Sabtu, 03 Juli 2010

JALAN GRAFIS

JALAN GRAFIS - Antara romantika pelukis Salim dan Seni Grafis Indonesia

Sedikit beromantik tak apalah.
Bila seorang JJ. Kusni dalam sebuah artikelnya menjuluki “keterikatan dan ketidakterpisahan” almarhum pelukis Salim dengan alam/suasana/kehidupan kota Paris, Perancis (sebagai “pilihan” tempat tinggal dan tempat berkarya yang dijalaninya lebih dari ¾ usianya sampai akhir hayatnya) sebagai “JALAN SALIM=JALAN PARIS”, maka tidak berlebihan rasanya kita beri julukan “JALAN GRAFIS” buat penekun-penekun seni cetak grafis yang menyempatkan atau mungkin memprioritaskan waktunya buat berkarya grafis disela-sela godaan dan daya tarik medium senirupa lainnya sebagai pilihan berekspresi.
Berbicara tentang pelukis Salim dan Seni Grafis Indonesia adalah sama-sama menengok kisah-kisah romantik nan heroik. Kisah romantik nan heroik Salim diantaranya adalah bagaimana ngototnya ia dengan kebulatan hatinya untuk tetap tinggal, bertahan hidup dan berkarya di Paris meskipun negeri kelahirannya Indonesia memanggil-manggil pulang. Tidak jua Presiden Soekarno pada waktu itu dapat meluluhkan kekerasan hati Salim sebagaimana tergambar lewat sebuah kesempatan perbincangan singkat keduanya di trotoir jalan Paris, masih dalam artikel JJ. Kusni tersebut: “Lim, kau pulanglah! Mengapa mati disini?” Begitu ujar Presiden Soekarno pada waktu itu. Apa jawaban Salim? Dengan mantap ia mengatakan: ”Saya disini tidak untuk mati. Tapi untuk hidup!”
(JJ. Kusni, “Surat Kembang Kemuning-Pameran Lukisan Salim di Kota Praja Paris”, www.osdir/mail archive/2005).
Sedangkan kisah romantik dalam Seni Grafis Indonesia yang selalu dikutip setiap membahas sejarah munculnya seni ini di Indonesia salah satunya adalah bagaimana heroiknya seni cetak grafis menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1946 - dimana Burhanudin Marasutan dan Mochtar Apin mulai memproduksi cetak cukil kayu dan lino untuk keperluan diplomasi kebudayaan pemerintahan Soekarno pada waktu itu (lihat katalo-katalog pameran Seni Grafis antara lain: “50 Tahun Seni Grafis Indonesia”, Bentara Budaya Jakarta 2000 dan “Grafis Hari Ini”, Bentara Budaya Jakarta 2008).

Pencapaian
Buat ukuran bangsa kita yang mengenal seni grafis tahun 1946, terhitung sejak terjadinya gerakan Burhanudin MS dan Mochtar Apin tersebut, maka paling tidak artinya kita -publik seni rupa di Indonesia- telah dijejali info, pengetahuan kasat mata dan pengalaman akan bentuk dan wujud salah satu teknik seni grafis tidak kurang selama 63 tahun. Suatu rentang waktu yang mencukupi sebenarnya buat meniti dan mengembangkan jenis medium seni rupa satu ini memasuki ranah apresiasi publik yang diatas rata-rata. Artinya mencapai tingkatan apresiasi menggembirakan. Lalu apa yang telah dicapai?
Lumayan ada Triennal Seni Grafis Indonesia yang diselenggarakan Bentara Budaya yang tahun ini memasuki penyelenggaraan kali ke-3. Lumayan masih ada satu studio cetak grafis yang mencoba bertahan lewat berbagai aktifitas dan segala keterbatasannya yaitu Studio Grafis Minggiran di Yogyakarta. Lumayan 2 tahun belakangan ini ada cukup sering even pameran/workshop seni grafis baik yang digagas oleh galeri dan lembaga kesenian lainnya maupun yang diusahakan oleh kalangan independen atau seniman sendiri (beberapa pameran dan workshop itu diantaranya: “Departemen Sosial”, Galeri Biasa Yogyakarta 2008, “NISHIKE-E”, Galeri Seni House of Sampoerna Surabaya 2008, “Grafis Hari Ini”, Bentara Budaya Jakarta 2008, “Grafis Indonesia Sekarang“, Tembi Contemporary Gallery Yogyakarta 2009, “Ilustrasi Keluarga Dalam Seni Grafis” Sutrisno di Rumah Budaya Tembi Yogyakarta 2009, “Hello Print”, Edwin Gallery Jakarta 2009, “FEROMON”, Bentara Budaya Yogyakarta 2009, “WHO“ Kelompok Tangan Reget di KERSAN Art Studio Yogyakarta 2009, “ Hangout #2“, Galeri Kedai Belakang Yogyakarta 2009, “Workshop Woodcut-Teknik Reduksi”, Japan Foundation Jakarta, “OOH MESIAS” Grafis Minggiran, Bentara Budaya Yogyakarta 2009, “Pameran Seni Grafis Koleksi Galeri Nasional Indonesia” di PPKI 2009, , “Galeri Kabuki Ukiyoe”, Japan Foundation Jakarta 2009, “Woodcut Easy and Fun Collected”, Grafis Minggiran di Jogja Gallery Yogyakarta 2009). Lumayan beberapa karya grafis masih sering terselip diantara jenis karya lainnya dalam berbagai even pameran seni rupa baik skala besar maupun kecil. Lumayan beberapa seniman masih menunjukkan minatnya dalam berkarya dan eksplorasi grafis (antara lain: perupa Tisna Sanjaya, Yamyuli Dwi Imam, Devy Ferdiyanto, Sri Maryanto, Agung “Pekik” Purboaji, AC. Andre Tanama, AT. Sitompul, Pegrafis dari Kelompok Tangan Reget, Kelompok Grafis Minggiran, perupa Surya Wirawan, Kelompok Taring Padi dan beberapa nama baru lulusan kampus seni rupa). Lumayan ada sedikit penikmat seni yang berusaha mengenal dan mengapresiasi baik karya-karya grafis. Lumayan masih ada pemerhati yang setia membela praktek seni grafis. Lumayan peran mass media dalam hal publikasi/sosialisasi seni ini mulai rutin. Dan lumayan-lumayan lainnya bila kita mau memperinci apa yang telah dicapai Seni Grafis Indonesia sampai saat ini. Cukupkah demikian?

Grafis dimata pengamat
Sekalipun telah ada pergerakan dalam seni grafis yang terlihat dari berbagai aktifitasnya akhir-akhir ini, kenyataannya harus diterima karena dimata pengamat tetap saja medium ini kalah populer dibanding medium-medium seni rupa lainnya. Usaha yang dilakukan oleh seniman termasuk beberapa galeri/lembaga seni dinilai belum cukup, terlalu lambat dan tersendat-sendat jalannya.
Seorang Aminuddin TH. Siregar yang kurator dan dosen jurusan seni grafis ITB, melihat kondisi yang terjadi dalam Seni Grafis Indonesia sampai saat ini sebagai hal yang membuatnya “gregetan”. Ia gregetan mengapa jalan seni rupa satu ini tidak mulus-mulusnya. Seni ini ada tetapi seperti tidak kelihatan sepak terjangnya. Kalaupun nampak wujudnya dalam pameran, selalu banyak muncul pertanyaan apa itu seni grafis? Bagaimana membuatnya? Kok ada edisi lain atau penggandaan, jadi macam seni apakah dia? Apa bedanya dengan Disain Grafis? Orisinilkah masing-masing edisinya yang mirip-mirip satu sama lainnya itu? Bila ingin membuat, dimanakah didapat bahan-bahannya? Dan serentetan pertanyaan lain yang sebenarnya cukup menandakan bahwa seni ini masih tetap berjarak dengan publiknya. Sampai-sampai “Ucok”, panggilan akrab Aminuddin mengandaikan perlu dibuat “terobosan segar dan tersistem” untuk mendongkrak popularitas seni ini ketingkat yang lebih baik lagi –meniru “kesuksesan” sepak-terjang medium seni rupa yang telah lebih dahulu populer.
Setali tiga uang dengan apa yang dirasakan Ucok, wartawan senior dan direktur eksekutif Bentara Budaya, Efix Mulyadi melihat memang tingkat apresiasi publik terhadap seni grafis belum berjalan seperti diharapkan. Medium seni rupa ini masih membutuhkan dukungan berbagai pihak agar berkembang lebih baik lagi. Lantaran itu lembaga yang dipimpinnya saat ini, Bentara Budaya telah berkomitmen untuk menjadi bagian dari proses pengembangan Seni Grafis Indonesia. Usaha mereka antara lain dengan menyelenggarakan pameran-pameran, menyelenggarakan Trienal dan mensupport berbagai kegiatan seni grafis. Diharapkan upaya-upaya ini turut merangsang perkembangan seni grafis di tanah air.

Persoalan pegrafis
Lantas bagaimana jalannya proses apresiasi tersebut dimata pegrafis, faktor atau hambatan apakah yang membuat jalan seni ini terlihat begitu lambatnya diterima publik? Mungkinkah ini lebih disebabkan oleh kurang keras bekerja dan kurangnya rasa percaya diri dari para penekun seni grafis itu sendiri? Kemana konsentrasi pegrafis terpecah?
Di kalangan pegrafis sendiri sering muncul keluhan akan minimnya jumlah studio cetak grafis berikut fasilitas mesin press manual/etching press untuk kebutuhan berkarya setelah mereka lepas dari kampus seni (untuk beberapa teknik grafis seperti cetak dalam/intaglio yaitu etching, drypoint, mezzotint, aquatint keberadaan etching press sangat mutlak). Sebagai catatan, studio cetak kita memang kurang sekali jumlahnya. Kalaupun ada, terpaksa jatuh bangun jalannya. Tercatat tahun 1973-1989 kita pernah memiliki studio cetak grafis Dacenta, Bandung yang aktif mencetak dan memamerkan karya-karya grafis beberapa perupa terkemuka Bandung. Setelah era Dacenta, juga di Bandung berdiri Studio Grafis Red Point (1993 ?) yang sempat menggebrak dengan serangkaian aktifitas dan karya penting (menyewakan studio/menyelenggarakan dan membuat pameran/workshop/mencetak portfolio grafis dan sebagainya). Sayang studio ini hanya bertahan kurang dari 10 tahun dan terpaksa ditutup karena perbedaan visi para pengelolanya. Lalu, masih di Bandung (2003 ) berdiri Rumah Grafis Cidamar. Mereka juga menyewakan studio/membuat workshop/menerbitkan news letter. Namun studio ini lebih pendek umurnya. Di Yogyakarta sendiri (2002 ?) beberapa mahasiswa seni grafis ISI nekad mendirikan studio dengan berbekal sebuah mesin press pinjaman. Studio ini masih bertahan sampai sekarang dan dibuat makin profesional serta telah memiliki mesin sendiri- ketika para pengelolanya sudah tidak berstatus mahasiswa lagi. Tidak kurang pula telah banyak usaha dilakukan studio ini dalam mendongkrak apresiasi.
Selain masalah kurangnya studio mencetak, beberapa pegrafis mengeluhkan tidak adanya organisasi induk/asosiasi yang mewadahi keberadaan pegrafis/kelompok pegrafis Indonesia. Pegrafis/kelompok pegrafis terkesan terpisah-pisah dan bekerja sendiri-sendiri. Kecuali mengikuti even-even pameran/trienal dan workshop, tidak ada ruang khusus pegrafis buat menjalin komunikasi. Ketiadaan organisasi induk ini bagi sebagian pegrafis cukup melemahkan ruang gerak mereka, padahal gairah berkarya masih cukup besar. Bagi mereka, hanya pegrafis yang “kuat staminanya” saja yang mampu berjalan sendiri.

Jalan keluar
Dengan kondisi demikian, apa yang dapat dilakukan saat ini? Akankah kita menunggu hingga semua persyaratan berkarya terpenuhi?
Tanpa menafikan keluhan beberapa pegrafis di atas, bila kita tidak menyerah dengan keadaan, rasanya akan tetap selalu ada celah yang dapat dimanfaatkan ditengah berbagai kekurangan fasilitas. Produksi karya yang selama ini masih terkesan malu-malu, malas-malasan dan hanya ramai produksi ketika ada even pameran/triennal seharusnya bisa lebih dipacu. Minimnya studio cetak grafis sepertinya bukan harga mati untuk ditembus. Saya mencatat ada beberapa perupa/pelukis/arsitek/fotografer (lebih dari 15 orang) di negeri ini yang memiliki etching press pribadi -yang seumpamanya lebih didaya gunakan buat keperluan berkarya grafis ketimbang sekedar dikoleksi hanya untuk pantas-pantasan karena cuma digunakan sesekali atau mungkin tidak pernah sama sekali- mestinya dapat membuat seni ini makin bergairah. Tentu tidak perlu menuntut mereka mendirikan open studio, karena tidak mudah dan tidak sesederhana kelihatannya untuk mengelola sebuah studio cetak grafis (karena menuntut disiplin, pengetahuan teknik yang benar dan manajerial yang baik). Cukuplah kita berharap sesekali mesin-mesin itu dipergunakan untuk workshop-workshop kecil membuat karya grafis, itu sudah hal menggembirakan. Tinggal bagaimana menjaga stamina agar aktivitas tidak berjalan sia-sia.
Untuk mendorong pertumbuhan karya dan pegrafis, saya sempat mempunyai pemikiran bagaimana seandainya kampus senirupa turut memfasilitasi dengan membuka ruang bagi peminat grafis diluar mahasiswa mereka untuk berkarya. Mengingat kampus-kampus tersebut memiliki studio cetak yang lengkap untuk praktek mahasiswanya, apakah mungkin studio-studio tersebut dipergunakan (disewakan atau dengan sistim kerjasama) oleh peminat grafis/pegrafis yang bukan mahasiswa, tentunya diluar jam-jam pemakaian oleh mahasiswa dan lewat pengawasan yang ketat. Mungkin birokrasi kampus dapat sedikit dicairkan dan lebih fleksibel dalam menghadapi situasi minimnya studio cetak grafis di negeri ini.
Beberapa waktu yang lalu, di sebuah ruang jaringan komunikasi pengguna internet, sempat muncul kembali gagasan beberapa perupa untuk membuat Asosiasi Pegrafis atau Asosiasi Seni Grafis. Sebenarnya hal ini lumrah saja dan telah banyak dilakukan oleh pegrafis di berbagai negara dan terlihat manfaatnya. Namun mengapa sulit sekali gagasan tersebut terwujud. Mungkin belum menjadi kebutuhan benar setelah dikaji lebih jauh oleh pemrakarsanya.

Penutup
Nah, memakai perumpamaan JALAN GRAFIS -seperti halnya pelukis Salim yang keras hati menempuh Jalan Paris- keberadaan Seni Grafis Indonesia tanpa ditunjang “kekerasan hati dan komitmen” dari para penekunnya untuk terus berkarya dan berkembang akan sulit mencapai arah yang dituju dan diidam-idamkan bersama.
Harus diterima bahwa “virus grafis” yang coba ditularkan sampai saat ini ternyata belum kemana-mana. Seni ini hanya didukung dan coba dihidupi oleh segelintir perupa, segelintir komunitas, segelintir lembaga, segelintir pemerhati dan segelintir penikmat/pencinta seni. Puaskah kita menerima keadaan dimana seni ini masih dipandang sebagai “seni penyerta” yang “diselipkan” diberbagai event pameran/art fair/ balai lelang sekedar untuk menyatakan bahwa ia ada, masih ada...?
Tidak bisa lain yang dibutuhkan saat ini adalah “kekerasan hati” dan membuang segala keraguan. Sehingga, andai ada pertanyaan/ujaran begini: “Pegrafis, kau pulanglah !(ke seni lukis/seni tiga dimensi/mixed media/seni instalasi dan seni-seni lain yang lebih popular dan digemari saat ini). Mengapa mati disini (di seni grafis ini)?”. Maka seperti halnya Salim, penekun seni grafis akan menjawab dengan mantap dan kepala tegak: “Saya disini (di seni grafis ini) tidak untuk mati. Tapi untuk hidup!”.
Romantik nan heroik bukan?

Yogyakarta, 13 September 2009
Syahrizal Pahlevi, pegrafis

(artikel ini dimuat di Visual Arts edisi Juni 2010)

MAGNET MOKU HANGA















MAGNET MOKU HANGA /
8 MINGGU YANG MENGESANKAN

(Saya menulis ini dalam kabar salah seorang pembimbing workshop kami, sensei Masahiro Takade meninggal karena sakit pada 31 Desember 2009 yang lalu di Kobe, Japan. Selamat jalan sensei, kami akan selalu mengingat pelajaranmu!).

28 September sampai 20 November 2009 yang lalu saya bersama 5 seniman dari berbagai negara mengikuti Nagasawa Art Park Artist-in-Residence, Workshop Program for Japanese Woodblock Printmaking di Awaji City, Hyogo, Japan. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Nagasawa Art Park (NAP) Committe , sebuah lembaga non-profit yang telah menyelenggarakan program ini sejak tahun 1996 dan berlangsung setiap tahun secara kontinyu. Dalam catatan mereka tidak kurang dari 100 seniman dari 30 negara telah terlibat didalamnya. Saya sendiri adalah seniman Indonesia ketiga yang berpartisipasi dalam workshop ini. Dua seniman sebelumnya adalah Isa Perkasa (Bandung) di tahun 1997 dan Eddi Prabandono (Yogyakarta-Jepang) tahun 1998.

Disebabkan sesuatu hal, saya baru berangkat dari Indonesia tanggal 28 September dan tiba keesokan harinya di Bandara Kansai International. Dari bandara saya menumpang bis dengan perjalanan lebih kurang tiga jam menuju tempat perhentian bis Tsuna Ichinomiya di Pulau Awaji . Disana telah menunggu staff NAP Committee dengan mobilnya, Masahiro Kosaka (manager operasional) dan Nichi-san, sopir yang selanjutnya akan sering mengantar kami untuk berbagai keperluan selama menjalani program.
Tidak lebih dari 20 menit saya telah tiba di Umihira Residence di Awaji City (satu dari 4 kota yang ada di pulau Awaji), tempat dimana kami para peserta program menginap. Lokasi ini terletak di atas sebuah bukit (Umihara Hill) dan jalan kesana sangat menanjak. Saya disapa oleh seorang wanita cukup umur, kira-kira kepala enam atau lebih, yang kemudian saya ketahui sebagai Keiko-san. Ah…agak sedikit terkejut saya. Sepanjang kontak e-mail kami selama ini, saya membayangkan Keiko-san, atau nama lengkapnya Keiko Kadota sebagai perempuan muda yang energik dikarenakan posisinya sebagai Direktur Program NAP. Soal umur ternyata meleset dugaan saya karena ia tidak muda lagi, tapi tidak dalam penampilan dan pembawaan, Keiko-san tidak kalah dengan anak muda dan sangat energik.

Mengapa saya sampai kesana? Magnet apa yang menarik saya?
Jauh di tahun 1998 saya pernah mengirim lamaran ke NAPP (dulu bernama Nagasawa Art Park Project) Committee yang menyelenggarakan program Workshop Japanese Woodblock Printmaking. Namun keberuntungan belum dipihak saya karena proposal saya tidak diterima. Baru di tahun 2008 saya mengajukan lamaran lagi untuk mengikuti program ‘autumn workshop’ 2009 dan saya diterima. Saya merasa sangat beruntung karena mereka sangat ketat dalam menyaring peserta dan kesempatan ini mesti dijalani sebaik-baiknya.
Selama ini saya hanya mendengar dan mengakses informasi cetak dan digital seputar Japanese Woodblock Printmaking atau yang dikenal dunia sebagai Ukiyo-e (images of the floating world). Seni cetak grafis yang lahir pada zaman Edo (1603-1867) ini menggambarkan keindahan alam, kehidupan sehari-hari dan penggambaran tokoh-tokoh masyarakat Jepang pada waktu itu seperti para raja, pahlawan perang, samurai, pekerja seni termasuk geisha. Kehalusan dan detail gambar yang dihasilkan oleh teknik cetak karya seniman-seniman Ukiyo-e legendaris seperti Hokusai dan Hiroshige diakui Van Gogh telah mempengaruhi kerja artistik diawal karir kesenimannya.
Dalam pergaulan seni rupa internasional seni cetak ini kemudian popular dengan nama Moku Hanga (istilah wood print dalam bahasa Jepang, Moku=kayu, Hanga=cetak/grafis). Berbeda dengan teknik seni grafis asal Eropah ‘woodcut’ yang saya tekuni selama ini yang merupakan seni grafis ‘basis minyak’, Moku Hanga merupakan seni grafis ‘basis air’. Bila dalam teknik woodcut seniman menggunakan tinta cetak atau offset ink guna mencetak image dari papan cukilan atau cutting block, dalam teknik Moku Hanga seniman menggunakan cat air, gouache, tinta cair atau jenis pigmen semacamnya. Lalu ada pasta pengikat yang dicampurkan pada pigmen warna agar elastis dan tidak cepat mengering pada saat mencetak yang mereka sebut nori (rice paste). Selain itu dalam Moku Hanga dikenal juga istilah kento yang diakui banyak seniman adalah suatu cara register kertas yang sangat baik guna mencetak karya multi warna dengan tingkatan presisi tinggi. Juga ada bermacam sikat berbulu halus (maru-bake) untuk meratakan pigmen warna diatas permukaan papan pada saat pencetakan. Teknik ini tidak memerlukan peralatan berat atau alat press untuk mencetak gambarnya. Mereka cukup menggunakan baren, sebuah alat penggosok bagian belakang kertas yang dibuat khusus menggunakan daun bambu lebar pada permukaannya.
Bagi saya ini adalah pengalaman baru yang sama sekali saya belum pernah mencobanya. Kesempatan residensi di NAP ini merupakan momen yang saya tunggu-tunggu sebab saya berharap mendapatkan pengalaman langsung serta merasakan aura tradisi Moku Hanga yang mereka sebar-luaskan.

Saya bersama 5 seniman dari German (disainer grafis), Italia (pegrafis dan disainer interior), Irlandia (pelukis), Inggris (pegrafis dan seniman enamel) dan Amerika Serikat (perupa) ditempatkan di lantai atas residence dan masing-masing mendapat sebuah kamar berdampingan. Studio tempat dimana kami akan bekerja nantinya ada di lantai bawah. Residence hanya diisi oleh kami berenam dan karenanya panitia menginginkan agar kami berlaku layaknya sebuah keluarga. Kami harus mengurus sendiri segala keperluan dari menyiapkan makanan, menjaga kebersihan ruangan dan studio sampai membuang sampah ke tempat pembuangan sementara yang letaknya tidak jauh dari residence. Untuk sementara, residence menjadi ‘milik’ kami yang harus kami jaga dan rawat seperti merawat rumah sendiri. Workshop berlangsung selama 8 minggu dimulai jam 9 pagi sampai jam 5 sore dalam 5 hari setiap minggunya. Sabtu dan Minggu adalah hari libur, namun sewaktu-waktu panitia dapat membuat acara yang harus kami ikuti.

Schedule yang disusun oleh Committee NAP sangat memudahkan kami dalam menyerap dan mengikuti program workshop. Minggu pertama adalah masa pengenalan sejarah singkat dan pengetahuan umum teknik Moku Hanga. Sesi ini diberikan langsung oleh Keiko-san. Kami diperkenalkan dengan alat-alat yang biasa dipakai dan akan kami pergunakan nantinya selama workshop, seperti satu set pisau cukil kwalitas tinggi, pisau kento, cat air dan gouache, nori, maru-bake, bermacam kuas dan lain-lain. Bila seniman Moku Hanga professional menggunakan cherry block sebagai papan cukil karena terkenal baik kwalitasnya, dalam workshop kami akan menggunakan shina-beni plywood, jenis kayu lapis yang sangat halus kedua permukaannya, cukup lembut saat dicukil namun tidak mudah pecah, dan lebih murah tentunya. Untuk kertas panitia menyediakan kertas khusus untuk Moku Hanga dalam jumlah banyak dan membebaskan kami untuk mencetak sepuasnya.
Kami juga berkesempatan melihat dan menyentuh langsung koleksi cutting block (papan yang telah dicukil) dari karya-karya klasik Moku Hanga yang sudah berumur ratusan tahun namun masih terawat baik. Dan, tentu saja koleksi karya-karya klasik yang sangat memukau itu. Ada yang dalam bentuk lembaran seperti poster, kartu ucapan dan buku-buku teks maupun komik yang kesemuanya asli hasil cetakan manual!
Kemudian Keiko-san melakukan sedikit demo dan memberi pengarahan kepada kami untuk memastikan agar kami tidak terlalu asing dengan teknik yang akan kami pelajari dibawah bimbingan para master Moku Hanga di minggu-minggu selanjutnya..
Masih dalam rangka pengenalan program, disamping mengikuti beberapa acara penyambutan yang cukup meriah dengan panitia, masyarakat dan beberapa tokoh pemerintahan kota Awaji, dalam minggu pertama ini juga kami bersama panitia melakukan tour island mengunjungi tempat-tempat penting yang menjadi penanda dan andalan Pulau Awaji. Kami mengunjungi beberapa temple/kuil penting, museum earthquake (museum peringatan gempa besar Awaji 1995) yang sangat modern, rumah pembuatan wewangian aromatherapi yang mempertahankan cara kerja manual, tempat pembuatan sake, menonton pertunjukan wayang klasik Jepang dan beberapa tempat menarik lain. Kunjungan tersebut selain buat mengenal lebih dekat kondisi sosial dan budaya setempat bagi saya juga adalah prolog yang menghipnotis kami untuk masuk lebih dalam lagi dengan praktek Moku Hanga yang menjadi tujuan residensi.

Minggu kedua sampai minggu keempat adalah pengalaman berharga bersama penekun-penekun tradisi. Dalam tiga minggu ini, selama 3 hari setiap minggunya, kami belajar banyak dari para professional yang merupakan master dalam bidangnya masing-masing. Mereka melatih kami dengan sabar, ramah dan penuh kerendahan hati. Yang turut mengesankan karena mereka tidak hanya mentransfer ilmu, tapi mereka memberikan kenang-kenangan buat kami berenam berupa; karya Moku Hanga, kartupos, sekeping cherry block dan benda-benda unik lain yang kesemuanya membuat hubungan guru dan murid terasa intim. Indah sekali cara yang mereka lakukan!
Kami memanggil dengan sebutan sensei (guru). Mereka adalah sensei Masahiro Takade-pria ramah dan berpembawaan tenang, seorang seniman Moku Hanga yang aktif berkarya dan berpameran. Ia juga berpengalaman lama sebagai pengajar di sebuah akademi seni di Kobe. Lalu sensei Yusuke Sekioka-lelaki pendiam yang lebih banyak bekerja, seorang master carver/pencukil yang merupakan murid langsung dari Hanbei Oekura-generasi keempat dari Moku Hanga carver. Ia juga adalah pendiri Sekioka Horiyu Studio pada tahun 1983 di Tokyo. Kemudian ada sensei Toru Ueba, pria eksentrik yang master printer/pencetak sekaligus pemilik workshop ‘Banpudo’ di Kyoto yang telah mengerjakan pencetakan ulang ribuan karya klasik Moku Hanga dan banyak karya cetak seniman kontemporer. Ia sendiri banyak membuat karya cetak dan mengikuti pameran.

Selama tiga hari di minggu kedua tersebut, sensei Takade mengajar kami prinsip-prinsip dasar teknik Moku Hanga; mulai dari mempersiapkan disain/gambar, mempersiapkan woodblock/papan yang akan dicukil, memindai gambar keatas papan, membuat cutting block/cukilan, mempersiapkan kertas-melembabkannya dengan cara dan perhitungan tertentu, menyiapkan pigmen warna-meratakannya di atas papan, mencetak-menggosok belakang kertas, mengangkat kertas, mengeringkan hasil cetakan sampai memberi tanda pensil di setiap karya yang dianggap berhasil. Kesemua tahapan ini harus dilakukan berulang-ulang sampai kami dianggap cukup menguasai prinsip-prinsip teknik tersebut.
Di minggu ketiga, selama tiga hari pula sensei Sekioka memberi kami latihan bagaimana menggunakan pisau cukil secara benar dan efektif. Mengingat profesinya sebagai seorang carver professional -ditengah minimnya jumlah carver Moku Hanga di Jepang sendiri sebagaimana ia katakan- sensei Sekioka mengarahkan kami agar dapat mencukil papan secara efektif guna mencapai hasil yang maksimal. Pencukil dilatih agar dapat melakukan pekerjaannya dalam satu posisi menghadapi papan cukil tanpa perlu banyak memutar-mutar papan yang hanya akan menghambat pekerjaan. Dalam workshop ini saya mendapat pengetahuan bahwa pisau utama dan terpenting dalam Moku Hanga multi warna adalah pisau miring/hangi-to. Pisau ini sangat diandalkan untuk membuat garis secara tepat dan dibantu dengan pisau lain seperti pisau U/Maru-to dan pisau datar/Hira-to untuk membersihkan bekas cukilan. Seniman Moku Hanga jarang atau hampir tidak pernah menggunakan pisau V/Sankaku-to karena beresiko merusak garis yang dibuat. Sebaliknya dalam teknik woodcut yang saya kembangkan selama ini justru pisau pavorit dan paling banyak saya gunakan adalah pisau V. Saya hanya menggunakan pisau miring dan pisau lainnya untuk memperluas cukilan. Dalam workshop, guna menyesuaikan dengan tradisi Moku Hanga, saya mau tidak mau untuk sementara menyingkirkan pisau V-pisau pavorit-dari jangkauan saya dan berusaha familiar dengan pisau miring/hangi-to. Bukan hal mudah merubah kebiasaan namun saya terus mencoba hingga mulai menikmatinya.
Dalam seni grafis pemeliharaan alat ikut menentukan sukses tidaknya proses berkarya. Merawat pisau cukil adalah hal penting yang juga harus diperhatikan pencukil kayu dengan selalu mengontrol mata pisau agar terjaga ketajamannya. Pisau cukil perlu diasah karena akan tumpul setelah cukup lama dipergunakan. Sensei Sekioka melatih kami teknik yang benar dalam mengasah pisau. Tidak mudah melakukannya karena mesti berhati-hati dan penuh kesabaran agar tidak merusak mata pisau.
Lalu di minggu keempat, selama tiga hari pula Sensei Ueba menggenapkan pelajaran. Keahliannya adalah seluk beluk pencetakan Moku Hanga. Ia banyak memberikan kami alternatif, trik-trik dan siasat pencetakan mulai dari teknik pembasahan kertas/dampness paper, sizing paper/melapisi kertas dengan campuran air dan bahan kimia untuk memperkuat warna, menggunakan pigmen warna hingga teknik menggosok bagian belakang kertas dengan baren. Sensei Ueba sangat ahli dalam hal ini dan selalu berusaha membantu dari setiap problem pencetakan yang sering kami temui.

Minggu kelima hingga minggu kedelapan kami bekerja tanpa pembimbing. Ini adalah saatnya mempraktekkan hasil latihan bersama para sensei yang sangat berharga tersebut. Kami mendapat tugas membuat 3 karya individual dengan masing-masing dicetak lebih dari tiga edisi. Dalam Term of Condition program yang dikeluarkan oleh NAP Committe, kami berkewajiban memberikan 3 buah karya berbeda yang kami buat dengan masing-masing sejumlah 3 edisi sebagai koleksi mereka. Karya-karya tersebut akan dipamerkan pada maret 2010 di galeri NAP. Ternyata sisa waktu 4 minggu terakhir dirasakan kurang oleh sebagian dari kami para peserta program untuk menyelesaikan karya. Kegagalan demi kegagalan dalam mencetak harus kami hadapi. Maklum sebagian besar dari kami untuk pertama kalinya bekerja dengan teknik ini. Namun akhirnya kami berenam dapat menyelesaikan karya masing-masing tepat pada waktunya. Mendebarkan dan mengesankan.

Selain kesibukan membuat karya, banyak acara yang kami ikuti ditengah workshop seperti; mengunjungi pabrik kertas terkenal Awagami di Tokushima yang membuat kertas ukuran 2,5x5,5 meter secara manual, hallowen party bersama anak-anak, presentasi karya dan open studio bersama masyarakat sekitar residence, berkaraoke ria.
Salah satu tujuan program ini seperti yang dikatakan oleh Keiko-san dalam sayonara party menjelang berakhirnya workshop adalah bukan untuk menuntut peserta agar berkarya seperti seniman Moku Hanga. Tapi adalah tugas NAP Committee untuk mentransfer teknik kepada para seniman peserta guna lebih merangsang kerja kreatif mereka kedepan. Ini adalah magnet Moku Hanga!

9 Januari 2010
Syahrizal Pahlevi, Perupa.

Dimuat di Visual Arts magazine #36/april-mei 2010

=====================
MAGNET MOKU HANGA / Eight Impressive Weeks

(I wrote this article in memory of one of my tutors, Sensei Masahiro Takade, who died on December 09th, 2009 in Kobe, Japan. I will always remember him! “Goodbye, Sensei Takade, thank you for your dedication!”).

From September 28th until November 20th, 2009, six artists from different countries (including myself from Indonesia) participated in the Nagasawa Art Park, an artist-in-residence, workshop program for Japanese woodblock print-making in Awaji City, Hyogo, Japan.

This program was hosted by Nagasawa Art Park (NAP) Committee, a non-profit organization that has been providing this program since 1996. This organization hosted more than 100 artists from 30 countries worldwide. I was the third artist from Indonesia to participate in it. Prior to me were Isa Perkasa (an artist from Bandung) in 1997 and Eddi Prabandono (artist from Yogya-Japan) in 1998.

I left for Japan on September 28th, and arrived at Kansai International Airport. From there I took a bus which brought me to Tsuna Ichinomiya Terminal on Awaji Island. There were two NAP Staffs waiting for me in a car; Masahiro Kosaka (the Operating Manager), and Nichi-san (the driver) who were both responsible for our transportation during our program.

After only twenty minutes we reached Umihira Residence in Awaji City, the place where all the participating artists were staying. Awaji City is one of four cities in Awaji Island. It is located on the steep hillside of Umihara Hill.

A lady in her late sixties or more said hello to me. She was Keiko Kadota that we called as Keiko-san, a NAP Programs director. In fact she was the lady that had corresponded with me before I came to Japan. She was so energetic and dynamic, I was surprised. She was much more energetic than most people I know in that age group.

In 1998 I applied for the Residency Program to NAP (it used to be called Nagasawa Art Park Project), a committee which hosted Japanese a woodblock print making workshop. My application was rejected. In 2008 I applied for different program called Autumn Workshop 2009 and was accepted. I felt very lucky to be selected because I had to compete with many great talented artists from all over the world so I took this opportunity very seriously.

Previously the only information I had about Japanese woodblock print making was known as ‘Ukiyo-e,’ literally translated as “floating world.” Ukiyo-e is a genre of Japanese woodblock prints or woodcuts and paintings produced between the 17th and the 20th centuries, featuring motifs of landscapes, tales from history, the theatre, and pleasure quarters. It is the main artistic genre of woodblock printing in Japan. Print making started at the time of Edo Era in 1603-1867. It mostly pictured the beauty of nature, daily life, and important figures living at that time (kings, heroes, samurais, and art workers including Geishas. The fineness and details of the artwork created by legendary Ukiyo-e artists using this technique is very impressive and well-known. Even Van Gogh admitted that his painting technique was influenced by it.

‘Moku Hanga’ is an internationally-known, traditional, Japanese water-base woodcut technique. Moku Hanga Japanese wood print is totally different with European wood print—which I had been familiar with. European Wood print usually uses oil-based media. Moku Hanga uses water-based media. Regular wood print uses offset ink to produce the artwork. But Moku Hanga uses many medias such as watercolor, gouaches and other water-based colored pigments which are usually mixed with nori (rice paste), an elastic binder used to slow the drying process.

There is another technique called ‘Kento’ (Japanese Registration). This technique is very well known among artists. It is a simple device which the printer uses to insure registration of the picture throughout the printing process. It has been employed for several centuries and has proven it to be the best means for keeping tight registration. Two small projections are used to keep the block margins exact to ensure registration. A special brush called ‘maru-bake’ with fine bristles is used to apply colors to the wooden plate. This style of print making does not need a heavy-duty press to create the image. It only uses a ‘baren’ which is a light rubbing pad made of bamboo leaf. The baren is used in traditional Japanese woodcut printing. Its strong grain and tough surface allows the artist to apply pressure firmly and efficiently to the paper.

Six of us participated in the program: a German artist, Philip Rumph (graphic design), an Italian artist, Nicolo Barbagli (printmaking and interior design), an Irish artist, Ross mc Donnel (painting), a Great Britain artist, Laura Boswell (enamel art and print making), an American artist, Betsy Best Spadaroo (printmaking) and myself, an Indonesian artist (painting and print making). We stayed in two-story studio. We each had our own bedroom located upstairs. We used the downstairs as a shared studio. We shared this building like a family and treated each other like family members, sharing utilities and cooking food, cleaning dishes and keeping house together.

The workshop lasted for eight weeks, five days a week (Monday to Friday) from 09:00 am until 05:00 pm. Saturday and Sunday were free days, except when committee had important, non scheduled programs that they wanted us to participate in. The programs were very professional and scheduled very well so that it was very easy for us to participate.

The first week was a short history introduction and basic knowledge on Moku Hanga Technique. Keiko-san gave this brief introduction; including a tool introduction on what and how to use them. There were knife-tools i.e : special carving knife set, Kento knifes set, water color, gouache, nori, maru-bake (a hand-made professional printing brush made out of horse tail) and some other interesting brushes.

Most of Moku Hanga professional artists prefer to use cherrie block (wood from cherrie tree) because of the high quality. But for us in the workshop they provided shina-benie plywood. It is good quality and it doesn’t break easily and it is affordable so we could use a lot. It has a fine grain and is very easy to carve. The committee also provided us with several kinds of interesting print making paper to use for the printing workshop. They were also very generous with other art supplies to use.

We also had the opportunity to see old classical Moku Hanga cutting blocks. We were surprised that we were allowed to touch them with our hands! Those cutting blocks seemed very well-preserved. Besides cutting block collections, we also saw other impressive, ancient art collections such as posters, greeting cards, text books and comic books all which were hand-made (manually produced!).

In the first week, Keiko-san also gave us introduction demonstrations on Moku Hanga technique to make sure that we would start to get used to the Moku Hanga terminology when we would study under Moku Hanga masters in the following weeks. Besides all of these residence activities, the committee also invited some other communities in Awaji Island to give us a welcome ceremony. It was very interesting for us to see how hard they had worked on this program.

We also had a tour of the island to important places such as temples, a modern earthquake museum (to remember the big earthquake of 1995), a therapeutic therapy aroma house which still proudly uses manual labour, and a sake making house. We also saw a Japanese classical puppet show and some other interesting places. These visits were very important and enticed me to go further to study Moku Hanga which is the main reason to participate in this program.

We had the opportunity to go to a Paper Factory, a very famous Awagami Japanese Papers Factory in Tokushima, That company could produce 2.5 x 5.5 meter paper manually!

We had Halloween Party with children over there, made art presentation and open studio for people to come, plus, we had a Karaoke Party!

The send to the forth weeks were very valuable for all of us. We studied Japanese traditions. We studied three days a week under the guidance of Moku Hanga masters. They trained and taught us patiently and humbly in full dedication. They also gave all of us some of their art such as postcards, carved cherry blocks and other artwork as gifts. This kind of giving not only made us very touched but also made the teacher-student relationship very beautiful.

We had three Moku Hanga masters/teachers. Sensei Masahiro Takade is a friendly and quiet person, very productive and active in many exhibitions. He is also an experienced professor at an Art Academy in Kobe. Sensei Yusuke Sekioka is also a quiet man and who likes to create artwork. He is a Moku Hanga master and was a student of Hanbei Oekura, a forth-generation of Moku Hanga masters. He is also the founder of Sekioka Horiyu Studio in 1983 in Tokyo. Sensei Toru Ueba is an eccentric man and a master in printing. He owns a Banpudo Workshop, that has done a lot of printing business for Moku Hanga classic artwork and other contemporary artists’ artwork. He is also a very productive artist and active in many exhibitions.

Sensei Takade taught us the basic theory on Moku Hanga techniques, such as how to design and draw images, how to prepare the woodblock, how to transfer image from the paper to the cutting block, how to moisten the paper with correct precision, how to prepare pigments, how to level them on the cutting block, how to rub/burnish it on the back of the paper, how and when to lift the paper and to dry it and where to put pencil mark on the prints. We practised all those steps many times to make sure that we mastered them very well.

During the third week for three days Sensei Sekioka gave us lessons on how to use carving knives/chisels efficiently, so we wouldn’t have to keep rotating and spinning the cutting block often, which can slow down the process. Since now in Japan there are not so many Moku Hanga carvers, this concerns Sensei Sekioka. He is concerned how to produce more artwork with the very limited amount of Hanga cavers that Japan has. Finally he discovered very efficient tricks how to carve efficiently and can produce more artwork. He shared his tricks when he taught us. He showed us how to use ‘Hangi-to’ knife (the angle of the blade goes in the opposite direction) correctly. We used this knife to create very thin lines precisely. He also showed us how to use ‘Maru-to’ (a “U” gouge) and ‘Hira-to’ after we carve with Hangi-to knife we clean/smooth cuts on the block. Moku Hanga artists almost never use ‘Sankaku-to’ (a “V” gouge) because this type of knife can wreck the thin line on the block. This knife doesn’t like to go against the wood grains. This knife is for use on linoleum—where we can maneuver the knife more easily. That was totally the opposite that I was used to. In Indonesia the Sankaku-to (“V” gouge) knife/chisel is actually my favorite. I always use it. I use this knife for almost all of my cuts because I like the effect that it gives. I only used the ‘Hangi-to’ knife for certain purposes only, such as widening the lines.

During the workshop in Japan, I had to follow the Moku Hanga tradition not use the Sankaku-to knife. It was not an easy thing for me to do, since that knife was like my “magic” knife, but eventually I was able to get used to it and discovered the great benefits from not using it for a while. Sensei Sekioka also showed us how to sharpen our knives and chisels, because that is key to woodblock print making artwork. He also taught us to maintain them and pay attention to the blades and the sharpness of the knives. All of this will effect the result of the art.

During the fourth week for three days, Sensei Ueba taught us about the printing process used in Moku Hanga artwork. He showed us on how to dampen the paper, apply the sizing (the coating) and how to apply colors with brush. We also learned how to put nori on the wooden block correctly, how to burnish the back of paper and how to ‘Ken-to’.

Week five to week eight we worked independently without any guidance. This was an opportunity for us to practice and apply all the theory and lessons we had learned in the studio. We also improvised and tried some tricks some of the teachers had taught us.

We were instructed to make three projects. Everyone had a similar task to finish. Eventually these art projects would be part of the collection of NAP. The art will be exhibited at NAP’s Gallery after March 2010.

We made many mistakes and failures in the printing process because these task seemed insurmountable for us and of course it was very stressful with the short remaining time that we had in Japan, but we all made it and accomplished our goal. It was amazing!

It was an amazing experience for me to have this great opportunity to get involved with the residency program. It was the moment I had been waiting for to study the Moku Hanga traditions and other new things in Japan!

Keiko-san said that the purpose of that program, in the Sayonara Party, was not to make the participants become Moku Hanga Master, but it was the NAP’s responsibility to share the knowledge to the selected artists, so that it would maintain or stimulate people to get interested to study Moku Hanga Art in the future. This was the magnet of Moku Hanga for me!

January 9th, 2010

Syahrizal Pahlevi (painter and printmaker)

Translation by:
Toto Sugiarto and Laurie Sugiarto
Minneapolis, Minnesota USA

ILUSTRASI CERPEN TIDAK BERSALAH

 



ILUSTRASI CERPEN TIDAK BERSALAH.

Mengapa ilustrasi cerpen di Kompas Minggu dianggap mengganggu ke’khusukan’ pembaca teks cerpen itu sendiri? Sebegitu ‘perkasa’nyakah ilustrasi cerpen hingga sanggup ‘menyurutkan kekuatan gaib kata-kata’ yang sudah dibangun (tentunya) dengan sungguh-sungguh oleh para pengarang?

Pertanyaan diatas muncul dibenak sesaat setelah menyimak tulisan Wahyudin di Kompas Minggu, 3 Agustus 2008 yang lalu.

Salahkah ilustrasi-ilustrasi tersebut?

Saya juga termasuk penikmat Kompas Minggu yang berharap dapat selalu dikagetkan akan munculnya ilustrasi-ilustrasi cerpen yang ‘mengejutkan’, ‘segar’ dan ‘tidak biasa-biasa saja’ serta tidak membosankan sehingga tidak cukup alasan buat penikmat cerpen (plus ilustrasi) untuk berpikir bahwa ilustrasi-ilustrasi tersebut ‘bisa saja tidak usah dihiraukan’ keberadaannya.



Namun dalam hal ini, ilustrasi ‘yang segar dan tidak biasa-biasa saja’ bagi saya adalah yang ‘mengganggu’, terutama karena ‘keelokan’ tata rupanya. Tidak menjadi keharusan benar apakah ilustrasi itu mampu menjelaskan atau mengusung makna dari teks yang terkandung dalam cerpen tersebut. Yang saya harapkan adalah, ilustrasi setidaknya mampu mengimbangi tema yang diangkat oleh cerpen. Dia perlu bersaing menjadi sama menariknya dengan isi cerita pendek itu sendiri. Sehingga ketika bersanding dengan cerpen, lewat kekuatan tata rupanya, peran ilustrasi buat memikat pembaca tersampaikan. Pembaca betah membaca cerpen tersebut dan betah menatap ilustrasinya. Sebaliknya andai ilustrasi tersebut dilepaskan dari cerpen, dia juga mampu berdiri sendiri sebagai karya yang utuh (mungkin ini termasuk pandangan ‘khas perupa’).

Bukan rahasia umum bahwasanya ada dari kita justru tergoda membaca cerpen (atau buku) seringkali berawal dari ilustrasinya (atau covernya). Terkecuali kita memang mempunyai pengarang-pengarang pavorit atau tema-tema pavorit tertentu yang bisa saja membuat peran ilustrasi (atau cover buku) cenderung diabaikan begitu saja
====

Sejauh yang saya ikuti, Kompas termasuk sangat serius dalam menggarap ilustrasi-ilustrasi cerpennya - sehingga membuatnya berbeda dengan kebanyakan harian lainnya. Dulu kita kerap disuguhi ilustrasi-ilustrasi berkarakter khas yang digarap



bergantian: Hard -dengan gaya cenderung realistik dan GM Sudarta -yang banyak dipengaruhi
karikatur-karikaturnya. Kolom tersebut juga sempat beberapa waktu dikerjakan oleh LimBunCai (kalau tidak salah ingat). Kemudian cukup lama kita diasikkan oleh keliaran garis Ipong Purnama Sidhi. Lalu dalam kurun waktu yang cukup panjang pula kita khusuk menikmati seni gambar almarhum Semsar Siahaan. Setelah itu tampil beberapa nama yang saya tidak terlalu ingat.

Dan kini, sejak 2002, kita disuguhi variasi ilustrasi yang dibuat oleh banyak perupa Indonesia. Silih berganti, tiap minggu seorang perupa ditampilkan repro ‘karya khususnya’ dirubrik cerpen. Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus perupa yang terlibat-yang dipilih oleh ‘koordinator-koordinator perupa’ di wilayah; Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang dan Bali.

Seorang perupa bisa jadi hanya (baru) satu kali berkesempatan menggarap ilustrasi. Perupa lainnya ada yang telah mendapat kesempatan 2-3 kali bahkan lebih sering lagi. Sementara perupa-perupa yang belum bekesempatan mungkin menunggu atau sedang dijadwalkan, atau mungkin tidak akan pernah mendapat kesempatan karena berbagai kriteria yang telah menjadi kebijakan pengelola. Tentu saja akan ada pula perupa-perupa yang enggan dilibatkan dalam proyek ilustrasi ini dengan berbagai alasan masing-masing.
Dikalangan pemerhati, rubrik cerpen plus ini (plus ilustrasi oleh perupa) disejajarkan dengan galeri, karena termasuk unik, alternatif dan menggugah daya cipta (meminjam istilah Wahyudin).
Setiap tahun karya-karya asli perupa yang menjadi ilustrasi cerpen Kompas ditahun sebelumnya dipamerkan di galeri-galeri sesungguhnya, berkeliling di Jakarta, Yogyakarta dan di kota-kota lainnya.


Saya telah tiga kali mendapat kesempatan mengisi ilustrasi di ‘galeri’ ini. Merasa puas karena dapat bekerja maksimal di kesempatan pertama dan ketiga, tapi kurang puas karena tidak dapat maksimal dikesempatan kedua.
Barangkali saya termasuk dalam kategori- seperti disebut Wahyudin- ‘perupa langganan’ atau ‘perupa yang itu-itu saja’, karena telah 3 kali mengisi ‘galeri’ ini.
====

Saya tidak tahu persis kriteria apa saja yang menjadi rujukan pengelola ‘galeri’ dalam memilih seniman pengisi ilustrasi cerpen Kompas. Mungkin bisa bermacam-macam dan sangat bergantung kecenderungan selera artistik masing-masing 'koordinator’. Saya pernah menduga kemiripan setting cerita dari cerpen dengan budaya asal daerah seniman calon pengisi ilustrasi, bisa saja menjadi salah satu pertimbangan ‘koordinator’.


Pertama kali menerima ajakan membuat ilustrasi cerpen kompas tahun 2002, saya disodori cerpen Ratna Indraswari Ibrahim, ‘Perempuan di Jenjang Rumah’. Saya sempat bertanya-tanya mengapa ilustrasi untuk cerpen tersebut dipercayakan kepada saya?.
Apakah asal pilih seniman, yang berarti ‘gambling’, atau ada pertimbangan lain?

Kebetulan cerpen tersebut bersetting daerah perkampungan air di Kalimantan yang suasana dan kebiasaan penduduknya mirip-mirip dengan daerah asal saya Palembang, Sumatera Selatan. Jadi saya anggap saja pertimbangan tersebut kebetulan diterapkan kepada saya.
Ketika mengamati korelasi setting cerita cerpen-cerpen selanjutnya karya pengarang lain dan seniman-seniman pembuat ilustrasi lainpun, saya melihat sering ada kecocokan sebagaimana halnya kasus yang saya alami. Setting cerita Bali kerap ilustrasinya dibuat perupa asal Bali, setting cerita Sumatera Barat sering ilustrasinya dibuat perupa berdarah Minang, setting cerita Jawa atau budaya Jawa sering ilustrasinya dikerjakan perupa berdarah Jawa.

Pada kali kedua mendapat order inipun (2005) saya masih merasa pertimbangan korelasi setting cerita dengan daerah asal perupa masih diterapkan. Pada waktu itu saya mendapat cerpen Martin Aleida ‘Salawat untuk Pendakwah Kami’ yang bersetting cerita Melayu Muslim di Sumatera bagian utara. Ah, saya kira ‘koordinator’ (yang kebetulan sama) menduga Palembang cukup sarat dengan budaya melayu muslim pula.



Apakah ada faktor ‘pembisik’ dan ‘koncoisme’ dalam memilih calon penggarap ilustrasi sebagaimana disangkakan oleh tulisan Wahyudin,… Wallahualam. Saya kira hal ini dikembalikan pada otoritas pengelola ‘galeri’ ini sendiri.
Saya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan ‘koordinator’ di Bandung, Jakarta, Malang ataupun Bali. Tapi menurut saya ‘koordinator’ di Yogyakarta cukup memiliki otoritas yang dipujikan.
Pernah secara iseng di akhir tahun 2005 saya mengontak ‘koordinator’ agar diagendakan menggarap ilustrasi cerpen lagi. Ketika itu saya dalam tahap melanjutkan pengobatan guna memulihkan kesehatan saya yang banyak memakan biaya. Dalam pikiran saya waktu itu paling tidak honorariumnya bisa buat tambah-tambah keperluan membayar obat dan dokter.
Namun saya tidak kunjung mendapat garapan ilustrasi dan saya tidak pernah mengontak ‘koordinator’ lagi. Hal ini cukup menunjukkan faktor ‘koncoisme’ tidak berlaku. ’Koordinator’ saat itu lebih memikirkan kepentingan pembaca (penikmat) rubrik ini ketimbang kepentingan lain-lainnya. Suatu hal yang tentunya senantiasa kita harapkan pula.

Di tahun 2007 saya mendapat garapan ilustrasi lagi (kali ini lewat ‘koordinator’ berbeda) Cerpennya F Dewi Ria Utari, ‘SINAI’, dan tampaknya pertimbangan ‘koordinator’ ini kepada perupa agak berbeda kriterianya dengan kesempatan yang diberikan oleh ‘koordinator’ di tahun 2002 dan 2005. Ia tidak menghubungkan setting cerita dengan budaya asal daerah calon pembuat ilustrasi.
====

Bila mengingat ratusan ilustrasi cerpen yang dibuat para perupa (sejak tahun 2002) ,dari beragam karakter dan kecenderungan visual, tidak semua tampak ‘segar dan mengejutkan’ memang. Ada ilustrasi yang kelihatan dikerjakan sungguh-sungguh, tapi ada juga yang tampak dilakukan setengah hati- mungkin penggarapnya mengganggap ilustrasi adalah kerja yang ringan bobotnya dibanding ketika membuat karya utama. .Barangkali pula ini adalah resiko yang harus dihadapi pengelola, mengingat proyek ini menyimpan ‘sisi spekulasi’ (spekulasi dalam artian perupa yang setuju terlibat ternyata tidak mematuhi aturan main, seperti gagal memenuhi deadline ).

Namun jangan lupa; karena ini produk cetakan, adanya peran ‘tangan fotografer’ atau ‘media scanner’, ‘penata letak’ sampai ’kontrol sparasi warna di percetakan’ sedikit banyak berimbas pada kesan yang akan kita terima dalam menikmati ilustrasi. Bisa saja ilustrasi yang aslinya bagus sekali jadi ‘tidak terasa apa-apa’ ketika muncul di koran. Atau sebaliknya, ilustrasi yang biasa-biasa saja jadi meningkat kualitasnya setelah tercetak.
Lalu, mungkinkah Kompas ‘terlalu jauh’ dengan eksperimentasinya, sehingga membuat ‘jengah’ beberapa pembaca setianya? Kalau ini benar, berarti memang saatnya kini
‘menyegarkan diri’, sebagaimana apa yang disarankan dalam tulisan Wahyudin.
Namun betapapun ‘kurang-lebihnya’ pencapaian proyek ‘galeri’ ini, disektor apresiasi sastra pastilah ada hal yang meningkat. Setidaknya, sejumlah perupa yang malas membaca sastra tertulari ‘virus sastra’- hal yang diyakini para pengamat bakal berimbas baik buat penciptaan karya-karya mereka kedepan. Belum lagi terhitung berapa banyak peminat seni, pemilik galeri atau kolektor lukisan misalnya, yang jadi tertarik membaca cerpen- bila selama ini mereka enggan menyentuhnya.

Apa yang telah dicapai oleh Kompas, menurut saya ‘terlalu menarik’ dan ‘penuh kejutan’.
Koreksi dan kritik perlu ditindaklanjuti dengan menajamkan kriteria dan memperketat kontrol disana-sini. Harapannya ‘galeri’ ini tidak asal menampilkan seniman hanya dikarenakan kurangnya informasi data seniman atau mungkin karena terlalu memuja seorang seniman . Tapi juga tidak asal menjadi ‘parade’ atau ‘ ajang arisan’ seniman hanya karena ingin merespon kritik dan memenuhi selera pembaca tertentu pula. Pastinya pula Kompas akan memiliki alasan yang kuat ketika kali tertentu berkepentingan menampilkan ‘perupa langganan’ atau ‘perupa yang itu-itu saja’, karena hal seperti ini pantas-pantas saja…
====



Yogyakarta, 6 Agustus 2007
Syahrizal Pahlevi
Artikel ini dimuat di Kompas Minggu 31 Agustus 2007