Selasa, 22 Juni 2010
Jogja Meradang
(mengapa) JOGJA MERADANG ?
Sejak kemunculan artikel Wicaksono Adi “Yang Keren dan Terkendali” di Kompas Minggu, 11 Januari 2009 lalu yang isinya banyak memuat pernyataan memperbandingkan antara perupa-perupa Bandung dan perupa-perupa Yogyakarta, telah membuat iklim seni rupa di Yogyakarta “memanas”. Sebagian perupa merasa “terganggu” dengan pernyataan yang menyudutkan kubu Yogyakarta dalam artikel tersebut dan serta merta menolaknya. Sebagian lagi pilih tenang-tenang saja tanpa merasa terganggu atau malah hanya tertawa geli membaca artikel yang “panas” itu.
Perbincangan antar seniman menjadi ramai. Perupa menjadi kerap bersilaturahmi, saling berkunjung, mengakrabkan dan merapatkan diri. Media komunikasi seperti telpon, sms, email, facebook, blog marak membicarakan seputar artikel . Ruang-ruang perjumpaan fisik antar seniman seperti kafe, lesehan, warung angkringan, rumah dan studio perupa juga acara pembukaan pameran hangat diisi perbincangan bagaimana seharusnya sikap perupa menghadapi artikel tersebut. Keadaan menjadi semakin riuh saat Kompas Minggu tanggal 18 Januari 2009 menurunkan artikel Yuswantoro Adi yang terlihat bertugas menangkis pernyataan dalam artikel Wicaksono Adi sebelumnya. Yuswantoro Adi yang nampak gesit dan selalu menyertakan humornya yang khas berusaha mematahkan poin demi poin pernyataan Wicaksono Adi yang dirasanya tidak tepat. Perbincangan seru, meriah, kocak tapi juga serius dalam menanggapi 2 artikel tersebut terjadi di facebook, kolom komunitas “Kembali ke Gampingan” yang dikelola Tarsisius Wintoro, alumnus ISI Yogyakarta (disana siapapun yang terdaftar dalam komunitas tersebut (hanya untuk alumni ASRI/ISI ? –penulis) dapat menyampaikan komentar atau pendapatnya dengan bebas dengan bahasa yang bebas pula dan tidak boleh tersinggung atau dalam jargon mereka pokoke nesu mulih). Beberapa komentar menganggap Yuswantoro Adi terpancing dengan wacana Wicaksono Adi yang seharusnya tidak perlu ditanggapi sedemikian rupa. Sementara beberapa komentar lain bersetuju dengan tanggapan itu dan menganggap perupa Yogyakarta perlu melakukannya agar publik melihat duduk perkaranya dengan tepat.
Blog pribadi Wicaksono Adi http://adi-wicak.blogspot.com/ pun tidak luput dari kiriman komentar pengunjung yang menanggapi tulisannya. Mulai dari komentar kekesalan, mencemooh maupun yang sekedar mempertanyakan mengapa ia sampai menurunkan artikel yang “mengganggu” perupa Yogyakarta. Minggu selanjutnya Kompas absen memuat artikel mengenai soal tersebut. Baru pada 1 Januari 2009, Kompas Minggu menurunkan tulisan G Budi Subanar ( seniman Yogyakarta akrab menyapanya dengan sebutan Romo Banar), “Dari Kepurbaan Nasirun sampai Mimpi Samuel” yang isinya juga mengkaitkan bahasannya dengan dua artikel tersebut.
Mengapa Wicaksono Adi “tega” (menurut istilah beberapa perupa) membuat pernyataan yang dapat “melukai” perasaan teman-temannya? Tidakkah seyogyanya ia yang notabene jebolan kota yang sama dan sempat beberapa tahun belajar di ISI Yogyakarta bertugas memberi semangat dan tips-tips kepada perupa-perupa eks sekotanya dalam melangkah menuju persaingan ke depan dan bukan malah “menjatuhkannya”? Beberapa teman perupa merasa pernyataan dalam artikel tersebut cenderung kasar, tendensius dan berpotensi meruntuhkan “reputasi” serta mengusik “zona aman” sebagian perupa mapan karena menisbikan apa-apa yang telah dicapai mereka selama ini. Artikel Wicaksono Adi yang mengeneralisir semua perupa Yogyakarta tanpa memilah-milah mana nama atau kelompok yang ia maksud dan mana yang tidak termasuk dalam kategori pernyataannya memang bisa meletupkan tafsir miring. Seolah-olah perupa Yogyakarta itu bodoh semua, seolah-olah perupa Yogyakarta kurang bacaan semua. Begitulah kira-kira tanggapan dan isi hati sebagian teman yang merasa “terlukai” oleh artikel tersebut atau dalam istilah Romo Banar sebagai , “ pihak yang terkena goresan pisau analisis Adi Wicaksono”.
Saya sebenarnya enggan masuk ke perbincangan tersebut, selain karena tidak merasakan “terlukai” atau merasa “terkena goresan pisau analisis” juga masih menunggukan lanjutan artikel Wicaksono Adi sekiranya ia sungguh-sungguh dengan pernyataan-pernyataannya yang cukup kontroversial itu. Namun setelah membaca tulisan Romo Banar yang membawa kedua artikel tersebut kedalam ulasannya mengenai peristiwa “Seniku Tak Berhenti Lama”, sebuah gelar seni pergantian tahun 2008 oleh perupa Yogyakarta ( aksi berkarya baik perorangan dan kolaborasi dimulai sejak pukul 15.00 WIB sampai detik-detik pukul 00.00 WIB, tanggal 31 Desember 2008 bertempat di Taman Budaya Yogyakarta ) dengan berat hati akhirnya saya terpaksa memikirkan kembali sebagian pernyataan Wicaksono Adi mengenai pembacaannya atas perupa Yogyakarta. Dan saya tidak ingin berkomentar.atas sebagian lagi pernyataannya yang mengarah asal muasal, perilaku, gaya hidup sampai cara berpakaian perupa segala.
Sebagai bagian dari ratusan “penyaksi” yang menonton dan ikut terlibat secara emosional momen tutup tahun “Seniku Tak Berhenti Lama” tersebut, saya merasakan adanya “jarak” antara gelar acara pertama dengan rangkaian kegiatannya berupa pameran karya-karya yang dihasilkan pada tanggal 24-29 Januari 2009 di tempat yang sama dan tajuk yang sama pula. “Jarak” yang bukan semata dikarenakan adanya perbedaan waktu yang jauh pelaksanaan kedua kegiatan tersebut, 23 hari setelah momen pergantian tahun.
Menyaksikan pameran hasil karya yang dimaksudkan oleh panitia sebagai dokumentasi “rekam jejak” kegiatan sebelumnya, saya menilai panitia terlalu banyak melakukan “polesan” atas materi karya yang dipamerkan sehingga mengurangi “greget” kegiatan itu sendiri. Berkali-kali saya mengitari ruang pameran sekedar berusaha mendapatkan kembali “emosi, kenangan atau sisa-sisa cerita” yang saya rasakan ketika menghadiri “prosesi” gelar seni tersebut, saya tetap saja gagal. Tidak ditemukan jejak keriuhan, kekhusukan sekaligus gegap gempitanya aksi seniman sebagaimana digambarkan dengan positif oleh Romo Banar lewat catatan di brosur pameran “Di satu kanvas, tatkala masih sepi pengunjung, Djoko Pekik menorehkan kuasnya. Di ujung kanan, pesta rakyat dihadirkan dalam 4 figur perempuan dan 1 pria bertopeng. Di sebelahnya Suatmaji menggorekan tulisan Merahnya Merah, entah secara sadar merespon Djoko Pekik atau memang menghadirkan gagasannya sendiri untuk memberi sebutan beberapa figur yang digoreskan......dst. Di sebuah kanvas lain, Nasirun menghadirkan sosok binatang, entah lembu, banteng atau kerbau?.......dst. Dengan model yang dicari secara dadakan, beberapa pelukis Andre Tanama, Bambang Herras, Hari Budiono, Melodia, Yuswantoro Adi berkolaborasi mengerjakan lukisan seorang gadis cantik dalam posisi setengah tertidur. Bersamaan dengan kegiatan mereka, beberapa respon digoreskan. Akhirnya menjadi semacam ilustrasi sebuah bak truk, seorang gadis setengah tertidur dengan beragam tulisan Restu Ibu, Selalu on Time......dst” (Brosur Pameran Seni Rupa, SENiKU TAK BERHENTI LAMA !, Taman Budaya Yogyakarta, 24-29 Januari 2009).
Justru saya mendapati beberapa karya kolaborasi yang menjadi unggulan gelar seni tutup tahun tersebut telah berubah bentuk, tidak sebagaimana apa yang digambarkan oleh catatan Romo Banar di brosur pameran dan kesaksian siapapun yang hadir disana pada waktu itu. Karya-karya kolaborasi itu kini terlihat sangat terencana, rapih,bersih dan tertib visualnya jauh dari mengesankan hasil dari sebuah aksi seni yang, spontan, liar dan ekspresif. Tampaknya panitia sadar betul pentingnya mengemas pameran sekalipun harus meniadakan “jejak rekam peristiwa” karena emosi dan sisa-sisa cerita yang terhapus.
Ketika saya mencoba mengkonfirmasi soal tersebut, lewat seorang panitia saya mendapat penjelasan bahwa karya-karya kolaborasi itu memang mengalami pengerjaan ulang, dirubah dan dibuat agar “lebih selesai” untuk keperluan pameran. Panitia menilai karya-karya kolaborasi yang dibuat pada acara tersebut sebagai karya yang “tidak selesai/kacau bentuknya/tidak fokus apa ceritanya/tidak layak buat konsumsi pameran (dan dijual)” sehingga perlu ada pengerjaan kembali dengan menambah, menghapus dan mengganti visualnya sesuai yang dikehendaki oleh panitia. Pengerjaan dimulai tanggal 4 Januari sampai mendekati hari pameran, yang berarti 3 hari setelah momen tahun baru, yang berarti juga ketika suasana perayaan telah selesai.
Pantas saya tidak menemukan beberapa karya “penting” yang dapat dipakai untuk merujuk peristiwa pergantian tahun oleh perupa Yogyakarta tersebut. Tentu saja dalam kolaborasi tindakan merubah dan menghapus adalah hal yang sah. Namun, tetap saja terasa ada yang patut disayangkan karena aksi perupa yang menarik, akrab, bersahaja, eksperimental, demokratis, spontan, bermain-main, liar, rileks, inspiratif dan penuh kesegaran tersebut berbalik menjadi seolah kegiatan pameran biasanya, mapan, kehilangan semangat bermain, tidak spontan, terdikte, tidak rileks dan berkurang kesegaran ketika ditarik dalam sebuah pameran yang nampak mengusung beban tertentu.
Sejatinya pameran tersebut diniatkan panitia sebagai ajang penggalangan dana abadi seniman Yogyakarta guna menyantuni seniman-seniman yang membutuhkan: seperti seniman telah berusia lanjut, yang sedang sakit, yang bernasib kurang baik, mengalami bencana dan keadaan membutuhkan bantuan lainnya. Sebuah tujuan yang mulia (oya, kabar terakhir 4 karya kolaborasi unggulan tersebut telah terjual....Alhamdulillah). Ide pengumpulan karya perupa lewat kegiatan tersebut antara lain berawal dari keprihatinan sekelompok perupa atas nasib mendiang istri almarhum RJ Katamsi (Pendiri ASRI) yang kehidupan sampai ajal menjemputnya baru-baru ini nampak kurang mendapat perhatian dan bahkan kalangan perupapun tidak banyak yang mengetahuinya.
Barangkali untuk tujuan inilah dapat dimengerti sekaligus tetap mengundang pertanyaan mengapa panitia begitu peduli atas “mutu” karya-karya yang akan dipamerkan. Untuk rangkaian kegiatan yang inginnya “keluar dari kemapanan” itu lagi-lagi panitia-yang merupakan perupa-perupa Yogyakarta- kembali masuk dalam “kemapanan” itu sendiri. Dalam pengerjaan karya kolaborasi yang seharusnya sangat mungkin mengarah pada hasil tak terduga, panitia ternyata telah menentukan ukuran “selesai tidaknya” sebuah karya, “kacau tidaknya” bentuk karya, “fokus tidaknya” cerita dalam karya dan “layak-tidaknya” karya tersebut dipamerkan (dan dijual). Sebuah sikap mendua rasanya untuk aksi kolaborasi yang digelar di muka umum tersebut. Sebenarnya bila mau, panitia bisa saja membuat beberapa karya tambahan yang benar-benar baru dengan material baru pula buat kepentingan tersebut sehingga “sisa-sisa cerita” tidak hilang dan niat panitia menghadirkan karya “pantas pamer” dan “pantas jual” tercapai. Nyatanya panitia memilih mengganti kolaborasi Djoko Pekik dan Suatmaji menjadi karya yang dipercayakan digarap oleh Djoko Pekik saja (karena nama Suatmaji tidak menjual?) dalam sebuah kanvas. Di kanvas lainnya panitia memandang karya kolaborasi bersubyek perempuan setengah terlentang yang riuh, liar, penuh teks dan goresan-goresan spontan oleh peserta sebagai karya yang “tidak selesai/terlalu kacau bentuknya/tidak fokus cerita” hingga memutuskan menghapusnya dan menggantikannya dengan visual baru yang “lebih selesai, tertib bentuk, terfokus ceritanya dan layak pamer (juga layak jual)”. Atas adanya perubahan visual karya “penting” ini, data-data yang dimiliki oleh Romo Banar sebagai bahan ulasannya dalam brosur pameran menjadi kehilangan konteks hingga ia dalam kesempatan membuat artikel untuk harian ini terpaksa menambahkan keterangan dengan: “Dalam pengerjaan selanjutnya, Ong Hari Wahyu menyodorkan konsep (akhir) karya kolaborasi “Perempuan menanti fajar” hadir dalam seorang gadis setengah tertidur bermandikan mawar merah. Dengan latar kuning, gadis yang menyanding perahu-perahu kertas goresan Dyan Anggraini berubah menjadi “Perempuan menanti fajar” yang sangat romantis.....dst”.
Demikianlah potret (sebagian) perupa Yogyakarta. Penulisan hasil pembacaan atasnya memang tidak cukup dilakukan hanya dalam satu kali saja.
SYAHRIZAL PAHLEVI
Perupa, tinggal di Yogyakarta
(Dikirim ke Kompas,5 Januari 2009, TIDAK dimuat)
Awas, Komo Lewat!
(Pameran)
“AWAS, KOMO LEWAT !”
Judul diatas mengingatkan kita pada teks sebuah lagu anak-anak tahun 90-an yang cukup populer. Dikisahkan lalu-lintas berkendaraan di jalan menjadi macet setiap si Komo - boneka orang-orangan berwujud komodo - lewat, sebab semua perhatian pengendara tertuju padanya. Namun dalam tulisan ini Komo justru lewat untuk memecah “kemacetan”. Kemacetan karena banyak pameran seni rupa yang mulai membosankan.
Maka publik seni rupa harap awas!
Pameran Seni Rupa Surya Wirawan atau Komo (35 tahun) di Kedai Kebun Forum Yogyakarta yang berlangsung dari tanggal 5 sampai 31 Desember 2008 yang lalu terasa mengobati kepenatan dalam menonton pameran seni rupa.
Betapa tidak, ditengah gencarnya sodoran karya-karya perupa kita dalam berbagai pameran tahun-tahun belakangan ini yang seakan-akan berlomba membuat karya dalam ukuran serba besar (termasuk juga membuat tema yang seragam) TETAPI tidak sedikit yang “kedodoran” dalam penggarapannya, Surya Wirawan atau Komo-biasa ia dipanggil teman-temannya - justru konsisten dengan karya-karya ukuran mini atau karya kecil bermedium kertas ( dengan tema yang telah lama digelutinya, yaitu persoalan sosial-keseharian ) dan senantiasa terjaga kwalitas penggarapannya. Kecenderungan seperti ini memang telah melekat pada sosoknya sejak lama: Surya Wirawan atau Komo = tema sosial-keseharian= karya ukuran kecil = penggarapan yang detail.
Memasuki ruang pamer terasa ada kesejukan menatap display yang rapih, bersih dan dinamis penempatan karya-karyanya. Karya-karya yang umumnya bermedia kertas dalam ukuran kecil-kecil dikemas apik dalam frame-frame kaca warna natural dan pasporto yang rapih. Mata kita diajak terfokus di tiap-tiap karya dan kaki seakan dengan sukarela melangkah mendekatkan tubuh ini rapat ke fisik karya... menyerap persembahan teknik menggambar yang rinci dan aduhai...menelisik ke bagian-bagian yang kecil...sambil sesekali tertegun, terhenyak atau dibuat tersenyum kecut mengikuti plot-plot ceritanya.
Ada 50 frame karya dalam pameran ini yang dikerjakan dengan teknik beragam: 48 karya menggunakan kertas sebagai supportnya mulai dari teknik drawing pena (5 frame), cat air (12), tinta (1), cetak etsa (24) , cetak cukil kayu (6) dan 2 lukisan media cat akrilik di atas kanvas. Kesemua karya tersebut dibuat dalam ukuran rata-rata 20x30 cm, banyak yang lebih kecil lagi dan hanya satu-dua yang dibuat agak besar ( drawing tinta di atas kertas ukuran 63,5x96cm dan sebuah lukisan cat akrilik diatas kanvas, yang merupakan gabungan 2 panil karya masing-masing berukuran 80x70cm ). Kita dapat mengatakan karya-karya Komo dalam pameran ini tetap terkategorikan karya ukuran kecil atau mini.
Karya-karya tersebut dibuat dalam kurun tahun 2000 sampai yang terbaru tahun 2008 (drawing tinta bertarikh tahun 2000, drawing pena 2001, cukil kayu dan etsa 2002-2005, drawing cat air 2007-2008 serta lukisan cat akrilik 2006 dan 2008). Kita bisa mengikuti alur Komo, sejak dari karya bertema sosial kerakyatan ala Kelompok Taring Padi (Komo sempat lama menjadi salah satu anggota aktif) dengan ciri-ciri gambaran “tangan mengepal, alat alat perang, tentara, sosok petani dan teks-teks provokatif” hingga pergeseran tema karya-karya terakhir yang terasa lebih lembut dan lunak yang ia namakan topik “rasan-rasan tetangga” walau tetap saja sesekali muncul pesan-pesan atau celetukan “menohok” disana. Sepertinya pameran ini memang dipersiapkan untuk menunjukkan kecenderungan tema-tema dan pilihan media Komo yang bergeming ditengah terjangan arus seni rupa kita belakangan ini. Komo tetap saja mengangkat tema-tema sosial lewat tokoh-tokoh pinggiran/keseharian yang menjadi pavorit dan juga nampak seakan dijadikan komitmen kesenimannya - disamping petualangan teknik dan karya-karya mini tadi.
Kita diajak menikmati suguhan: Ada gambaran alam perkampungan dengan plang peringatan “NGEBUT SIKAT NDASE!” tertempel di sebuah pohon (“Rambu Terakhir”, etsa, 10x15 cm, 2004), ada gambaran penarik becak yang hanya bisa duduk di bangku warung makanan sementara becaknya dibiarkan kehujanan (“Sejak pagi hujan tak reda”, drawing pena, 18,5x27,5cm, 2001), ada gambaran sosok “Bos” dan aparat militer yang sedang bertransaksi jual beli senjata sementara di sisi atas dan bawah gambarnya ada teks menyolok “HENTIKAN! PERDAGANGAN SENJATA INTERNASIONAL” (“Kartu Pos”, cukil kayu, 10,5x15 cm, 2003), ada pula komik ala gambar umbul yang penuh warna dengan tokoh Petruk-Gareng dalam fragmen lucu-ngenes “Lampu”( cat air, 20x27cm, 2007), ada kisah tokoh-tokoh pilihan Komo seperti 3 seri etsa empatinya akan sosok penyair Wiji Thukul, etsa potret penyair eksil Agam Wispi, dan kisah kisah “pinggiran” lain.
Visualisasinya khas, mengingatkan kita pada gambar-gambar komik/ ilustrasi-ilustrasi lama dan digarap rinci sampai ke detail-detailnya. Tekniknya, baik drawing pena, cat air, cetak etsa ataupun cukil kayu tergarap rapih, detail, dan menunjukkan adanya minat yang sama kuat pada masing-masing teknik dari perupanya.
Perihal ini, komo mengatakan “Mencoba teknik merupakan hal yang seru untuk tetap dikerjakan” ( katalog Pameran Seni Rupa Surya Wirawan 2000-2008 ).
Ya, teknik memang menantang, dan sesungguhnya tidak sesederhana dibayangkan. Seniman perlu memiliki referensi atau pengetahuan memadai perihal teknik tersebut ketimbang sekedar mengikuti mood atau emosi apalagi kehendak pasar. Tidak banyak seniman yang berhasil baik dan mencapai kesenangan ketika berusaha mencoba-coba teknik.
Komo termasuk kategori yang tidak banyak itu. Dan keseriusannya mencoba teknik tampaknya masih akan berlanjut. Dalam kesempatan perbincangan, ia mengungkapkan keinginannya yang belum terpenuhi untuk membuat karya diatas media daun lontar.
“Suatu saat...”, katanya dengan senyum khasnya. Wah!
Kembali menilik kecenderungan Komo dengan karya-karya ukuran kecilnya,
tentu saja kita akan mengatakan bahwa soal besar kecilnya ukuran karya bukan hal pokok dalam seni rupa, karena yang lebih utama adalah sejauh mana ide-ide seniman mampu tertampung secara utuh dengan pilihan medianya. Ini berarti seniman perlu memiliki standar tertentu yang ditaatinya secara teguh-hati dalam setiap penggarapan karyanya. Apa yang secara teratur dilakukan Komo dengan pilihan membuat karya-karya dalam ukuran tertentu sejauh yang ia rasa kuasai dan dengan standar penggarapan yang terjaga, mengajarkan pada kita akan sebuah sikap berkesenian yang tidak latah-latahan, teguh, penuh kontrol, tidak grasa grusu, tidak kemrungsung, tenang tapi pasti.
Komo terasa sangat memegang kendali dan tahu benar kapan saatnya sebuah karyanya ia nyatakan selesai dan siap berpindah ke karya lainnya. Hal yang bertolak belakang dengan apa yang terjadi di banyak seniman kita saat ini. Banyak ditemukan karya-karya dikerjakan seadanya karena senimannya tidak sabar berpindah ke karya lainnya.....plus berbagai alasan pribadi jika kita nekad menanyakannya.
Jadi tidak berlebihan bila Neni, direktur Kedai Kebun Forum, dalam pengantar katalog menuliskan “....Surya Wirawan dengan kertasnya yang mungil adalah oase yang menyejukkan”.
Tentu bukan tidak ada kritik atas pameran ini. Sepertinya kehadiran 2 buah karya “Uang Palsu”, tinta diatas kertas, 63,5x96cm, 2000 dan “Pesakitan”, cat akrilik diatas kanvas, 80x70cm x 2 panel, 2008 - yang merupakan karya dengan ukuran terbesar dalam pameran tersebut - terasa mengganggu penikmatan dikarenakan kalah kualitas dibanding rata-rata karya lainnya. Tampaknya Komo sedang ingin bereksperimen teknik atau cara ungkap lain dalam kedua karya ini, namun pencapaiannya terasa belum maksimal.
Selain itu adanya banyak karya cetak etsa dan cukil kayu yang tidak menerakan nomor edisi rasanya perlu menjadi perhatian seniman. Jawaban seniman yang nampak sekenanya saat penulis menanyakan perihal tersebut dengan mengatakan, “Nggak tak tulis....males nulis nomor edisi...nggak tau juga nyetak berapa banyak” sepertinya bukan keputusan atau sikap yang patut dipertahankan saat membuat karya cetak grafis. Menurut penulis, media ini menuntut transparansi dan tanggung jawab penuh senimannya. Pencantuman nomor edisi penting untuk menandai dan melacak ada berapa cetakan sesungguhnya yang dianggap sah oleh seniman pembuatnya. Kepentingannya ketika karya tersebut hendak dikomunikasikan. Otentisitas dan umur karya dengan media ini dipertaruhkan oleh sikap seniman. Kalaupun ada saatnya perihal kontrol edisi tidak diperlukan atau karya sengaja dicetak massal, itupun perlu ada keterangan agar publik tidak dirugikan karena dapat menandai mana karya yang dicetak terbatas dan mana yang tidak. Mestinya detail-detail seperti ini tidak dianggap beban atau menjadi hal merepotkan bagi seniman.
Diluar itu semua, pameran ini memang mengesankan.
Selamat buat Komo dan juga Kedai Kebun Forum atas “mengiringi tutup tahun yang cantik” ini.
Yogyakarta, 29 Desember 2008
Syahrizal Pahlevi
Perupa tinggal di Yogyakarta
(dikirim ke Kompas dan Suara Merdeka, TIDAK dimuat)
Selasa, 15 Juni 2010
Publik Berhak Menolak Seniman
Publik Berhak Menolak Seniman
Sebenarnya dikalangan seniman sendiri sudah mulai banyak meragukan, apa pentingnya ‘public art’ ataupun seni rupa di ruang publik, bila kenyataannya ia menimbulkan masalah ditengah ruang yang ditempatinya. Masalah tersebut bisa berupa pengacuhan/penolakan/pemindahan/ sampai pembongkaran oleh pengguna-pengelola-pemilik ruang publik
Saya setuju dengan apa yang ditengarai oleh Suwarno Wisetrotomo dalam tulisannya di Kompas Minggu, 10 Januari 2010 yang menyinggung perihal pemindahan/pembongkaran beberapa karya Biennale Jogja X oleh aparat/masyarakat setempat sebagai akibat dari kurangnya komunikasi semua pihak.
Cuma tulisan itu tidak menjelaskan apa duduk persoalannya, atau memang tidak ada kesempatan penulisnya menginvestigasi ke berbagai pihak sehingga hanya mampu menduga-duga bahwa ada 3 hal yang mungkin terjadi yaitu; -adanya kesenjangan apresiasi masyarakat terhadap karya seni, -sikap sewenang-wenang aparat pemerintah terhadap karya seni dan -adanya sikap sewenang-wenang seniman yang mengagungkan kebebasan berekspresi.
Saya sendiri tidak mengetahui banyak insiden tersebut, namun sempat mendengar sas-sus bahwa sebagian masyarakat disekitar lokasi salah satu karya ditempatkan merasa terganggu/risih/tidak nyaman dengan bentuk visual karya tersebut. Entah mana yang benar. Namun dari banyak kritik yang muncul dalam pembicaraan/diskusi mengatakan hal senada yang intinya bahwa banyak karya ‘public art’ atau karya di areal publik dalam Biennale Jogja X ini memang cukup memberi peluang munculnya pertanyaan apa perlunya karya tersebut ditempatkan disana?
Biasanya, akibat sepotong-sepotongnya informasi yang kita terima namun terlanjur dipersepsi secara tertentu akan selamanya menjadi informasi yang tidak jelas..
Kebetulan saya memiliki pengalaman bersinggungan dengan peristiwa pembongkaran/penolakan karya di ruang publik yang dipersepsi sepihak oleh kalangan seniman dan pers ketika itu karena minimnya penggalian informasi.
Dalam peristiwa BINAL 92 atau BINAL Eksperimental Arts - 1992 (event tandingan Biennale Seni Lukis Yogyakarta III, 1992) yang didominasi karya-karya di ruang publik, ketika itu santer kabar termasuk pers memberitakan ada beberapa karya di Stasiun Tugu yang dibongkar paksa oleh pihak stasiun tanpa menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya. Fakta tersebut benar adanya, tapi karena diberitakan/dihembuskan sepotong tanpa penjelasan duduk perkaranya, opini yang terbentuk adalah telah terjadi perbuatan sewenang-wenang oleh pihak pengelola ruang publik terhadap seniman. Pihak panitia pada saat itu dianggap tidak berbuat apa-apa atau tidak membela kepentingan seniman.
Saya ingin coba meluruskan apa yang terlanjur dipersepsi sepihak oleh sebagian seniman dan pers waktu itu. Kebetulan pada saat itu saya menjadi peserta sekaligus koordinator seniman-seniman (mayoritas kami berstatus mahasiswa FSRD ISI Yogyakarta ketika itu) yang menggelar karya di kompleks Stasiun Tugu Yogyakarta dengan bingkai judul/kelompok “Kerja Seni Waktu Luang”. Agak mundur kebelakang, dalam negosiasi kami ke pihak stasiun yang ketika itu kepala stasiun dijabat oleh Bp. Afianto, disepakati bahwa wujud dan penempatan karya seniman tidak boleh membahayakan publik dan secara khusus karya TIDAK BOLEH digelar mendekati sekian meter dari rel kereta (apa lagi ditengah rel). Alasannya sangat jelas karena dikhawatirkan karya atau kerumunan orang yang melihat karya tersebut dari dekat dapat membahayakan kereta yang lewat. Pihak stasiun menyediakan halaman depan, lobby tiket dan ruang tunggu sebagai lahan penempatan karya dengan catatan pengaturan/display dilakukan tertib agar lalu lintas kepentingan publik disana tidak terganggu. Pihak stasiun mengharapkan seniman dapat mengatur sendiri dan menyesuaikan dirinya dengan kondisi yang ada disana. Kesepakatan telah tercapai antara panitia dengan pihak stasiun dan isi kesepakatan tersebut telah disampaikan ke seniman peserta. Namun kenyataannya dalam praktek tidak semua seniman memahami/menyetujui kesepakatan tersebut. Saya kurang tahu apakah komunikasi antara panitia dan seniman peserta yang kurang ataukah karena ada diantara seniman yang menuntut kebebasan lebih namun tanpa melakukan negosiasi terlebih dahulu. Artinya disini panitia kecolongan, dan pihak stasiunpun merasa kecolongan.
Ada sedikit rahasia dalam negosiasi; sebenarnya pembicaraan antara panitia dan pihak stasiun pada waktu itu tidak sampai menjurus ke detail karya. Kami sengaja (dengan sedikit nakal ingin membuat shock publik sebagai salah satu tujuan pameran tersebut) tidak membeberkan secara jelas rancangan karya karena khawatir akan kerepotan menjawab banyak pertanyaan dan terhambat mencapai kesepakatan. Ditambah di tahun itu situasi untuk menggelar karya di ruang publik bukanlah hal yang mulus-mulus saja sehingga kami dapat dianggap beruntung karena pihak stasiun cepat welcome dengan kehendak seniman. Ada keyataan lain pula pada waktu itu; kami dikejar waktu harus segera mendapat tempat untuk menggelar karya dan rata-rata seniman peserta tidak secara detail pula mengumpulkan rancangan karyanya ke panitia. Jadi proses negosiasi pada waktu itu lebih kepada akal-akalan, bersiasat, sedikit berbohong, nekad dan berdasar rasa saling percaya bahwa semua pihak akan saling menjaga dan menghargai. Bila saya tidak salah ingat ketika itu ada dua karya yang dibongkar/diminta dibongkar oleh pihak stasiun dan satu karya yang ditolak dan terpaksa dipindahkan ke tempat lain ke galeri Senisono. Jadi ada 3 karya; pertama “Baling-Baling Jaman” berupa instalasi kitiran-kitiran kertas yang ditancapkan dipinggir rel kereta karya Nurkholis/Kelompok Cling, kedua “Kebebasan Yang Dangkal” berupa objek layang-layang kertas yang (coba) dipasang di kabel listrik di halaman stasiun karya Yos Andriadi dan ketiga “Sampah Kemerdekaan dan Gambar Perlawananku” berupa drawing di atas bahan gedek bambu karya Athong Sapto Rahardjo yang dipajang di lobby tiket. Saya kira orang normal manapun akan paham bahwa penempatan karya-karya yang disebut pertama dan kedua beresiko sangat tinggi. Karya dipinggir rel akan mengundang kerumunan penonton yang beresiko tersambar kereta lewat. Sedang karya di kabel listrik beresiko terjadi korslet yang dapat membahayakan siapapun Dan pihak stasiun tidak ingin mengambil resiko tersebut. Mengenai karya ketiga saya akui ada kekhawatiran berlebihan termasuk sikap hati-hati /belum terbiasa dari pihak stasiun terhadap ‘gaya ilustrasi verbal’ yang dibuat oleh sang seniman. Sebenarnya dalam masa pameran beberapa karya lain juga sempat ‘ditawar ulang’ oleh pihak stasiun seperti sempat disembunyikan/digeser/dipindah tempatkan karena mereka memiliki pertimbangan sendiri. Namun semua dapat diselesaikan lewat komunikasi yang intens (bahkan mereka ‘ketagihan’ minta dibuatkan acara serupa dilain waktu-dimana beberapa diantara kami kemudian memang sempat melakukan ‘kegiatan kecil’ disana beberapa bulan setelah BINAL 92 selesai). Barangkali pers ketika itu, lewat judul-judul yang panas, sekedar ingin menyoroti aksi sepihak pembongkaran/penolakan yang tanpa sepengetahuan atau mungkin tidak bisa diterima oleh seniman peserta tanpa melebih-lebihkannya (insiden ini pula sepertinya -disamping pemicu-pemicu lain- yang telah menimbulkan gejolak diantara peserta dan ikut menyulut keinginan sebagian teman peserta untuk melakukan aksi boikot serta memaksa panitia mengeluarkan surat pernyataan bahwa kelompok Kerja Seni Waktu Luang/FSRD ISI keluar dari daftar acara BINAL 92 , lihat “Tiga Karya Urung Dipamerkan”, Bernas, 29 Juli 1992, “Pameran Binal Eksperimental Arts Ricuh, FSRD memisahkan diri”, Bernas , 30 Juli 1992 dan “Ditutup, Kerja Seni Waktu Luang”, Bernas, 31 Juli 1992). Agak kisruh situasi ketika itu karena simpang siurnya informasi. Namun disini kita bisa menilai, apakah seniman yang kelewat ingin bebas ataukah pengelola ruang publik tidak paham karya seni?
Ade Darmawan, direktur Ruang Rupa Jakarta dalam pernyataannya di sebuah diskusi rangkaian acara Biennale Jogja X mengajak agar seniman meninggalkan pikiran bahwa seluruh ruang publik yang ada di kota adalah galeri, tapi hendaknya mulai berpikir menciptakan ‘ruang publik baru’. Mungkin hal tersebut tidak segampang yang dikatakan dan masih dapat dipertanyakan kenapa pula ruang publik harus menjadi persoalan atau tujuan seniman. Tapi yang ingin dicatat disini bahwa pernyataan tersebut muncul dari kekecewaannya atas betapa karya-karya yang ditempatkan di ruang publik yang ia amati sesungguhnya banyak yang diragukan relevansi dan manfaatnya bagi pemilik ruang itu sendiri.
Sebagai harapan yang cukup menghibur ia merujuk pada praktek ‘seni mural’ yang ia anggap sebagai salah satu formula yang berhasil dari seniman dalam menciptakan ruang publik baru karena ada negosiasi dan keterlibatan masyarakat disana.
Terlepas itu sebagai pendapat pribadi, sepertinya kita tidak perlu terburu-buru mengamininya karena bukannya tidak ada pertanyaan terhadap gencarnya gerakan mural beberapa waktu ini. Pertanyaan itu selalu ada. Apa yang sesungguhnya ingin dicapai? Kepentingan publikkah atau masih saja kepentingan seniman?
Ketika gerakan Mural di Yogyakarta digalakkan oleh Apotik Komik dan beberapa seniman lain kita menyambut dan mendukungnya dengan harapan ada alternatif ruang bagi seniman (dan masyarakat) berekspresi dan ada alternatif ruang buat publik untuk sejenak terbebas dari serbuan iklan-iklan produk yang bertebaran dimana saja. Namun ketika energi itu berlebihan terasa ada yang mengusik karena dimana-mana kita temukan mural dan mural dan mural yang tidak semuanya sedap dipandang (apalagi dengan kebanyakan artistik yang seragam, berciri pop-komikal dan selalu penuh teks/slogan-slogan) sehingga rasanya kini jadi sulit membedakan mana yang ‘iklan’ mana ‘mural’. Sama saja, sama-sama membuat lelah menghadapinya.
Beberapa seniman telah mulai mengeluhkan hal ini. Alih-alih mendapat pencerahan dari gambar-gambar tersebut tapi justru kumuh, sesak dan sumpek yang muncul. Tidak ada atau jarang sekali kita temukan gambar-gambar kontemplatif semisal berupa hamparan bidang warna polos atau ‘hanya sepotong garis’ (meminjam kalimat Agus Suwage) yang dapat mewakili perasaan tertentu tanpa harus selalu menyertakan slogan-slogan menekan. Terkadang saya jadi pengen bertanya, apakah seluruh Yogya akan dimuralkan? Tidak butuhkah kita bidang-bidang kosong dan bersih yang dapat membuat mata dan pikiran ini sedikit lepas dari bebannya?
Negosiasi yang dilakukan Christo seperti dicontohkan oleh Suwarno Wisetrotomo masih dalam tulisannya di Kompas Minggu di awal artikel ini, sedikit banyak kiranya dapat membantu kita memikirkan kembali betapa pentingnya komunikasi dua arah atau berbagai arah yang intens agar ide seniman dapat terealisasikan dan pengelola-pemilik-pengguna ruang publik paham plus mendapatkan jaminan. Tentu contoh tersebut tidak bisa diharapkan tepat benar dihadapkan persoalan insiden yang mungkin kita sesalkan harus terjadi di BINAL 92 dan Biennale Jogja X kemarin. Christo dapat dengan sabar menunggu 24 tahun menuntaskan negosiasinya karena tidak dikejar waktu kapan harus mengeksekusi “Wrapped Reichstag” karyanya. Dalam kasus BINAL 92 dan Biennale Jogja X panitia dihadapkan pada tenggat waktu yang sudah dipatok dan diumumkan luas kapan perhelatan akan diresmikan dan seringkali pula konsep/rancangan baru diusulkan menjelang hari H. Sehingga semua seakan harus tergesa-gesa yang buntutnya kadang menjadi dipaksakan kehadirannya. Sementara proses komunikasi/negosiasi belum tuntas atau mungkin belum pernah terjadi.
Jadi, mungkinkah kita sebenarnya belum siap benar dengan apa yang kita gembar-gemborkan sebagai ‘public art’ atau seni rupa di ruang publik? Dapat dipahami kiranya apa yang disarankan oleh Aminudin TH Siregar juga dalam salah satu diskusi Biennale Jogja X bahwa, “seharusnya seniman pertama-tama memikirkan menempatkan karyanya di dalam galeri/ruangan terlebih dahulu (sebelum memutuskan menempatkannya di luar ruang/ruang publik)”. Ini karena ia melihat sering karya-karya di ruang publik (termasuk ‘public art’) tidak penting-penting amat ada disana.
‘Public art’ memang bukan perkara yang boleh dianggap mudah walau tentunya juga bukan hal yang salah.
Yogyakarta, 13 Januari 2010
Syahrizal Pahlevi,
perupa tinggal di Yogyakarta.
(dikirim ke Kompas dan Suara Merdeka, TIDAK dimuat)
=========================================================================
SENI GRAFIS, Mengulik Trienal
Tidak terasa sudah dua kali Bentara Budaya membuat perhelatan Trienal Seni Grafis Indonesia. Sejak akhir tahun lalu santer kabar Trienal ketiga-2009 akan kembali diadakan. Bagi kalangan peminat seni grafis, even ini cukup ditunggu tunggu. Kira-kira kriteria dan tema apa lagi yang akan digulirkan oleh penyelenggara kali ini?
Dari dua kali penyelenggaraan: “cukup meriah/banyak peserta/bagus dan seimbang mutu karya” di Trienal pertama dan “biasa-biasa saja/peserta menurun/kurang seimbang mutu karya” di Trienal kedua ( kesimpulan ini berdasar perbincangan penulis dengan Alia Swastika di pembukaan pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II, BBY 2006 lalu dan beberapa pendapat pemerhati lain), tentunya Trienal ketiga ini menjadi PR penyelenggara dalam mencari bentuk spesifik even yang dapat dipertahankan daya tariknya dari waktu ke waktu. Bukan pekerjaan mudah memang, namun juga bukan hal mustahil mengingat Seni Grafis bertumbuh di negeri ini sudah “sejak tahun 1946” (Aminudin TH Siregar, katalog pameran Grafis Hari Ini, BBJ 2008).
Melihat rentang tahun yang cukup panjang tersebut, logikanya seni grafis kita menjalani tahap perkembangan yang terus meningkat dalam segala aspek. Baik teknik, pencapaian tema, jumlah seniman, produksi karya, studio, pameran, workshop, kompetisi, newsletter, perbincangan grafis, bazar, print shop, peminat/konsumen karya dan apresiasi mass media.
Tapi tidak demikian adanya. Keberadaan seni ini masih perlu dukungan.
Aspek penggandaan
Entah bagaimana mulainya dan siapa yang menghembuskan pernyataan bahwa “kelemahan seni grafis untuk bersaing dengan bentuk seni rupa lainnya terletak pada adanya “aspek penggandaan” (yang merupakan konsekwensi logis dari penerapan teknik cetak yang memungkinkan karya grafis dibuat lebih dari satu edisi) ”.....karena itu seni grafis sulit diterima pasar yang lebih menyukai karya tunggal, dan...bla...bla... bla...”.
Lalu sekian pengamat sepertinya sepakat dengan menambahkan bahwa seni grafis tidak akan berkembang jika melulu berkutat pada konvensi yang ada selama ini. Maka mereka mendorong agar seniman mendobrak konvensi tersebut dan kemudian dicarikanlah perwujudannya - yang sebenarnya nampak dipaksakan guna mendukung wacana yang diinginkan. Karya-karya berbasis teknik seni grafis namun disajikan dalam kemasan mixed media, instalasi, objek, dan bentuk silang media lainnya -asal tidak bermain di wilayah seni grafis konvensional- dianggap telah berhasil membuat “kebaruan” sekalipun dengan catatan karya-karya yang dihasilkan terlihat lemah eksekusinya dimana hal ini terlihat dan diakui dari materi pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II yang lalu (lihat tulisan Bambang Bujono “Menembus Batas Kelaziman”, katalog pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II 2006, Bentara Budaya)
Apa akibatnya? Seni grafis konvensional tidak menarik dikalangan seniman dan peminat seni. Seniman yang akan berkarya di wilayah ini menjadi ragu-ragu, takut dianggap tidak kreatif atau malah dicap kuno. Sementara peminat seni kehilangan arahan dan kepercayaan dirinya dalam mengapresiasi karya-karya dalam kategori ini.
Wacana yang digulirkan terlalu menggiring publik untuk meninggalkan karya-karya yang berpijak pada konvensi ketat seni grafis hanya atas alasan adanya “aspek penggandaan”. Wacana bukannya menimbang “aspek penggandaan” sebagai keniscayaan sebuah karya grafis dikarenakan potensi berbagai teknik cetak itu sendiri ( tidakkah dorongan seniman membuat karya grafis biasanya justru karena karya ini dapat dicetak ganda/multiple art, selain karakter cetaknya yang khas?)
Dengan kata lain, wacana yang digulirkan tidak mendorong seni grafis kokoh berdiri di atas kakinya tetapi justru berpotensi memurukkannya. Jika seni grafis mencoba ketat dengan konvensinya maka ia selamanya akan dianggap tertinggal alias tidak berkembang.
Melihat kondisi ini rasanya bukan hal mengherankan mendapati Trienal Seni Grafis Indonesia II menurun peminatnya (berkurang 52 peserta dari 146 peserta di Trienal pertama menjadi hanya 93 peserta di Trienal kedua). Penyebabnya bukan karena aspek kondisi dimana kebetulan saat even tersebut dibuka Yogyakarta terkena gempa dahsyat sehingga pegrafis-pegrafis disana tidak sempat ikut serta, sebagaimana dilansir lewat tulisan panitia dalam katalog pameran saat itu. Toh tidak banyak pegrafis Bandung -yang juga gudangnya pegrafis- ikut serta.
Menurut penulis alasan utama mengapa even tersebut kurang diminati dikarenakan frame kuratorial yang tidak memberikan kebebasan pada seniman dalam membuat karyanya (atau justru begitu luas dan bebasnya hingga membuat kriteria karya menjadi tidak fokus?). Berbeda dengan kuratorial pada Trienal pertama, kuratorial Trienal kedua nampak terlalu bersemangat menggiring calon peserta untuk mendobrak konvensi seni grafis hal mana telah membuat enggan sebagian pegrafis mengikutinya. Mereka yang terbiasa bekerja dalam disiplin ketat seni grafis (dan mereka benar-benar menguasai serta bertanggung jawab atas pekerjaannya) sedari awal seakan sudah terpinggirkan. Bila mereka ngotot membuat karya sebagaimana kebiasaan mereka diperkirakan dewan juri tidak akan melirik. Sementara mendobrak konvensi belum menjadi kebutuhan/belum terpikirkan karena apa yang mereka lakukan selama ini justru lebih terlihat sebagai “upaya tiada henti memaksimalkan apa yang disediakan oleh konvensi tersebut”.
Kenyataannya ada yang terasa kurang karena even Trienal kedua terpaksa tidak bisa menampilkan kekayaan teknik grafis yang ditekuni pegrafis kita. Tidak ada teknik mezzotint (teknik cetak dalam dimana acuan cetaknya dibuat dengan proses disain negatif/gambar dimulai dari gelap ke terang) padahal ada penekun mezzotint di Bandung. Tidak ada drypoint (teknik cetak dalam, disebut juga teknik kering dimana acuan cetak dibuat dengan menorehkan benda runcing ke atas plat) yang bagus padahal ada seniman yang gemilang dengan teknik ini. Tidak ada silk screen atau teknik cetak saring/sablon yang artistik padahal kita punya banyak ahlinya. Tidak ada etsa (teknik cetak dalam dimana acuan cetak dibuat dengan proses pengasaman) yang kaya gradasi padahal ada pegrafis yang mengeksplorasi penemuan kecilnya. Sebagian besar karya yang terseleksi ketika itu terasa benar dibuat guna mengusung semangat kuratorial, yaitu perwujudan karya-karya olah “silang media dan teknik” yang sebenarnya tidak cukup menampakkan hasil dari “usaha yang perlu benar” oleh senimannya.
Teknik konvensional
Tentunya segala upaya memajukan seni grafis perlu disambut gembira. Termasuk apa yang telah dilakukan penyelenggara Trienal kedua, 2006 yang lalu. Hanya saja kok jadinya semua seakan terburu-buru. Banyak karya yang justru membuat even tersebut terperosok menjadi aktifitas biasa-biasa saja. Padahal karya-karya pemenang begitu menarik. Sayang khan?
Yang lebih disayangkan adalah bila niat peserta menerobos batasan konvensi tersebut hanyalah reaksi atas wacana yang digulirkan penyelenggara, bisa jadi karya-karya yang dihasilkan kehilangan pijakan dan cenderung bersifat sesaat. Terobosan yang dilakukan diramalkan tidak sampai berlanjut dalam karya-karya mereka diluar acara/kepentingan tersebut. Mereka akan tetap saja konvensional sehari-harinya.
Lain halnya bila niat mendobrak konvensi tersebut didorong atas kebutuhan dari dalam diri seniman: mungkin karena ia telah suntuk dengan teknik tertentu / mungkin ia terlampau trampil dengan suatu teknik atau media hingga butuh tantangan lain dalam membuat karya / mungkin benar ada gagasan yang memerlukan “perluasan media” atau alasan-alasan esensial lainnya. Karya-karya jenis ini niscaya akan lebih bertahan lama karena bertolak dari kesadaran penuh dan didukung konsep yang kuat.
Jadi benarkah konvensi seni grafis wajib diterabas oleh setiap pegrafis?
Tidak adakah peluang berkembang di wilayah konvensi tersebut sehingga kita seolah harus segera keluar dari “kungkungannya” yang membelenggu? Ah,....jangan-jangan sebenarnya kita hanya sedang tidak sabaran dan mencari-cari cara singkat untuk sekedar membuktikan bahwa frame konvensi itu sudah tidak layak lagi?
Padahal sebenarnya jika kita mau menengok kenyataan yang terjadi di lapangan mungkin hasilnya bisa menjadi luar biasa. Eksplorasi pegrafis terhadap teknik-teknik konvensional sesungguhnya masih tetap terbuka, dan mungkin tidak pernah habisnya. Pegrafis perlu diberi dorongan dan kepercayaan bahwa masih banyak yang bisa dilakukan dengan melulu cukil kayu misalnya, melulu etsa atau drypoint, melulu silk screen dan seterusnya.
Lagi pula keadaan tidak seburuk yang dicemaskan pengamat-pengamat tersebut. Bila ditelisik, bukan tidak ada terobosan kreatif sekalipun kecil yang dilakukan pegrafis kita ditengah dinamika perkembangan media seni rupa lainnya..
Dewasa ini karya grafis dari beberapa teknik tertentu banyak “dicoba” dan cukup berhasil dicetak di atas kanvas karena beberapa kebutuhan: membuat karya dalam ukuran besar (yang agak sulit dipenuhi oleh media kertas karena ukurannya biasanya terbatas) / agar praktis penyajiannya (tidak memerlukan frame kaca selayaknya tampilan karya medium kertas) / lebih awet dan mudah perawatannya (sebetulnya hal ini relatif sifatnya karena media kanvas tidak serta merta menolak jamur datang dan anti sobek) / sampai agar dapat bersaing dengan seni lukis (karena kebanyakan lukisan dibuat diatas kanvas?).
Terobosan lainnya (walau bukan hal baru) beberapa seniman mengkreasi kembali edisi-edisi cetakannya dengan sentuhan tangan langsung (hand touching/hand coloring) untuk kebutuhan: karena muncul ide baru atas karya tersebut / tidak puas dengan hasil cetaknya / agar menonjol aspek sentuhan langsung sebagaimana sebuah lukisan / keinginan membuat masing-masing edisi terlihat berbeda sehingga publik teryakinkan bahwa karya tersebut dapat dianggap karya tunggal sejajar dengan lukisan -suatu term yang lebih popular dan mereka mengerti. Ini sekedar contoh praktek yang marak terjadi.
Sedang praktek lebih jauh yang juga banyak dilakukan pegrafis belakangan ini adalah “perluasan seni grafis”. Dalam hal ini teknik cetak diperlakukan bukan lagi sebagai elemen utama pembentuk karya, ia bisa jadi sekedar sampiran atau pelengkap tampilan visual yang keberadaannya kurang dari 50% dari keseluruhan elemen karya.
Penjurian
Seperti diketahui dalam seni grafis aspek teknik sangat menentukan dalam mengeksekusi sebuah karya. Berbeda pilihan teknik akan berbeda pula hasil cetaknya. Berhasil tidaknya sebuah cetakan yang diinginkan seniman bergantung pada tertib tidaknya ia dengan tahapan-tahapan teknik cetak itu sendiri.
Menimbang kenyataan tersebut, peranan teknik ini sepantasnya menjadi hal mutlak yang tidak perlu ditawar lagi dalam memilih karya peserta sekelas Trienal Seni Grafis. Sistim penjurian yang diterapkan hendaklah memberi peluang besar adanya “kontrol teknik” yang ketat atas karya yang dipilih, yang tidak mungkin tercapai hanya lewat pengamatan foto yang dikirimkan peserta. Model penjurian di dua Trienal Seni Grafis Indonesia yang terlalu lunak selama ini (hanya berdasarkan seleksi foto karya untuk menjaring finalis) ternyata beresiko menampilkan karya-karya yang sebenarnya tidak layak pamer namun harus tetap diikut sertakan karena telah lolos seleksi. Di beberapa kompetisi grafis internasional biasanya menerapkan 2 tahap seleksi: Setelah penyeleksian lewat foto, ada seleksi lagi berdasarkan karya asli untuk mencari finalis atau peserta layak pameran dan barulah setelah itu ditentukan karya pemenang. Memang konsekwensi penjurian seperti ini menyebabkan bertambahnya “bea pengeluaran” panitia karena akan ada karya yang dikembalikan ke peserta sekalipun karya itu telah lolos seleksi foto (Malah di beberapa even penjaringan peserta hanya berdasarkan kiriman karya langsung, tanpa melalui seleksi foto, yang menunjukkan betapa pentingnya pengamatan atas kualitas teknik sebuah karya cetak grafis). Dengan model penjurian yang baru ini kualitas pameran karya-karya finalis lebih terasa wibawanya sehingga kedepan diharapkan tidak ada lagi keluhan penonton yang terganggu karena beberapa karya peserta nampak belepotan /kotor/tidak presisi cetakannya.
Akhirnya,.....rasanya masih tetap relevan setiap berbicara seni grafis kita juga membicarakan: “bagaimana meresapnya tinta di atas materi yang menjadi landasan cetaknya ( baik itu kertas, kanvas atau materi-materi lain yang dicobakan seniman )”.
Yogyakarta, 8 Maret 2009
Syahrizal Pahlevi
Perupa, peminat grafis
(dikirim ke Kompas, TIDAK dimuat)
Sebenarnya dikalangan seniman sendiri sudah mulai banyak meragukan, apa pentingnya ‘public art’ ataupun seni rupa di ruang publik, bila kenyataannya ia menimbulkan masalah ditengah ruang yang ditempatinya. Masalah tersebut bisa berupa pengacuhan/penolakan/pemindahan/ sampai pembongkaran oleh pengguna-pengelola-pemilik ruang publik
Saya setuju dengan apa yang ditengarai oleh Suwarno Wisetrotomo dalam tulisannya di Kompas Minggu, 10 Januari 2010 yang menyinggung perihal pemindahan/pembongkaran beberapa karya Biennale Jogja X oleh aparat/masyarakat setempat sebagai akibat dari kurangnya komunikasi semua pihak.
Cuma tulisan itu tidak menjelaskan apa duduk persoalannya, atau memang tidak ada kesempatan penulisnya menginvestigasi ke berbagai pihak sehingga hanya mampu menduga-duga bahwa ada 3 hal yang mungkin terjadi yaitu; -adanya kesenjangan apresiasi masyarakat terhadap karya seni, -sikap sewenang-wenang aparat pemerintah terhadap karya seni dan -adanya sikap sewenang-wenang seniman yang mengagungkan kebebasan berekspresi.
Saya sendiri tidak mengetahui banyak insiden tersebut, namun sempat mendengar sas-sus bahwa sebagian masyarakat disekitar lokasi salah satu karya ditempatkan merasa terganggu/risih/tidak nyaman dengan bentuk visual karya tersebut. Entah mana yang benar. Namun dari banyak kritik yang muncul dalam pembicaraan/diskusi mengatakan hal senada yang intinya bahwa banyak karya ‘public art’ atau karya di areal publik dalam Biennale Jogja X ini memang cukup memberi peluang munculnya pertanyaan apa perlunya karya tersebut ditempatkan disana?
Biasanya, akibat sepotong-sepotongnya informasi yang kita terima namun terlanjur dipersepsi secara tertentu akan selamanya menjadi informasi yang tidak jelas..
Kebetulan saya memiliki pengalaman bersinggungan dengan peristiwa pembongkaran/penolakan karya di ruang publik yang dipersepsi sepihak oleh kalangan seniman dan pers ketika itu karena minimnya penggalian informasi.
Dalam peristiwa BINAL 92 atau BINAL Eksperimental Arts - 1992 (event tandingan Biennale Seni Lukis Yogyakarta III, 1992) yang didominasi karya-karya di ruang publik, ketika itu santer kabar termasuk pers memberitakan ada beberapa karya di Stasiun Tugu yang dibongkar paksa oleh pihak stasiun tanpa menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya. Fakta tersebut benar adanya, tapi karena diberitakan/dihembuskan sepotong tanpa penjelasan duduk perkaranya, opini yang terbentuk adalah telah terjadi perbuatan sewenang-wenang oleh pihak pengelola ruang publik terhadap seniman. Pihak panitia pada saat itu dianggap tidak berbuat apa-apa atau tidak membela kepentingan seniman.
Saya ingin coba meluruskan apa yang terlanjur dipersepsi sepihak oleh sebagian seniman dan pers waktu itu. Kebetulan pada saat itu saya menjadi peserta sekaligus koordinator seniman-seniman (mayoritas kami berstatus mahasiswa FSRD ISI Yogyakarta ketika itu) yang menggelar karya di kompleks Stasiun Tugu Yogyakarta dengan bingkai judul/kelompok “Kerja Seni Waktu Luang”. Agak mundur kebelakang, dalam negosiasi kami ke pihak stasiun yang ketika itu kepala stasiun dijabat oleh Bp. Afianto, disepakati bahwa wujud dan penempatan karya seniman tidak boleh membahayakan publik dan secara khusus karya TIDAK BOLEH digelar mendekati sekian meter dari rel kereta (apa lagi ditengah rel). Alasannya sangat jelas karena dikhawatirkan karya atau kerumunan orang yang melihat karya tersebut dari dekat dapat membahayakan kereta yang lewat. Pihak stasiun menyediakan halaman depan, lobby tiket dan ruang tunggu sebagai lahan penempatan karya dengan catatan pengaturan/display dilakukan tertib agar lalu lintas kepentingan publik disana tidak terganggu. Pihak stasiun mengharapkan seniman dapat mengatur sendiri dan menyesuaikan dirinya dengan kondisi yang ada disana. Kesepakatan telah tercapai antara panitia dengan pihak stasiun dan isi kesepakatan tersebut telah disampaikan ke seniman peserta. Namun kenyataannya dalam praktek tidak semua seniman memahami/menyetujui kesepakatan tersebut. Saya kurang tahu apakah komunikasi antara panitia dan seniman peserta yang kurang ataukah karena ada diantara seniman yang menuntut kebebasan lebih namun tanpa melakukan negosiasi terlebih dahulu. Artinya disini panitia kecolongan, dan pihak stasiunpun merasa kecolongan.
Ada sedikit rahasia dalam negosiasi; sebenarnya pembicaraan antara panitia dan pihak stasiun pada waktu itu tidak sampai menjurus ke detail karya. Kami sengaja (dengan sedikit nakal ingin membuat shock publik sebagai salah satu tujuan pameran tersebut) tidak membeberkan secara jelas rancangan karya karena khawatir akan kerepotan menjawab banyak pertanyaan dan terhambat mencapai kesepakatan. Ditambah di tahun itu situasi untuk menggelar karya di ruang publik bukanlah hal yang mulus-mulus saja sehingga kami dapat dianggap beruntung karena pihak stasiun cepat welcome dengan kehendak seniman. Ada keyataan lain pula pada waktu itu; kami dikejar waktu harus segera mendapat tempat untuk menggelar karya dan rata-rata seniman peserta tidak secara detail pula mengumpulkan rancangan karyanya ke panitia. Jadi proses negosiasi pada waktu itu lebih kepada akal-akalan, bersiasat, sedikit berbohong, nekad dan berdasar rasa saling percaya bahwa semua pihak akan saling menjaga dan menghargai. Bila saya tidak salah ingat ketika itu ada dua karya yang dibongkar/diminta dibongkar oleh pihak stasiun dan satu karya yang ditolak dan terpaksa dipindahkan ke tempat lain ke galeri Senisono. Jadi ada 3 karya; pertama “Baling-Baling Jaman” berupa instalasi kitiran-kitiran kertas yang ditancapkan dipinggir rel kereta karya Nurkholis/Kelompok Cling, kedua “Kebebasan Yang Dangkal” berupa objek layang-layang kertas yang (coba) dipasang di kabel listrik di halaman stasiun karya Yos Andriadi dan ketiga “Sampah Kemerdekaan dan Gambar Perlawananku” berupa drawing di atas bahan gedek bambu karya Athong Sapto Rahardjo yang dipajang di lobby tiket. Saya kira orang normal manapun akan paham bahwa penempatan karya-karya yang disebut pertama dan kedua beresiko sangat tinggi. Karya dipinggir rel akan mengundang kerumunan penonton yang beresiko tersambar kereta lewat. Sedang karya di kabel listrik beresiko terjadi korslet yang dapat membahayakan siapapun Dan pihak stasiun tidak ingin mengambil resiko tersebut. Mengenai karya ketiga saya akui ada kekhawatiran berlebihan termasuk sikap hati-hati /belum terbiasa dari pihak stasiun terhadap ‘gaya ilustrasi verbal’ yang dibuat oleh sang seniman. Sebenarnya dalam masa pameran beberapa karya lain juga sempat ‘ditawar ulang’ oleh pihak stasiun seperti sempat disembunyikan/digeser/dipindah tempatkan karena mereka memiliki pertimbangan sendiri. Namun semua dapat diselesaikan lewat komunikasi yang intens (bahkan mereka ‘ketagihan’ minta dibuatkan acara serupa dilain waktu-dimana beberapa diantara kami kemudian memang sempat melakukan ‘kegiatan kecil’ disana beberapa bulan setelah BINAL 92 selesai). Barangkali pers ketika itu, lewat judul-judul yang panas, sekedar ingin menyoroti aksi sepihak pembongkaran/penolakan yang tanpa sepengetahuan atau mungkin tidak bisa diterima oleh seniman peserta tanpa melebih-lebihkannya (insiden ini pula sepertinya -disamping pemicu-pemicu lain- yang telah menimbulkan gejolak diantara peserta dan ikut menyulut keinginan sebagian teman peserta untuk melakukan aksi boikot serta memaksa panitia mengeluarkan surat pernyataan bahwa kelompok Kerja Seni Waktu Luang/FSRD ISI keluar dari daftar acara BINAL 92 , lihat “Tiga Karya Urung Dipamerkan”, Bernas, 29 Juli 1992, “Pameran Binal Eksperimental Arts Ricuh, FSRD memisahkan diri”, Bernas , 30 Juli 1992 dan “Ditutup, Kerja Seni Waktu Luang”, Bernas, 31 Juli 1992). Agak kisruh situasi ketika itu karena simpang siurnya informasi. Namun disini kita bisa menilai, apakah seniman yang kelewat ingin bebas ataukah pengelola ruang publik tidak paham karya seni?
Ade Darmawan, direktur Ruang Rupa Jakarta dalam pernyataannya di sebuah diskusi rangkaian acara Biennale Jogja X mengajak agar seniman meninggalkan pikiran bahwa seluruh ruang publik yang ada di kota adalah galeri, tapi hendaknya mulai berpikir menciptakan ‘ruang publik baru’. Mungkin hal tersebut tidak segampang yang dikatakan dan masih dapat dipertanyakan kenapa pula ruang publik harus menjadi persoalan atau tujuan seniman. Tapi yang ingin dicatat disini bahwa pernyataan tersebut muncul dari kekecewaannya atas betapa karya-karya yang ditempatkan di ruang publik yang ia amati sesungguhnya banyak yang diragukan relevansi dan manfaatnya bagi pemilik ruang itu sendiri.
Sebagai harapan yang cukup menghibur ia merujuk pada praktek ‘seni mural’ yang ia anggap sebagai salah satu formula yang berhasil dari seniman dalam menciptakan ruang publik baru karena ada negosiasi dan keterlibatan masyarakat disana.
Terlepas itu sebagai pendapat pribadi, sepertinya kita tidak perlu terburu-buru mengamininya karena bukannya tidak ada pertanyaan terhadap gencarnya gerakan mural beberapa waktu ini. Pertanyaan itu selalu ada. Apa yang sesungguhnya ingin dicapai? Kepentingan publikkah atau masih saja kepentingan seniman?
Ketika gerakan Mural di Yogyakarta digalakkan oleh Apotik Komik dan beberapa seniman lain kita menyambut dan mendukungnya dengan harapan ada alternatif ruang bagi seniman (dan masyarakat) berekspresi dan ada alternatif ruang buat publik untuk sejenak terbebas dari serbuan iklan-iklan produk yang bertebaran dimana saja. Namun ketika energi itu berlebihan terasa ada yang mengusik karena dimana-mana kita temukan mural dan mural dan mural yang tidak semuanya sedap dipandang (apalagi dengan kebanyakan artistik yang seragam, berciri pop-komikal dan selalu penuh teks/slogan-slogan) sehingga rasanya kini jadi sulit membedakan mana yang ‘iklan’ mana ‘mural’. Sama saja, sama-sama membuat lelah menghadapinya.
Beberapa seniman telah mulai mengeluhkan hal ini. Alih-alih mendapat pencerahan dari gambar-gambar tersebut tapi justru kumuh, sesak dan sumpek yang muncul. Tidak ada atau jarang sekali kita temukan gambar-gambar kontemplatif semisal berupa hamparan bidang warna polos atau ‘hanya sepotong garis’ (meminjam kalimat Agus Suwage) yang dapat mewakili perasaan tertentu tanpa harus selalu menyertakan slogan-slogan menekan. Terkadang saya jadi pengen bertanya, apakah seluruh Yogya akan dimuralkan? Tidak butuhkah kita bidang-bidang kosong dan bersih yang dapat membuat mata dan pikiran ini sedikit lepas dari bebannya?
Negosiasi yang dilakukan Christo seperti dicontohkan oleh Suwarno Wisetrotomo masih dalam tulisannya di Kompas Minggu di awal artikel ini, sedikit banyak kiranya dapat membantu kita memikirkan kembali betapa pentingnya komunikasi dua arah atau berbagai arah yang intens agar ide seniman dapat terealisasikan dan pengelola-pemilik-pengguna ruang publik paham plus mendapatkan jaminan. Tentu contoh tersebut tidak bisa diharapkan tepat benar dihadapkan persoalan insiden yang mungkin kita sesalkan harus terjadi di BINAL 92 dan Biennale Jogja X kemarin. Christo dapat dengan sabar menunggu 24 tahun menuntaskan negosiasinya karena tidak dikejar waktu kapan harus mengeksekusi “Wrapped Reichstag” karyanya. Dalam kasus BINAL 92 dan Biennale Jogja X panitia dihadapkan pada tenggat waktu yang sudah dipatok dan diumumkan luas kapan perhelatan akan diresmikan dan seringkali pula konsep/rancangan baru diusulkan menjelang hari H. Sehingga semua seakan harus tergesa-gesa yang buntutnya kadang menjadi dipaksakan kehadirannya. Sementara proses komunikasi/negosiasi belum tuntas atau mungkin belum pernah terjadi.
Jadi, mungkinkah kita sebenarnya belum siap benar dengan apa yang kita gembar-gemborkan sebagai ‘public art’ atau seni rupa di ruang publik? Dapat dipahami kiranya apa yang disarankan oleh Aminudin TH Siregar juga dalam salah satu diskusi Biennale Jogja X bahwa, “seharusnya seniman pertama-tama memikirkan menempatkan karyanya di dalam galeri/ruangan terlebih dahulu (sebelum memutuskan menempatkannya di luar ruang/ruang publik)”. Ini karena ia melihat sering karya-karya di ruang publik (termasuk ‘public art’) tidak penting-penting amat ada disana.
‘Public art’ memang bukan perkara yang boleh dianggap mudah walau tentunya juga bukan hal yang salah.
Yogyakarta, 13 Januari 2010
Syahrizal Pahlevi,
perupa tinggal di Yogyakarta.
(dikirim ke Kompas dan Suara Merdeka, TIDAK dimuat)
=========================================================================
SENI GRAFIS, Mengulik Trienal
Tidak terasa sudah dua kali Bentara Budaya membuat perhelatan Trienal Seni Grafis Indonesia. Sejak akhir tahun lalu santer kabar Trienal ketiga-2009 akan kembali diadakan. Bagi kalangan peminat seni grafis, even ini cukup ditunggu tunggu. Kira-kira kriteria dan tema apa lagi yang akan digulirkan oleh penyelenggara kali ini?
Dari dua kali penyelenggaraan: “cukup meriah/banyak peserta/bagus dan seimbang mutu karya” di Trienal pertama dan “biasa-biasa saja/peserta menurun/kurang seimbang mutu karya” di Trienal kedua ( kesimpulan ini berdasar perbincangan penulis dengan Alia Swastika di pembukaan pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II, BBY 2006 lalu dan beberapa pendapat pemerhati lain), tentunya Trienal ketiga ini menjadi PR penyelenggara dalam mencari bentuk spesifik even yang dapat dipertahankan daya tariknya dari waktu ke waktu. Bukan pekerjaan mudah memang, namun juga bukan hal mustahil mengingat Seni Grafis bertumbuh di negeri ini sudah “sejak tahun 1946” (Aminudin TH Siregar, katalog pameran Grafis Hari Ini, BBJ 2008).
Melihat rentang tahun yang cukup panjang tersebut, logikanya seni grafis kita menjalani tahap perkembangan yang terus meningkat dalam segala aspek. Baik teknik, pencapaian tema, jumlah seniman, produksi karya, studio, pameran, workshop, kompetisi, newsletter, perbincangan grafis, bazar, print shop, peminat/konsumen karya dan apresiasi mass media.
Tapi tidak demikian adanya. Keberadaan seni ini masih perlu dukungan.
Aspek penggandaan
Entah bagaimana mulainya dan siapa yang menghembuskan pernyataan bahwa “kelemahan seni grafis untuk bersaing dengan bentuk seni rupa lainnya terletak pada adanya “aspek penggandaan” (yang merupakan konsekwensi logis dari penerapan teknik cetak yang memungkinkan karya grafis dibuat lebih dari satu edisi) ”.....karena itu seni grafis sulit diterima pasar yang lebih menyukai karya tunggal, dan...bla...bla... bla...”.
Lalu sekian pengamat sepertinya sepakat dengan menambahkan bahwa seni grafis tidak akan berkembang jika melulu berkutat pada konvensi yang ada selama ini. Maka mereka mendorong agar seniman mendobrak konvensi tersebut dan kemudian dicarikanlah perwujudannya - yang sebenarnya nampak dipaksakan guna mendukung wacana yang diinginkan. Karya-karya berbasis teknik seni grafis namun disajikan dalam kemasan mixed media, instalasi, objek, dan bentuk silang media lainnya -asal tidak bermain di wilayah seni grafis konvensional- dianggap telah berhasil membuat “kebaruan” sekalipun dengan catatan karya-karya yang dihasilkan terlihat lemah eksekusinya dimana hal ini terlihat dan diakui dari materi pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II yang lalu (lihat tulisan Bambang Bujono “Menembus Batas Kelaziman”, katalog pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II 2006, Bentara Budaya)
Apa akibatnya? Seni grafis konvensional tidak menarik dikalangan seniman dan peminat seni. Seniman yang akan berkarya di wilayah ini menjadi ragu-ragu, takut dianggap tidak kreatif atau malah dicap kuno. Sementara peminat seni kehilangan arahan dan kepercayaan dirinya dalam mengapresiasi karya-karya dalam kategori ini.
Wacana yang digulirkan terlalu menggiring publik untuk meninggalkan karya-karya yang berpijak pada konvensi ketat seni grafis hanya atas alasan adanya “aspek penggandaan”. Wacana bukannya menimbang “aspek penggandaan” sebagai keniscayaan sebuah karya grafis dikarenakan potensi berbagai teknik cetak itu sendiri ( tidakkah dorongan seniman membuat karya grafis biasanya justru karena karya ini dapat dicetak ganda/multiple art, selain karakter cetaknya yang khas?)
Dengan kata lain, wacana yang digulirkan tidak mendorong seni grafis kokoh berdiri di atas kakinya tetapi justru berpotensi memurukkannya. Jika seni grafis mencoba ketat dengan konvensinya maka ia selamanya akan dianggap tertinggal alias tidak berkembang.
Melihat kondisi ini rasanya bukan hal mengherankan mendapati Trienal Seni Grafis Indonesia II menurun peminatnya (berkurang 52 peserta dari 146 peserta di Trienal pertama menjadi hanya 93 peserta di Trienal kedua). Penyebabnya bukan karena aspek kondisi dimana kebetulan saat even tersebut dibuka Yogyakarta terkena gempa dahsyat sehingga pegrafis-pegrafis disana tidak sempat ikut serta, sebagaimana dilansir lewat tulisan panitia dalam katalog pameran saat itu. Toh tidak banyak pegrafis Bandung -yang juga gudangnya pegrafis- ikut serta.
Menurut penulis alasan utama mengapa even tersebut kurang diminati dikarenakan frame kuratorial yang tidak memberikan kebebasan pada seniman dalam membuat karyanya (atau justru begitu luas dan bebasnya hingga membuat kriteria karya menjadi tidak fokus?). Berbeda dengan kuratorial pada Trienal pertama, kuratorial Trienal kedua nampak terlalu bersemangat menggiring calon peserta untuk mendobrak konvensi seni grafis hal mana telah membuat enggan sebagian pegrafis mengikutinya. Mereka yang terbiasa bekerja dalam disiplin ketat seni grafis (dan mereka benar-benar menguasai serta bertanggung jawab atas pekerjaannya) sedari awal seakan sudah terpinggirkan. Bila mereka ngotot membuat karya sebagaimana kebiasaan mereka diperkirakan dewan juri tidak akan melirik. Sementara mendobrak konvensi belum menjadi kebutuhan/belum terpikirkan karena apa yang mereka lakukan selama ini justru lebih terlihat sebagai “upaya tiada henti memaksimalkan apa yang disediakan oleh konvensi tersebut”.
Kenyataannya ada yang terasa kurang karena even Trienal kedua terpaksa tidak bisa menampilkan kekayaan teknik grafis yang ditekuni pegrafis kita. Tidak ada teknik mezzotint (teknik cetak dalam dimana acuan cetaknya dibuat dengan proses disain negatif/gambar dimulai dari gelap ke terang) padahal ada penekun mezzotint di Bandung. Tidak ada drypoint (teknik cetak dalam, disebut juga teknik kering dimana acuan cetak dibuat dengan menorehkan benda runcing ke atas plat) yang bagus padahal ada seniman yang gemilang dengan teknik ini. Tidak ada silk screen atau teknik cetak saring/sablon yang artistik padahal kita punya banyak ahlinya. Tidak ada etsa (teknik cetak dalam dimana acuan cetak dibuat dengan proses pengasaman) yang kaya gradasi padahal ada pegrafis yang mengeksplorasi penemuan kecilnya. Sebagian besar karya yang terseleksi ketika itu terasa benar dibuat guna mengusung semangat kuratorial, yaitu perwujudan karya-karya olah “silang media dan teknik” yang sebenarnya tidak cukup menampakkan hasil dari “usaha yang perlu benar” oleh senimannya.
Teknik konvensional
Tentunya segala upaya memajukan seni grafis perlu disambut gembira. Termasuk apa yang telah dilakukan penyelenggara Trienal kedua, 2006 yang lalu. Hanya saja kok jadinya semua seakan terburu-buru. Banyak karya yang justru membuat even tersebut terperosok menjadi aktifitas biasa-biasa saja. Padahal karya-karya pemenang begitu menarik. Sayang khan?
Yang lebih disayangkan adalah bila niat peserta menerobos batasan konvensi tersebut hanyalah reaksi atas wacana yang digulirkan penyelenggara, bisa jadi karya-karya yang dihasilkan kehilangan pijakan dan cenderung bersifat sesaat. Terobosan yang dilakukan diramalkan tidak sampai berlanjut dalam karya-karya mereka diluar acara/kepentingan tersebut. Mereka akan tetap saja konvensional sehari-harinya.
Lain halnya bila niat mendobrak konvensi tersebut didorong atas kebutuhan dari dalam diri seniman: mungkin karena ia telah suntuk dengan teknik tertentu / mungkin ia terlampau trampil dengan suatu teknik atau media hingga butuh tantangan lain dalam membuat karya / mungkin benar ada gagasan yang memerlukan “perluasan media” atau alasan-alasan esensial lainnya. Karya-karya jenis ini niscaya akan lebih bertahan lama karena bertolak dari kesadaran penuh dan didukung konsep yang kuat.
Jadi benarkah konvensi seni grafis wajib diterabas oleh setiap pegrafis?
Tidak adakah peluang berkembang di wilayah konvensi tersebut sehingga kita seolah harus segera keluar dari “kungkungannya” yang membelenggu? Ah,....jangan-jangan sebenarnya kita hanya sedang tidak sabaran dan mencari-cari cara singkat untuk sekedar membuktikan bahwa frame konvensi itu sudah tidak layak lagi?
Padahal sebenarnya jika kita mau menengok kenyataan yang terjadi di lapangan mungkin hasilnya bisa menjadi luar biasa. Eksplorasi pegrafis terhadap teknik-teknik konvensional sesungguhnya masih tetap terbuka, dan mungkin tidak pernah habisnya. Pegrafis perlu diberi dorongan dan kepercayaan bahwa masih banyak yang bisa dilakukan dengan melulu cukil kayu misalnya, melulu etsa atau drypoint, melulu silk screen dan seterusnya.
Lagi pula keadaan tidak seburuk yang dicemaskan pengamat-pengamat tersebut. Bila ditelisik, bukan tidak ada terobosan kreatif sekalipun kecil yang dilakukan pegrafis kita ditengah dinamika perkembangan media seni rupa lainnya..
Dewasa ini karya grafis dari beberapa teknik tertentu banyak “dicoba” dan cukup berhasil dicetak di atas kanvas karena beberapa kebutuhan: membuat karya dalam ukuran besar (yang agak sulit dipenuhi oleh media kertas karena ukurannya biasanya terbatas) / agar praktis penyajiannya (tidak memerlukan frame kaca selayaknya tampilan karya medium kertas) / lebih awet dan mudah perawatannya (sebetulnya hal ini relatif sifatnya karena media kanvas tidak serta merta menolak jamur datang dan anti sobek) / sampai agar dapat bersaing dengan seni lukis (karena kebanyakan lukisan dibuat diatas kanvas?).
Terobosan lainnya (walau bukan hal baru) beberapa seniman mengkreasi kembali edisi-edisi cetakannya dengan sentuhan tangan langsung (hand touching/hand coloring) untuk kebutuhan: karena muncul ide baru atas karya tersebut / tidak puas dengan hasil cetaknya / agar menonjol aspek sentuhan langsung sebagaimana sebuah lukisan / keinginan membuat masing-masing edisi terlihat berbeda sehingga publik teryakinkan bahwa karya tersebut dapat dianggap karya tunggal sejajar dengan lukisan -suatu term yang lebih popular dan mereka mengerti. Ini sekedar contoh praktek yang marak terjadi.
Sedang praktek lebih jauh yang juga banyak dilakukan pegrafis belakangan ini adalah “perluasan seni grafis”. Dalam hal ini teknik cetak diperlakukan bukan lagi sebagai elemen utama pembentuk karya, ia bisa jadi sekedar sampiran atau pelengkap tampilan visual yang keberadaannya kurang dari 50% dari keseluruhan elemen karya.
Penjurian
Seperti diketahui dalam seni grafis aspek teknik sangat menentukan dalam mengeksekusi sebuah karya. Berbeda pilihan teknik akan berbeda pula hasil cetaknya. Berhasil tidaknya sebuah cetakan yang diinginkan seniman bergantung pada tertib tidaknya ia dengan tahapan-tahapan teknik cetak itu sendiri.
Menimbang kenyataan tersebut, peranan teknik ini sepantasnya menjadi hal mutlak yang tidak perlu ditawar lagi dalam memilih karya peserta sekelas Trienal Seni Grafis. Sistim penjurian yang diterapkan hendaklah memberi peluang besar adanya “kontrol teknik” yang ketat atas karya yang dipilih, yang tidak mungkin tercapai hanya lewat pengamatan foto yang dikirimkan peserta. Model penjurian di dua Trienal Seni Grafis Indonesia yang terlalu lunak selama ini (hanya berdasarkan seleksi foto karya untuk menjaring finalis) ternyata beresiko menampilkan karya-karya yang sebenarnya tidak layak pamer namun harus tetap diikut sertakan karena telah lolos seleksi. Di beberapa kompetisi grafis internasional biasanya menerapkan 2 tahap seleksi: Setelah penyeleksian lewat foto, ada seleksi lagi berdasarkan karya asli untuk mencari finalis atau peserta layak pameran dan barulah setelah itu ditentukan karya pemenang. Memang konsekwensi penjurian seperti ini menyebabkan bertambahnya “bea pengeluaran” panitia karena akan ada karya yang dikembalikan ke peserta sekalipun karya itu telah lolos seleksi foto (Malah di beberapa even penjaringan peserta hanya berdasarkan kiriman karya langsung, tanpa melalui seleksi foto, yang menunjukkan betapa pentingnya pengamatan atas kualitas teknik sebuah karya cetak grafis). Dengan model penjurian yang baru ini kualitas pameran karya-karya finalis lebih terasa wibawanya sehingga kedepan diharapkan tidak ada lagi keluhan penonton yang terganggu karena beberapa karya peserta nampak belepotan /kotor/tidak presisi cetakannya.
Akhirnya,.....rasanya masih tetap relevan setiap berbicara seni grafis kita juga membicarakan: “bagaimana meresapnya tinta di atas materi yang menjadi landasan cetaknya ( baik itu kertas, kanvas atau materi-materi lain yang dicobakan seniman )”.
Yogyakarta, 8 Maret 2009
Syahrizal Pahlevi
Perupa, peminat grafis
(dikirim ke Kompas, TIDAK dimuat)
Langganan:
Postingan (Atom)