Selasa, 22 Juni 2010

Jogja Meradang









(mengapa) JOGJA MERADANG ?
Sejak kemunculan artikel Wicaksono Adi “Yang Keren dan Terkendali” di Kompas Minggu, 11 Januari 2009 lalu yang isinya banyak memuat pernyataan memperbandingkan antara perupa-perupa Bandung dan perupa-perupa Yogyakarta, telah membuat iklim seni rupa di Yogyakarta “memanas”. Sebagian perupa merasa “terganggu” dengan pernyataan yang menyudutkan kubu Yogyakarta dalam artikel tersebut dan serta merta menolaknya. Sebagian lagi pilih tenang-tenang saja tanpa merasa terganggu atau malah hanya tertawa geli membaca artikel yang “panas” itu.
Perbincangan antar seniman menjadi ramai. Perupa menjadi kerap bersilaturahmi, saling berkunjung, mengakrabkan dan merapatkan diri. Media komunikasi seperti telpon, sms, email, facebook, blog marak membicarakan seputar artikel . Ruang-ruang perjumpaan fisik antar seniman seperti kafe, lesehan, warung angkringan, rumah dan studio perupa juga acara pembukaan pameran hangat diisi perbincangan bagaimana seharusnya sikap perupa menghadapi artikel tersebut. Keadaan menjadi semakin riuh saat Kompas Minggu tanggal 18 Januari 2009 menurunkan artikel Yuswantoro Adi yang terlihat bertugas menangkis pernyataan dalam artikel Wicaksono Adi sebelumnya. Yuswantoro Adi yang nampak gesit dan selalu menyertakan humornya yang khas berusaha mematahkan poin demi poin pernyataan Wicaksono Adi yang dirasanya tidak tepat. Perbincangan seru, meriah, kocak tapi juga serius dalam menanggapi 2 artikel tersebut terjadi di facebook, kolom komunitas “Kembali ke Gampingan” yang dikelola Tarsisius Wintoro, alumnus ISI Yogyakarta (disana siapapun yang terdaftar dalam komunitas tersebut (hanya untuk alumni ASRI/ISI ? –penulis) dapat menyampaikan komentar atau pendapatnya dengan bebas dengan bahasa yang bebas pula dan tidak boleh tersinggung atau dalam jargon mereka pokoke nesu mulih). Beberapa komentar menganggap Yuswantoro Adi terpancing dengan wacana Wicaksono Adi yang seharusnya tidak perlu ditanggapi sedemikian rupa. Sementara beberapa komentar lain bersetuju dengan tanggapan itu dan menganggap perupa Yogyakarta perlu melakukannya agar publik melihat duduk perkaranya dengan tepat.
Blog pribadi Wicaksono Adi http://adi-wicak.blogspot.com/ pun tidak luput dari kiriman komentar pengunjung yang menanggapi tulisannya. Mulai dari komentar kekesalan, mencemooh maupun yang sekedar mempertanyakan mengapa ia sampai menurunkan artikel yang “mengganggu” perupa Yogyakarta. Minggu selanjutnya Kompas absen memuat artikel mengenai soal tersebut. Baru pada 1 Januari 2009, Kompas Minggu menurunkan tulisan G Budi Subanar ( seniman Yogyakarta akrab menyapanya dengan sebutan Romo Banar), “Dari Kepurbaan Nasirun sampai Mimpi Samuel” yang isinya juga mengkaitkan bahasannya dengan dua artikel tersebut.
Mengapa Wicaksono Adi “tega” (menurut istilah beberapa perupa) membuat pernyataan yang dapat “melukai” perasaan teman-temannya? Tidakkah seyogyanya ia yang notabene jebolan kota yang sama dan sempat beberapa tahun belajar di ISI Yogyakarta bertugas memberi semangat dan tips-tips kepada perupa-perupa eks sekotanya dalam melangkah menuju persaingan ke depan dan bukan malah “menjatuhkannya”? Beberapa teman perupa merasa pernyataan dalam artikel tersebut cenderung kasar, tendensius dan berpotensi meruntuhkan “reputasi” serta mengusik “zona aman” sebagian perupa mapan karena menisbikan apa-apa yang telah dicapai mereka selama ini. Artikel Wicaksono Adi yang mengeneralisir semua perupa Yogyakarta tanpa memilah-milah mana nama atau kelompok yang ia maksud dan mana yang tidak termasuk dalam kategori pernyataannya memang bisa meletupkan tafsir miring. Seolah-olah perupa Yogyakarta itu bodoh semua, seolah-olah perupa Yogyakarta kurang bacaan semua. Begitulah kira-kira tanggapan dan isi hati sebagian teman yang merasa “terlukai” oleh artikel tersebut atau dalam istilah Romo Banar sebagai , “ pihak yang terkena goresan pisau analisis Adi Wicaksono”.
Saya sebenarnya enggan masuk ke perbincangan tersebut, selain karena tidak merasakan “terlukai” atau merasa “terkena goresan pisau analisis” juga masih menunggukan lanjutan artikel Wicaksono Adi sekiranya ia sungguh-sungguh dengan pernyataan-pernyataannya yang cukup kontroversial itu. Namun setelah membaca tulisan Romo Banar yang membawa kedua artikel tersebut kedalam ulasannya mengenai peristiwa “Seniku Tak Berhenti Lama”, sebuah gelar seni pergantian tahun 2008 oleh perupa Yogyakarta ( aksi berkarya baik perorangan dan kolaborasi dimulai sejak pukul 15.00 WIB sampai detik-detik pukul 00.00 WIB, tanggal 31 Desember 2008 bertempat di Taman Budaya Yogyakarta ) dengan berat hati akhirnya saya terpaksa memikirkan kembali sebagian pernyataan Wicaksono Adi mengenai pembacaannya atas perupa Yogyakarta. Dan saya tidak ingin berkomentar.atas sebagian lagi pernyataannya yang mengarah asal muasal, perilaku, gaya hidup sampai cara berpakaian perupa segala.
Sebagai bagian dari ratusan “penyaksi” yang menonton dan ikut terlibat secara emosional momen tutup tahun “Seniku Tak Berhenti Lama” tersebut, saya merasakan adanya “jarak” antara gelar acara pertama dengan rangkaian kegiatannya berupa pameran karya-karya yang dihasilkan pada tanggal 24-29 Januari 2009 di tempat yang sama dan tajuk yang sama pula. “Jarak” yang bukan semata dikarenakan adanya perbedaan waktu yang jauh pelaksanaan kedua kegiatan tersebut, 23 hari setelah momen pergantian tahun.
Menyaksikan pameran hasil karya yang dimaksudkan oleh panitia sebagai dokumentasi “rekam jejak” kegiatan sebelumnya, saya menilai panitia terlalu banyak melakukan “polesan” atas materi karya yang dipamerkan sehingga mengurangi “greget” kegiatan itu sendiri. Berkali-kali saya mengitari ruang pameran sekedar berusaha mendapatkan kembali “emosi, kenangan atau sisa-sisa cerita” yang saya rasakan ketika menghadiri “prosesi” gelar seni tersebut, saya tetap saja gagal. Tidak ditemukan jejak keriuhan, kekhusukan sekaligus gegap gempitanya aksi seniman sebagaimana digambarkan dengan positif oleh Romo Banar lewat catatan di brosur pameran “Di satu kanvas, tatkala masih sepi pengunjung, Djoko Pekik menorehkan kuasnya. Di ujung kanan, pesta rakyat dihadirkan dalam 4 figur perempuan dan 1 pria bertopeng. Di sebelahnya Suatmaji menggorekan tulisan Merahnya Merah, entah secara sadar merespon Djoko Pekik atau memang menghadirkan gagasannya sendiri untuk memberi sebutan beberapa figur yang digoreskan......dst. Di sebuah kanvas lain, Nasirun menghadirkan sosok binatang, entah lembu, banteng atau kerbau?.......dst. Dengan model yang dicari secara dadakan, beberapa pelukis Andre Tanama, Bambang Herras, Hari Budiono, Melodia, Yuswantoro Adi berkolaborasi mengerjakan lukisan seorang gadis cantik dalam posisi setengah tertidur. Bersamaan dengan kegiatan mereka, beberapa respon digoreskan. Akhirnya menjadi semacam ilustrasi sebuah bak truk, seorang gadis setengah tertidur dengan beragam tulisan Restu Ibu, Selalu on Time......dst” (Brosur Pameran Seni Rupa, SENiKU TAK BERHENTI LAMA !, Taman Budaya Yogyakarta, 24-29 Januari 2009).
Justru saya mendapati beberapa karya kolaborasi yang menjadi unggulan gelar seni tutup tahun tersebut telah berubah bentuk, tidak sebagaimana apa yang digambarkan oleh catatan Romo Banar di brosur pameran dan kesaksian siapapun yang hadir disana pada waktu itu. Karya-karya kolaborasi itu kini terlihat sangat terencana, rapih,bersih dan tertib visualnya jauh dari mengesankan hasil dari sebuah aksi seni yang, spontan, liar dan ekspresif. Tampaknya panitia sadar betul pentingnya mengemas pameran sekalipun harus meniadakan “jejak rekam peristiwa” karena emosi dan sisa-sisa cerita yang terhapus.
Ketika saya mencoba mengkonfirmasi soal tersebut, lewat seorang panitia saya mendapat penjelasan bahwa karya-karya kolaborasi itu memang mengalami pengerjaan ulang, dirubah dan dibuat agar “lebih selesai” untuk keperluan pameran. Panitia menilai karya-karya kolaborasi yang dibuat pada acara tersebut sebagai karya yang “tidak selesai/kacau bentuknya/tidak fokus apa ceritanya/tidak layak buat konsumsi pameran (dan dijual)” sehingga perlu ada pengerjaan kembali dengan menambah, menghapus dan mengganti visualnya sesuai yang dikehendaki oleh panitia. Pengerjaan dimulai tanggal 4 Januari sampai mendekati hari pameran, yang berarti 3 hari setelah momen tahun baru, yang berarti juga ketika suasana perayaan telah selesai.
Pantas saya tidak menemukan beberapa karya “penting” yang dapat dipakai untuk merujuk peristiwa pergantian tahun oleh perupa Yogyakarta tersebut. Tentu saja dalam kolaborasi tindakan merubah dan menghapus adalah hal yang sah. Namun, tetap saja terasa ada yang patut disayangkan karena aksi perupa yang menarik, akrab, bersahaja, eksperimental, demokratis, spontan, bermain-main, liar, rileks, inspiratif dan penuh kesegaran tersebut berbalik menjadi seolah kegiatan pameran biasanya, mapan, kehilangan semangat bermain, tidak spontan, terdikte, tidak rileks dan berkurang kesegaran ketika ditarik dalam sebuah pameran yang nampak mengusung beban tertentu.
Sejatinya pameran tersebut diniatkan panitia sebagai ajang penggalangan dana abadi seniman Yogyakarta guna menyantuni seniman-seniman yang membutuhkan: seperti seniman telah berusia lanjut, yang sedang sakit, yang bernasib kurang baik, mengalami bencana dan keadaan membutuhkan bantuan lainnya. Sebuah tujuan yang mulia (oya, kabar terakhir 4 karya kolaborasi unggulan tersebut telah terjual....Alhamdulillah). Ide pengumpulan karya perupa lewat kegiatan tersebut antara lain berawal dari keprihatinan sekelompok perupa atas nasib mendiang istri almarhum RJ Katamsi (Pendiri ASRI) yang kehidupan sampai ajal menjemputnya baru-baru ini nampak kurang mendapat perhatian dan bahkan kalangan perupapun tidak banyak yang mengetahuinya.
Barangkali untuk tujuan inilah dapat dimengerti sekaligus tetap mengundang pertanyaan mengapa panitia begitu peduli atas “mutu” karya-karya yang akan dipamerkan. Untuk rangkaian kegiatan yang inginnya “keluar dari kemapanan” itu lagi-lagi panitia-yang merupakan perupa-perupa Yogyakarta- kembali masuk dalam “kemapanan” itu sendiri. Dalam pengerjaan karya kolaborasi yang seharusnya sangat mungkin mengarah pada hasil tak terduga, panitia ternyata telah menentukan ukuran “selesai tidaknya” sebuah karya, “kacau tidaknya” bentuk karya, “fokus tidaknya” cerita dalam karya dan “layak-tidaknya” karya tersebut dipamerkan (dan dijual). Sebuah sikap mendua rasanya untuk aksi kolaborasi yang digelar di muka umum tersebut. Sebenarnya bila mau, panitia bisa saja membuat beberapa karya tambahan yang benar-benar baru dengan material baru pula buat kepentingan tersebut sehingga “sisa-sisa cerita” tidak hilang dan niat panitia menghadirkan karya “pantas pamer” dan “pantas jual” tercapai. Nyatanya panitia memilih mengganti kolaborasi Djoko Pekik dan Suatmaji menjadi karya yang dipercayakan digarap oleh Djoko Pekik saja (karena nama Suatmaji tidak menjual?) dalam sebuah kanvas. Di kanvas lainnya panitia memandang karya kolaborasi bersubyek perempuan setengah terlentang yang riuh, liar, penuh teks dan goresan-goresan spontan oleh peserta sebagai karya yang “tidak selesai/terlalu kacau bentuknya/tidak fokus cerita” hingga memutuskan menghapusnya dan menggantikannya dengan visual baru yang “lebih selesai, tertib bentuk, terfokus ceritanya dan layak pamer (juga layak jual)”. Atas adanya perubahan visual karya “penting” ini, data-data yang dimiliki oleh Romo Banar sebagai bahan ulasannya dalam brosur pameran menjadi kehilangan konteks hingga ia dalam kesempatan membuat artikel untuk harian ini terpaksa menambahkan keterangan dengan: “Dalam pengerjaan selanjutnya, Ong Hari Wahyu menyodorkan konsep (akhir) karya kolaborasi “Perempuan menanti fajar” hadir dalam seorang gadis setengah tertidur bermandikan mawar merah. Dengan latar kuning, gadis yang menyanding perahu-perahu kertas goresan Dyan Anggraini berubah menjadi “Perempuan menanti fajar” yang sangat romantis.....dst”.
Demikianlah potret (sebagian) perupa Yogyakarta. Penulisan hasil pembacaan atasnya memang tidak cukup dilakukan hanya dalam satu kali saja.


SYAHRIZAL PAHLEVI
Perupa, tinggal di Yogyakarta

(Dikirim ke Kompas,5 Januari 2009, TIDAK dimuat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar