Franky Pandana didepan karya penulis dalam pameran di
Rumah Seni Embun, Medan, 2012 (foto oleh penulis)
INTERVIEW
DENGAN FRANKY PANDANA
Dari tanggal 11 sampai 18 Mei 2012 yang lalu saya
melakukan ‘short residence’ di Rumah
Seni Embun, Medan atas undangan pemiliknya, Franky Pandana (36 tahun, biasa
dipanggil Franky), seorang pengajar
bahasa Inggris/kolektor/pelukis yang selalu bersemangat berbincang seni
rupa. Disana saya memberikan workshop
woodcut, membuat karya, berpameran dan melakukan performance art saat pembukaan
pameran. Dalam rentang waktu yang tidak panjang tersebut selain merasakan
atmosfir yang baru dalam berkarya, saya juga berkesempatan mengenal lebih dekat
Franky dan keluarganya.
Franky yang saya kenal sejak tahun 2006 (?) ketika
ia membeli karya grafis saya lewat telepon dan dua kali bertemu muka di
Magelang dan Yogya beberapa tahun kemudian, adalah pribadi yang hangat, terbuka
dan cinta keluarga. Bicaranya lugas, apa adanya, penuh canda namun selalu
serius. Setidaknya itulah kesan yang saya dapat dalam 7 hari ‘bergaul’ bersama
dirinya dan komunitasnya. Ia sendiri (bersama Johnson Pasaribu/pelukis dan Bp.
Jimmy Siahaan/kolektor dan pelukis) yang menjemput saya di Bandara Polonia
Medan. Dalam masa tinggal saya, ia selalu menyempatkan diri menemani atau
sekedar menjenguk aktifitas saya disela-sela kesibukannya mengajar kursus. Tak
ketinggalan, istri dan dua anaknya, Peter (12) dan Paris (8) sedapat mungkin
selalu ia ajak dan libatkan dalam kegiatan mulai dari workshop, ngobrol seni,
persiapan pameran dan acara makan bersama. Ia juga rajin ‘memprovokasi’
teman-temannya yang belum terjangkiti ‘virus seni’ untuk mengikuti jejaknya
menyukai seni dan mungkin menjadi kolektor. Keseriusan Franky dalam mengoleksi
karya dan ikut membangun infrastruktur seni rupa khususnya di kotanya patut menjadi perhatian kita. Kita butuh lebih
banyak lagi orang-orang seperti dirinya agar seni rupa ini terus bergairah dan
dirayakan tidak hanya di ‘pusat’ tapi juga di ‘daerah’. Beberapa pikirannya
tentang seni rupa dan seniman yang sempat ia obrolkan ke saya dalam masa
tinggal di Medan rasanya sayang dilewatkan. Inilah yang mendorong saya untuk
melakukan wawancara email sepulang dari Medan dan mencoba menggali kembali
pikiran-pikirannya yang sempat ‘mengganggu saya’. Mudah-mudahan wawancara ini
cukup bisa dinikmati pembaca.
Berikut ini hasil interview penulis dengan Franky
Pandana. Pertanyaan dikirim Rabu, 6 Juni 2012 dan jawaban diterima dua kali:
Sabtu, 9 Juni baru terisi separuh dan jawaban lengkap diterima Senin, 11 Juni
2012.
Interview Syahrizal
Pahlevi with Franky Pandana/Rumah Seni Embun, Medan by email.
Syahrizal
Pahlevi (SP): Anda dikenal sebagai bagian orang muda
Indonesia yang serius mengoleksi karya seni rupa saat ini, padahal anda
tinggal nun jauh di Medan, bukan di
Magelang/Temanggung/Surabaya/Jakarta seperti kebanyakan kolektor. Apa tanggapan
anda dan bagaimana anda ‘kukuh’ memposisikan diri sebagai kolektor diluar pusat
seni rupa?
Franky Pandana (FP): Saya rasa
seni itu transcends boundaries. Tidak ada masalah apakah kita berada di pusat seni
rupa atau tidak. Sepanjang mempunyai rasa cinta dan tekad yang kuat apa pun
mungkin terjadi saja. Suatu kebetulan saya cinta seni rupa sehingga saya tidak
usah repot-repot memberi semangat atau pun diberi semangat hehehehe...Berada di
kota yang sebenarnya tidak kondusif terhadap seni, saya merasa beban saya cukup
berat karena saya harus melakukan sesuatu yang lebih daripada yang sifatnya
pribadi. tapi bagaimana pun saya harus mengangkat "beban" itu dengan
santai aja..hehehehe....
SP: Kapan anda mulai membeli/mengoleksi karya?
Karya siapa dan bagaiamana ceritanya? Dari mana budget anda untuk membeli
karya-karya itu…apa bisnis anda?
FP: Tahun 2004 dan saya membeli karya seniman Medan, Panji
Sutrisno. Budget saya kalau membeli lukisan sampai sekarang jarang yang
melebihi Rp 5 juta. Saya tidak punya budget yang besar karena saya hanya
guru Bahasa Inggris dan buka kursus kecil-kecilan di Medan, yang namanya CORPUS
ENGLISH TUTORIAL CENTRE..
SP: Bagaimana cara anda mendapatkan karya-karya
tersebut? Membeli lewat galeri/pameran atau langsung ke perupa? Apa anda juga
melakukan subsidi silang dengan menjual beberapa koleksi untuk mendapatkan
karya-karya tertentu? Apakah anda juga bermain di balai lelang dan mengikutkan
beberapa koleksi anda?
FP: Ada beberapa karya yang saya beli lewat galeri dan
lelang, tapi seringnya saya dapat dari perupa..enaknya kita dapat ngobrol
sehingga saya bisa lebih mengenal karakter seniman dan karyanya...juga bisa
dapat harga yang murah serta pilihan yang banyak..hehehehehe....Waktu booming
saya pernah lepas karya seniman muda untuk beli karya Heri Dono, Mella Jaarsma
dan Ugo Untoro..Senang banget waktu itu! soalnya seniman itu sekarang gak jelas
perjalanan seninya...hehehehe
SP: Koleksi anda sekarang ada 300an…benarkah?
Saya melihat ada banyak karya seniman Yogya dalam koleksi anda, apakah anda
seorang‘Yogya mania’? Bagaimana dengan seniman Medan sendiri, apa anda
‘mewajibkan’ diri untuk juga mengapresiasi seniman daerah anda? Dari
sekian koleksi tesebut, karya atau seniman mana yang jadi pavorit anda?
Mengapa?
FP: Kalau dihitung dengan sketsa dan karya kertas mungkin
ada. Saya akui saya ceroboh dalam dokumentasi koleksi saya..tapi kalau ada yang
hilang saya tahu juga hehehehe..Kebetulan yang saya sukai saya temui di seniman
Yogya..Saya ada juga grafis Tisna (Sanjaya). Saya tidak merasa wajib mengoleksi seniman berdasarkan
asalnya, tetapi saya merasa wajib mengoleksi karya seniman yang memenuhi
'kebutuhan'ku..hahahhahahaha..Saya suka Ugo, Mella, Harlen, L.Fairuzha (Boi)
dan Ibrahim karena itu...mereka
memenuhi 'kebutuhan'ku hehehehehe....
SP: Dari mana anda mengikuti perkembangan seni rupa, apakah anda memiliki link dengan institusi/lembaga/jaringan kolektor di pulau Jawa? Siapa saja teman diskusi anda dari sesama kolektor? Seberapa intens anda berdiskusi dengan mereka, tentang apa saja?
FP: Internet dan baca-baca ..saya banyak diskusi bersama
Pak Suwito Gunawan di Jakarta dan Pak Jimmy Siahaan. kita diskusi dari masalah
seni secara esensi sampai juga masalah pribadi. Dengan Pak Wito, kita sering
berburu karya bareng di Yogyakarta.
SP: Termasuk gonjang-ganjing koleksi museum OHD?
FP: Yap..di Medan ada kenalan yang koleksinya saya
curigai tetapi saya diam saja karena itu masalah yang sangat sensitif. Tetapi
OHD telah menjadi sebuah institusi sehingga kita harus lebih kritis pada
saat yang sama harus extra hati-hati dalam membuat sebuah pernyataan.
SP: (jika jawaban ya) Ok, kita berkelok arah dahulu…jika anda mencurigai ada yang ‘tidak
beres/palsu’ dalam koleksi seseorang/pihak tertentu, apakah anda akan memblow
up sedemikian rupa atau menempuh langkah bijak lainnya? Seperti apa? Bagaimana
jika dalam koleksi anda dicurigai pihak tertentu sebagai ‘ada yang diduga
palsu’, apa tindakan anda?
FP: Selain intuisi sebagaimana dibahas dalam buku
"Blink" karya Malcom Gladwell, saya juga menuntut adanya fakta ilmiah
yang mendukung. Sebelum adanya bukti-bukti ilmiah mungkin lebih baik diadakan
sebuah diskusi tertutup. Setelah terbukti palsu, maka pihak yang dimaksudkan
harus menjelaskannya kepada publik lewat media ataupun secara terbuka. Itu
lebih graceful menurut saya, tapi saya ini hanya guru Bahasa Inggris,
kurang mengerti juga..hehehehehe...Kalau ada koleksi saya yang dituduh palsu,
saya akan memberikan nomor telepon senimannya kepada yang nuduh. Tapi kalau
senimannya sudah tidak bisa dikonfirmasi, saya minta bukti ilmiah...kalau
terbukti palsu, saya akan berikan karya itu kepada yang nuduh mungkin lebih
berguna buat dia..hehehehehe...
SP: Kembali ke aktifitas anda…anda juga melukis
dan barusan berpameran tunggal di Penang, Malaysia. Sudah berapa lama anda
melukis dan berapa banyak lukisan yang sudah dibuat? Bagaimana ceritanya sampai
anda berpameran disana, komunikasi seperti apa yang anda bangun dengan
mereka?
FP: Udah cukup lama...saya suka gambar-gambar sejak kecil,
tapi makin serius di tahun 2001 dan aktif lagi 2008 ketika saya merasa ada yang
kurang ketika mengoleksi. Sekarang kalau dihitung dengan karya kertas lukisan
saya ada ratusan juga. Tahun 2011 saya bersama Jonson, temanku yang juga
seniman, menenteng lukisan ke Penang dan menawarkan ke galeri-galeri di sana.
Sebelum ke sana, saya mempelajari karya-karya seniman di sana lewat internet.
Semua informasi mengenai alamat galeri juga saya dapatkan dari galeri. Sampai
di Penang, semua galeri yang kita kunjungi menerima karya kita dengan baik tapi
kita putuskan berpameran di A2 Art Gallery di Bangkok Lane. Kebetulan Penang
itu sister city kota Medan dalam soal bahasa tidak ada masalah...mau Mandarin,
Hokkien, Kanton atau Inggris itu bahasaku juga..hehheheehe..tetapi kalau soal
materi pembahasan sepertinya mereka lebih menitik beratkan pada pasar walaupun
saya berusaha mengeser sedikit ke soal wacana..hehehehe. Penang mempunyai
struktur seni rupa yang cukup baik loh.
SP: Jika melihat lukisan-lukisan anda terakhir, bagaimana kalau
saya katakan anda sangat terpengaruh dengan koleksi-koleksi lukisan anda,
terutama yang dari Yogya? Apakah anda memang memuja seseorang/sekelompok
seniman atau menyukai gaya tertentu hingga terasa terbawa ke dalam visualisasi
lukisan-lukisan anda? Anda memiliki argumen tersendiri mengapa sampai
demikian?Apa arti melukis buat anda?
FP:Malah mungkin saya yang mempengaruhi
mereka...hehehehehehe...saya pribadi memang suka yang sepi, puitis cerdas tapi
juga tertarik dengan yang enerjetik dan spontan...sebenarnya saling belajar
lebih tepat dibanding pengaruh..Melukis bagi saya itu kegiatan yang alamiah dan
juga pelepasan. Bukan sekedar hobi. Hobi adalah kegiatan waktu senggang, tapi
saya juga gambar-gambar kok waktu tidak senggang..hehehehehe
SP: Sekarang anda memiliki ruang seni sendiri ,
Rumah Seni Embun yang berlantai empat di pusat kota ini. Apa yang mendorong
anda membangun ruang seperti ini di kota anda? Apa yang anda harapkan dengan
kehadiran ruang seperti ini dan bagaimana anda akan mengelolanya? Apa saja
aktifitas yang sudah dibuat?
FP: Pada awalnya itu mau saya bikin sebagai tempat kursus
juga, tapi saya bosan melakukan hal yang sama terus menerus..Saya memerlukan
ruang buat berkesenian. Saya suka kumpul dengan seniman, sastrawan dan
"sejenisnya". Kalau ngumpul ama teman-teman bisnis saya malah
ngantuk..Jadi Embun itu tempat kita saling belajar seni, tempat pameran dan
tempat main-main saya bersama teman-teman dalam arti yang positif loh..hehehehehe...Biaya
pembangunan disponsori langsung dari kocek CORPUS, biaya operasionalnya dari
kocek FRANKY sebagai guru, biaya pameran dari penjualan karya
FRANKY...hehehehe..ke depan mungkin kita sewakan buat photo shooting session,
product launching, birthday party dan sebagainya untuk extra income lah...kita
sudah dua kali mengadakan pameran tunggal untuk Harlen Kurniawan dan Syahrizal
Pahlevi serta woodcut workshop yang diadakan oleh Mas Levi..
SP: Kita tahu, beberapa ruang seni pernah
didirikan di Medan, seperti Galeri Tondi, Komuitas Lak-lak, Galeri….(saya lupa
namanya). Ruang-ruang itu sempat berkegiatan dan beberapa cukup mendapat
publikasi secara nasional…tapi kemudian ruang-ruang itu berhenti beraktifitas
atau terpaksa tutup. Jatuh bangunnya ruang-ruang seni di Medan, bagaimana anda
melihatnya, apakah ini hal yang wajar ataukah ada yang salah disana, mungkin
dalam pengelolaan atau hal lainnya?
FP: Itu terjadi kalau mengharapkan 'sesuatu' dan ketika
harapannya tidak ketemu maka merasa rugi dan akhirnya ditutup. Wajar ketika
mengharapkan 'sesuatu' tetapi kalau mengharapkan keuntungan materi, saya
nasehatkan jangan deh...Medan belum menjadi kota yang tepat untuk bisnis seni
rupa.
SP: Anda tidak takut ruang seni yang anda bangun
ini akan bernasib sama dengan pendahulu-pendahulunya, tidak berumur panjang?
Anda sudah punya antisipasinya dengan belajar dari sepak terjang ruang-ruang
seni sebelumnya?
FP: Takut lah..makanya saya gak berani muluk-muluk dan
hanya berani bikin paling banyak dua pameran setiap tahun dengan anggaran yang
minim saja...Saya bikin asyik seperti acara keluarga saja lah kebetulan yang
saya ajak pameran juga teman-teman saya...hehehehehe.
SP: Di beberapa kesempatan, anda bicara soal
perlunya museum seni rupa di Medan…seberapa perlunya hal tersebut diwujudkan,
mengingat Medan tidak dikenal karena seni rupanya, tapi mungkin cabang seni
lainnya sebagaimana umumnya daerah-daerah lain di Sumatera, seperti seni
sastra, tari, teater dan seni pertunjukan lainnya? Dan kalaupun ada perupa
handal Indonesia kelahiran Medan, toh mereka lebih banyak beraktifitas dan
terkenal di Jawa sehingga tidak cukup untuk mengatakan Medan sebagai kota
seni atau yang melahirkan seniman…apakah anda melihatnya seperti ini?
FP: Medan memang bukan sebuah kota yang kondusif untuk
seni rupa tetapi kembali ke statement sebelumnya: seni itu tidak mengenal batas
wilayah..Dengan adanya sebuah museum maka ada sebuah barometer mengenai apa
seni rupa itu dan saya jarang ingin melihat seni itu dari cabangnya karena
kalau di dalami, pendapatku loh, seni itu sama saja. Mungkin dengan adanya
museum seni rupa, maka perupa kelahiran Medan tidak perlu lagi merantau ke
Yogyakarta atau pun apa yang disebut sebagai pusat seni rupa Indonesia lainnya.
Negara kita ini heterogenous loh...budaya Indonesia itu bukan hanya Jawa
loh..belum lagi mixed cultural customs...dan Medan itu sebuah kota yang menarik
karena setiap tradisi suku masih terasa. Datang saja lah ke Medan, suku
Tionghoa-nya masih menggunakan bahasa Hokkien untuk sehari-hari demikian juga
dengan suku-suku lainnya. Kemajemukkan sangat terasa cuma kadang-kadang ada
kesalahpahaman bukan terhadap satu sama lain, tetapi ketidakpahaman bagaimana
memanfaatkan kemajemukkan tersebut.
SP: Pertanyaan klasik…bagaimana dukungan pemerintah daerah terhadap
senirupa dan seniman di Medan? Masih perlukah kita mengharapkan adanya
perhatian dari pihak pemerintah dalam hubungan kebutuhan aktifitas seniman?
FP:Kalau sudah bicara pemerintah, biasanya saya
hanya akan menaikkan alis mataku yang tipis itu sepuluh kali..heheheheheh....
SP: Apa peran Dewan Kesenian Medan, aktifkah mereka dalam merangsang
pertumbuhan seni itu sendiri? Dekatkah hubungan pengelolanya dengan seniman
atau komunitas seniman? Bagaiman dengan pihak swasta, adakah yang tertarik
berinvestasi dalam kegiatan seni di Medan?
FP: Saya sangat buta loh dengan
kegiatan DKM mungkin sama butanya mereka dengan kegiatan dan juga visi mereka terhadap
kesenian itu sendiri...hahahahhaha...kalau swasta itu umumnya kan tertarik
dengan kegiatan yang bisa memberikan pendapatan, sampai sekarang saya belum
ketemu pihak swasta yang seserius kursus Bahasa Inggris CORPUS dalam mendukung
seni rupa....hahahahahah...bukan sombong loh hanya menyampaikan
kenyataan...kekeekeke...
SP: Lalu seperti apa hubungan antar seniman
sendiri di Medan? Apakah mereka mampu menciptakan iklim kondusif dengan saling
mendukung, mendorong dan mengapresiasi aktifitas rekan-rekan seprofesinya?
Hubungan seperti apa yang semestinya dibina oleh seniman agar tercipta
iklim saling menguntungkan?
FP: Salah satu kelemahan seniman Medan adalah malas. Malas
memberikan informasi; malas belajar; malas mendukung yang lain; malah ada yang
malas berkarya...Seniman di Medan umumnya kurang menghargai apa yang dikerjakan
orang lain tetapi mau dihargai. Istilah teman saya: sudah dibeliin baju harus
dipakaikan lagi..itu lah, yang membuat saya malas juga mendorong-dorong mereka.
Sebenarnya seni itu 'kan sifatnya alamiah. Seniman itu harus tetap berkarya
tanpa ada dorongan ataupun dukungan dari pihak lain. Dia harus mencoba
menghidupkan seninya dulu sebelum pada akhirnya seni itu menghidupi
dirinya...dan itu saya hanya temui tidak lebih dari lima jariku lah..
SP: Ini mengenai media massa yang seyogyanya
masih kita percayai sebagai ujung tombak informasi, adakah telah memberi cukup
ruang apresiasi terhadap seni? Adakah penulis dan kritikus Medan yang rajin
menulis di media massa?
FP: Belum...penulis seni rupa di Medan itu orang-orang
yang sudah merasa sampai di sebuah titik - sehingga, entah tidak mau atau tidak
mampu belajar lagi..banyak hal-hal sepele dan yang sudah antik tetapi diangkat
terus dan tidak tajam dalam penulisan. Tulisannya juga menggunakan bahasa atau
kalimat planet lain yang tidak dimengerti orang Bumi umumnya..beberapa media
memang menyediakan ruang buat seni rupa, tetapi penulis dan tulisannya mungkin
yang harus diseleksi lebih serius. Ini juga PR buat saya sih..mungkin ke depan,
saya harus mencoba menulis-nulis juga. hehehehe...
SP: Di era internet dan media online saat ini,
apakah telah dimanfaatkan secara maksimal oleh seniman Medan untuk
kebutuhan-kebutuhan berekspresinya? Website misalnya, menjadi kebutuhankah
atau belum dirasa perlu? Apakah Rumah Seni Embun telah memiliki website
dimana setiap orang yang terhubung dengan internet dapat melihat profil dan
aktifitas ruang tersebut?
FP:Teman-teman seniman Medan kurang membuka diri
terhadap pihak luar..mereka lebih mengandalkan kemampuan berpikirnya sendiri.
Padahal, siapa sih kita ini? Picasso saja mempelajari patung-patung Afrika.
Sebenarnya di Rumah Seni Embun terdapat perpustakaan kecil bagi teman-teman
yang ingin belajar. Saya membeli buku-buku monografi seniman seperti Cy
Twombly, Anselm Kiefer, Basquiat dan sebagainya lewat internet...kalau tidak
ada dana untuk akses ke internet, silahkan datang untuk baca-baca buku di Embun
tapi yang mau untuk itu yah..kembali lagi tidak melebihi lima
jariku..hehehehe...Untuk sementara, Embun belum memiliki bagian administrasi yang
baik, tetapi ke depan pasti ada..bukan membela diri, tetapi saya memang masih
mempunyai kegiatan lain yang banyak menyita otakku yang sempit ini
juga...hehehehe
SP: Oya,…katanya anda pernah menggelar dan
menjual karya anda di kaki-lima trotoar Medan, coba ceritakan sedikit tentang
itu…apa motivasinya waktu itu, karena hemat saya toh anda sebenarnya tidak
bermaksud mencari penghasilan tambahan dari menjual karya di kaki-lima seperti
umumnya ‘seniman kaki-lima’ yang banyak kita ketahui.
FP: Heheheeheh...itu metode pengajaran saya sih: teaching
by examples dan learning by doing. saya ingin memberikan sebuah contoh cara
bertahan di seni rupa. Uang tidak pernah menjadi motivasi saya dalam
bekerja..saya perlu uang sehingga saya bisa bekerja lebih baik saja. Jadi waktu
itu saya bikin karya kertas dan menjajakan dengan harga murah meriah..karyaku
laku Rp. 100.000 / 2 biji..hehehehe. Sayang, stands yang saya bikin telah saya
berikan ke tukang parkir untuk dijadikan kandang ayam, karena teman-teman rupanya
kurang bersemangat.
SP: Terakhir, bagaimana anda mendeskripsikan
diri anda: …praktisi bahasa Inggris…pencinta seni…pelukis…pemilik ruang
seni…atau apa?
FP: Saya manusia penuh cinta...hehehehehee.
Hmm…Begitulah
Franky J (Syahrizal Pahlevi)
(tulisan ini setelah mengalami pengeditan oleh redaksi dimuat di http://indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=320 dengan tajuk "Kelemahan Seniman Medan Adalah Malas"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar