Selasa, 22 Juni 2010

Awas, Komo Lewat!






(Pameran)

“AWAS, KOMO LEWAT !”

Judul diatas mengingatkan kita pada teks sebuah lagu anak-anak tahun 90-an yang cukup populer. Dikisahkan lalu-lintas berkendaraan di jalan menjadi macet setiap si Komo - boneka orang-orangan berwujud komodo - lewat, sebab semua perhatian pengendara tertuju padanya. Namun dalam tulisan ini Komo justru lewat untuk memecah “kemacetan”. Kemacetan karena banyak pameran seni rupa yang mulai membosankan.

Maka publik seni rupa harap awas!

Pameran Seni Rupa Surya Wirawan atau Komo (35 tahun) di Kedai Kebun Forum Yogyakarta yang berlangsung dari tanggal 5 sampai 31 Desember 2008 yang lalu terasa mengobati kepenatan dalam menonton pameran seni rupa.
Betapa tidak, ditengah gencarnya sodoran karya-karya perupa kita dalam berbagai pameran tahun-tahun belakangan ini yang seakan-akan berlomba membuat karya dalam ukuran serba besar (termasuk juga membuat tema yang seragam) TETAPI tidak sedikit yang “kedodoran” dalam penggarapannya, Surya Wirawan atau Komo-biasa ia dipanggil teman-temannya - justru konsisten dengan karya-karya ukuran mini atau karya kecil bermedium kertas ( dengan tema yang telah lama digelutinya, yaitu persoalan sosial-keseharian ) dan senantiasa terjaga kwalitas penggarapannya. Kecenderungan seperti ini memang telah melekat pada sosoknya sejak lama: Surya Wirawan atau Komo = tema sosial-keseharian= karya ukuran kecil = penggarapan yang detail.

Memasuki ruang pamer terasa ada kesejukan menatap display yang rapih, bersih dan dinamis penempatan karya-karyanya. Karya-karya yang umumnya bermedia kertas dalam ukuran kecil-kecil dikemas apik dalam frame-frame kaca warna natural dan pasporto yang rapih. Mata kita diajak terfokus di tiap-tiap karya dan kaki seakan dengan sukarela melangkah mendekatkan tubuh ini rapat ke fisik karya... menyerap persembahan teknik menggambar yang rinci dan aduhai...menelisik ke bagian-bagian yang kecil...sambil sesekali tertegun, terhenyak atau dibuat tersenyum kecut mengikuti plot-plot ceritanya.

Ada 50 frame karya dalam pameran ini yang dikerjakan dengan teknik beragam: 48 karya menggunakan kertas sebagai supportnya mulai dari teknik drawing pena (5 frame), cat air (12), tinta (1), cetak etsa (24) , cetak cukil kayu (6) dan 2 lukisan media cat akrilik di atas kanvas. Kesemua karya tersebut dibuat dalam ukuran rata-rata 20x30 cm, banyak yang lebih kecil lagi dan hanya satu-dua yang dibuat agak besar ( drawing tinta di atas kertas ukuran 63,5x96cm dan sebuah lukisan cat akrilik diatas kanvas, yang merupakan gabungan 2 panil karya masing-masing berukuran 80x70cm ). Kita dapat mengatakan karya-karya Komo dalam pameran ini tetap terkategorikan karya ukuran kecil atau mini.

Karya-karya tersebut dibuat dalam kurun tahun 2000 sampai yang terbaru tahun 2008 (drawing tinta bertarikh tahun 2000, drawing pena 2001, cukil kayu dan etsa 2002-2005, drawing cat air 2007-2008 serta lukisan cat akrilik 2006 dan 2008). Kita bisa mengikuti alur Komo, sejak dari karya bertema sosial kerakyatan ala Kelompok Taring Padi (Komo sempat lama menjadi salah satu anggota aktif) dengan ciri-ciri gambaran “tangan mengepal, alat alat perang, tentara, sosok petani dan teks-teks provokatif” hingga pergeseran tema karya-karya terakhir yang terasa lebih lembut dan lunak yang ia namakan topik “rasan-rasan tetangga” walau tetap saja sesekali muncul pesan-pesan atau celetukan “menohok” disana. Sepertinya pameran ini memang dipersiapkan untuk menunjukkan kecenderungan tema-tema dan pilihan media Komo yang bergeming ditengah terjangan arus seni rupa kita belakangan ini. Komo tetap saja mengangkat tema-tema sosial lewat tokoh-tokoh pinggiran/keseharian yang menjadi pavorit dan juga nampak seakan dijadikan komitmen kesenimannya - disamping petualangan teknik dan karya-karya mini tadi.

Kita diajak menikmati suguhan: Ada gambaran alam perkampungan dengan plang peringatan “NGEBUT SIKAT NDASE!” tertempel di sebuah pohon (“Rambu Terakhir”, etsa, 10x15 cm, 2004), ada gambaran penarik becak yang hanya bisa duduk di bangku warung makanan sementara becaknya dibiarkan kehujanan (“Sejak pagi hujan tak reda”, drawing pena, 18,5x27,5cm, 2001), ada gambaran sosok “Bos” dan aparat militer yang sedang bertransaksi jual beli senjata sementara di sisi atas dan bawah gambarnya ada teks menyolok “HENTIKAN! PERDAGANGAN SENJATA INTERNASIONAL” (“Kartu Pos”, cukil kayu, 10,5x15 cm, 2003), ada pula komik ala gambar umbul yang penuh warna dengan tokoh Petruk-Gareng dalam fragmen lucu-ngenes “Lampu”( cat air, 20x27cm, 2007), ada kisah tokoh-tokoh pilihan Komo seperti 3 seri etsa empatinya akan sosok penyair Wiji Thukul, etsa potret penyair eksil Agam Wispi, dan kisah kisah “pinggiran” lain.

Visualisasinya khas, mengingatkan kita pada gambar-gambar komik/ ilustrasi-ilustrasi lama dan digarap rinci sampai ke detail-detailnya. Tekniknya, baik drawing pena, cat air, cetak etsa ataupun cukil kayu tergarap rapih, detail, dan menunjukkan adanya minat yang sama kuat pada masing-masing teknik dari perupanya.
Perihal ini, komo mengatakan “Mencoba teknik merupakan hal yang seru untuk tetap dikerjakan” ( katalog Pameran Seni Rupa Surya Wirawan 2000-2008 ).
Ya, teknik memang menantang, dan sesungguhnya tidak sesederhana dibayangkan. Seniman perlu memiliki referensi atau pengetahuan memadai perihal teknik tersebut ketimbang sekedar mengikuti mood atau emosi apalagi kehendak pasar. Tidak banyak seniman yang berhasil baik dan mencapai kesenangan ketika berusaha mencoba-coba teknik.
Komo termasuk kategori yang tidak banyak itu. Dan keseriusannya mencoba teknik tampaknya masih akan berlanjut. Dalam kesempatan perbincangan, ia mengungkapkan keinginannya yang belum terpenuhi untuk membuat karya diatas media daun lontar.
“Suatu saat...”, katanya dengan senyum khasnya. Wah!

Kembali menilik kecenderungan Komo dengan karya-karya ukuran kecilnya,
tentu saja kita akan mengatakan bahwa soal besar kecilnya ukuran karya bukan hal pokok dalam seni rupa, karena yang lebih utama adalah sejauh mana ide-ide seniman mampu tertampung secara utuh dengan pilihan medianya. Ini berarti seniman perlu memiliki standar tertentu yang ditaatinya secara teguh-hati dalam setiap penggarapan karyanya. Apa yang secara teratur dilakukan Komo dengan pilihan membuat karya-karya dalam ukuran tertentu sejauh yang ia rasa kuasai dan dengan standar penggarapan yang terjaga, mengajarkan pada kita akan sebuah sikap berkesenian yang tidak latah-latahan, teguh, penuh kontrol, tidak grasa grusu, tidak kemrungsung, tenang tapi pasti.
Komo terasa sangat memegang kendali dan tahu benar kapan saatnya sebuah karyanya ia nyatakan selesai dan siap berpindah ke karya lainnya. Hal yang bertolak belakang dengan apa yang terjadi di banyak seniman kita saat ini. Banyak ditemukan karya-karya dikerjakan seadanya karena senimannya tidak sabar berpindah ke karya lainnya.....plus berbagai alasan pribadi jika kita nekad menanyakannya.

Jadi tidak berlebihan bila Neni, direktur Kedai Kebun Forum, dalam pengantar katalog menuliskan “....Surya Wirawan dengan kertasnya yang mungil adalah oase yang menyejukkan”.

Tentu bukan tidak ada kritik atas pameran ini. Sepertinya kehadiran 2 buah karya “Uang Palsu”, tinta diatas kertas, 63,5x96cm, 2000 dan “Pesakitan”, cat akrilik diatas kanvas, 80x70cm x 2 panel, 2008 - yang merupakan karya dengan ukuran terbesar dalam pameran tersebut - terasa mengganggu penikmatan dikarenakan kalah kualitas dibanding rata-rata karya lainnya. Tampaknya Komo sedang ingin bereksperimen teknik atau cara ungkap lain dalam kedua karya ini, namun pencapaiannya terasa belum maksimal.

Selain itu adanya banyak karya cetak etsa dan cukil kayu yang tidak menerakan nomor edisi rasanya perlu menjadi perhatian seniman. Jawaban seniman yang nampak sekenanya saat penulis menanyakan perihal tersebut dengan mengatakan, “Nggak tak tulis....males nulis nomor edisi...nggak tau juga nyetak berapa banyak” sepertinya bukan keputusan atau sikap yang patut dipertahankan saat membuat karya cetak grafis. Menurut penulis, media ini menuntut transparansi dan tanggung jawab penuh senimannya. Pencantuman nomor edisi penting untuk menandai dan melacak ada berapa cetakan sesungguhnya yang dianggap sah oleh seniman pembuatnya. Kepentingannya ketika karya tersebut hendak dikomunikasikan. Otentisitas dan umur karya dengan media ini dipertaruhkan oleh sikap seniman. Kalaupun ada saatnya perihal kontrol edisi tidak diperlukan atau karya sengaja dicetak massal, itupun perlu ada keterangan agar publik tidak dirugikan karena dapat menandai mana karya yang dicetak terbatas dan mana yang tidak. Mestinya detail-detail seperti ini tidak dianggap beban atau menjadi hal merepotkan bagi seniman.

Diluar itu semua, pameran ini memang mengesankan.
Selamat buat Komo dan juga Kedai Kebun Forum atas “mengiringi tutup tahun yang cantik” ini.

Yogyakarta, 29 Desember 2008
Syahrizal Pahlevi
Perupa tinggal di Yogyakarta
(dikirim ke Kompas dan Suara Merdeka, TIDAK dimuat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar