawan membantu pekerjaan sehari-hari dalam masa tinggalnya seperti: membantu chef memasak, mencuci piring, bersih-bersih ruangan, berkebun, membantu pekerjaan administrasi di kantor atau membantu mengajar senirupa untuk anak-anak. Pekerjaan ini dilakukan bergantian dan akan diatur oleh koordinator masing-masing. Saya sendiri memilih mengajar anak-anak.
Berbagai aktifitas telah dijadwal oleh staff. Ada sesi resident slides 4 kali dalam sebulan sebagai ruang presentasi bagi residen perupa yang ingin berbagi. Ada resident reading yang merupakan ‘panggung’ bagi residen penulis. Kemudian  visiting artists/writers lecture dimana setiap bulannya 6 perupa dan penulis  Amerika dengan jam terbang yang tinggi memberi kuliah yang dapat diikuti siapa saja. Kemudian lagi  ada visiting artist/writers talk sebagai bentuk interaksi privat 30 menit antar visiting artists/writers dan residen di studio masing-masing residen. Lalu 2 kali setiap bulan residen didorong untuk berpartisipasi dalam sesi open studios, arena para residen perupa khususnya menunjukkan proses/hasil pekerjaannya dalam masa tinggal kepada sesama residen dan penduduk lokal.

Pesan Berbagi

Pada jam-jam tertentu sehari 3 kali dan 7 hari dalam seminggu residen, founder, direksi, staff, termasuk kolega VSC berkesempatan bertemu dan saling menyapa di ruang makan/dinning hall sembari menikmati hidangan lengkap yang disiapkan oleh chef dan pembantu-pembantunya. Sebagai pusat interaksi, dinning hall   menjadi  penting keberadaannya dalam program residensi ini  karena disinilah staff akan memberikan pengumuman, arahan, pesan dan info-info  yang perlu diketahui oleh residen. Di ruang ini pula dalam setiap dua minggu atau ketika ada residen baru yang datang, selain penyampaian hal-hal teknis berkaitan tata tertib residen  oleh staff,  secara khusus founder  akan memberikan pidato penyambutannya. Dalam sambutannya, founder  Jon Gregg  selalu menekankan akan perlunya kemauan dari tiap-tiap individu untuk berbagi dan meninggalkan ego selama menjalani program ini. Jon yang penganut Budhis, penggemar meditasi dan yoga dan dimasa mudanya pernah menjadi hippies ini mengingatkan residen agar menggunakan kesempatan ini buat berinteraksi dan saling membuka diri, menyerap hal-hal baru, membangun komunikasi yang baik, saling menghormati hak masing-masing dan menjalin persahabatan.

Hanya saja sayangnya tidak semua residen menanggapi dengan baik ajakan “berbagi” ini. Diantara kumpulan orang yang begitu banyak, ada saja beberapa residen yang tidak kooperatif dan  lebih mementingkan egonya hingga menimbulkan riak-riak kecil dalam berkomunikasi. Ketika banyak orang berkumpul dalam satu jangka waktu tertentu tentulah akan banyak karakter yang muncul walau secara kebanyakan saya bertemu residen yang mau membuka diri dan berbagi sebagaimana diharapkan oleh program residensi itu sendiri. Yang cukup mengganggu adalah ketika menghadapi residen yang tidak mengerti aturan main.  Saya sempat berkonflik dengan residen dari Asia Tengah yang ‘seenaknya’ menguasai fasilitas VSC untuk kepentingannya sendiri tanpa menghiraukan  aturan bahwa fasilitas yang ada untuk digunakan bersama. Konflik ini berlanjut  ketika dikemudian hari ia juga mencoba memaksa ‘memotong’ jatah waktu pameran saya untuk kepentingan presentasi karyanya. Saya tegas-tegas menolak permintaan tidak sopan tersebut karena tidak ada konfirmasi terlebih dahulu. Staff  yang mendengar  terpaksa turun tangan dan menegurnya karena tidak taat aturan.

Selain konflik saya dengan residen tersebut, ada residen penulis yang mengeluhkan betapa repotnya ia dengan karakter residen  penulis lain  yang menempati studio  disampingnya yang begitu “over sensitive” . Suara-suara sekecil apapun termasuk suara  komputer ketika on/off akan menjadi masalah besar dan berkepanjangan. Ketika saya akan  mulai membuat video wawancara dengannya pun kami terpaksa harus mengkonfirmasikan kepada residen ‘bermasalah’ tersebut bahwa kami akan ‘sedikit berisik’ dan mungkin akan mengganggunya. Dikesempatan lain saya juga menemukan seorang residen yang mencoba ‘mempengaruhi’ residen lain untuk  tidak perlu menjadi sukarelawan dan membantu pekerjan VSC. Baginya residen cukup menikmati semua fasilitas secara gratis tanpa perlu berbagi menyumbangkan tenaga. Untunglah residen yang coba dipengaruhi itu menolak ‘ajakan sesat’ seperti itu. Lalu ada juga residen yang dalam masa tinggalnya  tidak pernah  membuka studionya dalam sesi open studios. Ini cukup mengherankan dan dipertanyakan residen lainnya.  
Pesan Damai.
Diluar riak-riak kecil tersebut, program residensi ini diakui oleh kebanyakan peserta sangat bermanfaat. Khusus untuk sesi visiting artist buat saya adalah kesempatan berharga karena dapat bertemu dan berdialog secara empat mata dengan seniman yang memiliki jam terbang tinggi dengan sederat awards, grants dan pameran di museum-museum penting seperti Guggenheim, MOMA dan Metropolitan. Mereka antara lain:  Angelo Ciotti, seorang enviromental reclamation sculptor yang banyak menggarap proyek-proyek reklamasi lingkungan dari Itali sampai ke China  bekerja sama dengan LSM, pemerintah kota dan masyarakat. Carrie Moyer, pelukis, performer  dan aktivis lesbian, Katherine Bradford, pelukis dan  kartunis New York Times.  Xenobia Bailey, seniwati Afro-Amerika yang menekuni Crochet (disini seperti seni renda/rajut) dan terkenal dengan seri “Mandala”nya. Dijajaran penulis  ada  Stephen Dunn, peraih pulitzer award 2001.    
Karya saya sendiri inginnya menyoal tentang tujuan residensi itu sendiri. Dibenak saya, kesempatan residensi adalah untuk membuka cakrawala bergaul dengan komunitas baru, saling berbagi, menjalin komunikasi dan berusaha membuat jaringan buat kepentingan bersama. Saya membuat proyek “Moving Woodcuts” yang dalam prakteknya membawa peralatan mencukil kayu mengunjungi studio residen  dan bekerja langsung dihadapan mereka. Saya juga membuat wawancara seputar proses kreatif  masing-masing dalam format video 5-8 menit serta membuat seri foto “model dan woodblocks”. Sedangkan proses mencetak saya lakukan di studio. Karya ini dipamerkan di Red Mill gallery, 8 sampai 12 April 2011 yang lalu. Saya juga sempat membuat ‘demo woodcut’ untuk anak-anak elementry school disana. 
Berkumpul banyak orang, ada banyak ingatan yang terbawa. Kemeriahan penduduk lokal dalam “karaoke stage” dan permainan bilyard. Keramahan dan kesabaran staff, Keakraban “Asian Artists” yang ditunjukkan oleh Satoshi Hiroshe, Chunghee, Don Salubayba, Bao Ling, Boo Szee, Taro, Jihyun, pesan lintas kultur Elizabeth Hall, Lisa Addison dan Zoe Boucher, pesan lintas media penulis Thom Vernon, pesan cinta Anne Jacobs, penulis dan staff VSC yang merindukan perdamaian antara negeri asalnya, Israel dengan Palestina lewat puisi-puisi dan drawingnya. Hmm, masih banyak lagi…
(SYAHRIZAL PAHLEVI, perupa. Winner of Freeman Asian Fellowships Award 2010. Mengikuti Artist in Residency Vermont Studio Center, Johnson, VT, US dari tanggal 27 Februari sampai 22 April 2011 yang lalu).
                                                    pameran karya penulis di galeri Red Mill,
pameran karya penulis di galeri Red Mill,

                                                     pameran karya penulis di galeri Red Mill,
                                         suasana demo woodcut untuk anak-anak sekolah dasar
                                      suasana open studio seniman Canada, Stephanie Believeau.
visiting artist Angelo Ciotti didepan karya penulis saat open studios


salah satu gedung VSC