Sabtu, 03 Juli 2010

ILUSTRASI CERPEN TIDAK BERSALAH

 



ILUSTRASI CERPEN TIDAK BERSALAH.

Mengapa ilustrasi cerpen di Kompas Minggu dianggap mengganggu ke’khusukan’ pembaca teks cerpen itu sendiri? Sebegitu ‘perkasa’nyakah ilustrasi cerpen hingga sanggup ‘menyurutkan kekuatan gaib kata-kata’ yang sudah dibangun (tentunya) dengan sungguh-sungguh oleh para pengarang?

Pertanyaan diatas muncul dibenak sesaat setelah menyimak tulisan Wahyudin di Kompas Minggu, 3 Agustus 2008 yang lalu.

Salahkah ilustrasi-ilustrasi tersebut?

Saya juga termasuk penikmat Kompas Minggu yang berharap dapat selalu dikagetkan akan munculnya ilustrasi-ilustrasi cerpen yang ‘mengejutkan’, ‘segar’ dan ‘tidak biasa-biasa saja’ serta tidak membosankan sehingga tidak cukup alasan buat penikmat cerpen (plus ilustrasi) untuk berpikir bahwa ilustrasi-ilustrasi tersebut ‘bisa saja tidak usah dihiraukan’ keberadaannya.



Namun dalam hal ini, ilustrasi ‘yang segar dan tidak biasa-biasa saja’ bagi saya adalah yang ‘mengganggu’, terutama karena ‘keelokan’ tata rupanya. Tidak menjadi keharusan benar apakah ilustrasi itu mampu menjelaskan atau mengusung makna dari teks yang terkandung dalam cerpen tersebut. Yang saya harapkan adalah, ilustrasi setidaknya mampu mengimbangi tema yang diangkat oleh cerpen. Dia perlu bersaing menjadi sama menariknya dengan isi cerita pendek itu sendiri. Sehingga ketika bersanding dengan cerpen, lewat kekuatan tata rupanya, peran ilustrasi buat memikat pembaca tersampaikan. Pembaca betah membaca cerpen tersebut dan betah menatap ilustrasinya. Sebaliknya andai ilustrasi tersebut dilepaskan dari cerpen, dia juga mampu berdiri sendiri sebagai karya yang utuh (mungkin ini termasuk pandangan ‘khas perupa’).

Bukan rahasia umum bahwasanya ada dari kita justru tergoda membaca cerpen (atau buku) seringkali berawal dari ilustrasinya (atau covernya). Terkecuali kita memang mempunyai pengarang-pengarang pavorit atau tema-tema pavorit tertentu yang bisa saja membuat peran ilustrasi (atau cover buku) cenderung diabaikan begitu saja
====

Sejauh yang saya ikuti, Kompas termasuk sangat serius dalam menggarap ilustrasi-ilustrasi cerpennya - sehingga membuatnya berbeda dengan kebanyakan harian lainnya. Dulu kita kerap disuguhi ilustrasi-ilustrasi berkarakter khas yang digarap



bergantian: Hard -dengan gaya cenderung realistik dan GM Sudarta -yang banyak dipengaruhi
karikatur-karikaturnya. Kolom tersebut juga sempat beberapa waktu dikerjakan oleh LimBunCai (kalau tidak salah ingat). Kemudian cukup lama kita diasikkan oleh keliaran garis Ipong Purnama Sidhi. Lalu dalam kurun waktu yang cukup panjang pula kita khusuk menikmati seni gambar almarhum Semsar Siahaan. Setelah itu tampil beberapa nama yang saya tidak terlalu ingat.

Dan kini, sejak 2002, kita disuguhi variasi ilustrasi yang dibuat oleh banyak perupa Indonesia. Silih berganti, tiap minggu seorang perupa ditampilkan repro ‘karya khususnya’ dirubrik cerpen. Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus perupa yang terlibat-yang dipilih oleh ‘koordinator-koordinator perupa’ di wilayah; Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang dan Bali.

Seorang perupa bisa jadi hanya (baru) satu kali berkesempatan menggarap ilustrasi. Perupa lainnya ada yang telah mendapat kesempatan 2-3 kali bahkan lebih sering lagi. Sementara perupa-perupa yang belum bekesempatan mungkin menunggu atau sedang dijadwalkan, atau mungkin tidak akan pernah mendapat kesempatan karena berbagai kriteria yang telah menjadi kebijakan pengelola. Tentu saja akan ada pula perupa-perupa yang enggan dilibatkan dalam proyek ilustrasi ini dengan berbagai alasan masing-masing.
Dikalangan pemerhati, rubrik cerpen plus ini (plus ilustrasi oleh perupa) disejajarkan dengan galeri, karena termasuk unik, alternatif dan menggugah daya cipta (meminjam istilah Wahyudin).
Setiap tahun karya-karya asli perupa yang menjadi ilustrasi cerpen Kompas ditahun sebelumnya dipamerkan di galeri-galeri sesungguhnya, berkeliling di Jakarta, Yogyakarta dan di kota-kota lainnya.


Saya telah tiga kali mendapat kesempatan mengisi ilustrasi di ‘galeri’ ini. Merasa puas karena dapat bekerja maksimal di kesempatan pertama dan ketiga, tapi kurang puas karena tidak dapat maksimal dikesempatan kedua.
Barangkali saya termasuk dalam kategori- seperti disebut Wahyudin- ‘perupa langganan’ atau ‘perupa yang itu-itu saja’, karena telah 3 kali mengisi ‘galeri’ ini.
====

Saya tidak tahu persis kriteria apa saja yang menjadi rujukan pengelola ‘galeri’ dalam memilih seniman pengisi ilustrasi cerpen Kompas. Mungkin bisa bermacam-macam dan sangat bergantung kecenderungan selera artistik masing-masing 'koordinator’. Saya pernah menduga kemiripan setting cerita dari cerpen dengan budaya asal daerah seniman calon pengisi ilustrasi, bisa saja menjadi salah satu pertimbangan ‘koordinator’.


Pertama kali menerima ajakan membuat ilustrasi cerpen kompas tahun 2002, saya disodori cerpen Ratna Indraswari Ibrahim, ‘Perempuan di Jenjang Rumah’. Saya sempat bertanya-tanya mengapa ilustrasi untuk cerpen tersebut dipercayakan kepada saya?.
Apakah asal pilih seniman, yang berarti ‘gambling’, atau ada pertimbangan lain?

Kebetulan cerpen tersebut bersetting daerah perkampungan air di Kalimantan yang suasana dan kebiasaan penduduknya mirip-mirip dengan daerah asal saya Palembang, Sumatera Selatan. Jadi saya anggap saja pertimbangan tersebut kebetulan diterapkan kepada saya.
Ketika mengamati korelasi setting cerita cerpen-cerpen selanjutnya karya pengarang lain dan seniman-seniman pembuat ilustrasi lainpun, saya melihat sering ada kecocokan sebagaimana halnya kasus yang saya alami. Setting cerita Bali kerap ilustrasinya dibuat perupa asal Bali, setting cerita Sumatera Barat sering ilustrasinya dibuat perupa berdarah Minang, setting cerita Jawa atau budaya Jawa sering ilustrasinya dikerjakan perupa berdarah Jawa.

Pada kali kedua mendapat order inipun (2005) saya masih merasa pertimbangan korelasi setting cerita dengan daerah asal perupa masih diterapkan. Pada waktu itu saya mendapat cerpen Martin Aleida ‘Salawat untuk Pendakwah Kami’ yang bersetting cerita Melayu Muslim di Sumatera bagian utara. Ah, saya kira ‘koordinator’ (yang kebetulan sama) menduga Palembang cukup sarat dengan budaya melayu muslim pula.



Apakah ada faktor ‘pembisik’ dan ‘koncoisme’ dalam memilih calon penggarap ilustrasi sebagaimana disangkakan oleh tulisan Wahyudin,… Wallahualam. Saya kira hal ini dikembalikan pada otoritas pengelola ‘galeri’ ini sendiri.
Saya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan ‘koordinator’ di Bandung, Jakarta, Malang ataupun Bali. Tapi menurut saya ‘koordinator’ di Yogyakarta cukup memiliki otoritas yang dipujikan.
Pernah secara iseng di akhir tahun 2005 saya mengontak ‘koordinator’ agar diagendakan menggarap ilustrasi cerpen lagi. Ketika itu saya dalam tahap melanjutkan pengobatan guna memulihkan kesehatan saya yang banyak memakan biaya. Dalam pikiran saya waktu itu paling tidak honorariumnya bisa buat tambah-tambah keperluan membayar obat dan dokter.
Namun saya tidak kunjung mendapat garapan ilustrasi dan saya tidak pernah mengontak ‘koordinator’ lagi. Hal ini cukup menunjukkan faktor ‘koncoisme’ tidak berlaku. ’Koordinator’ saat itu lebih memikirkan kepentingan pembaca (penikmat) rubrik ini ketimbang kepentingan lain-lainnya. Suatu hal yang tentunya senantiasa kita harapkan pula.

Di tahun 2007 saya mendapat garapan ilustrasi lagi (kali ini lewat ‘koordinator’ berbeda) Cerpennya F Dewi Ria Utari, ‘SINAI’, dan tampaknya pertimbangan ‘koordinator’ ini kepada perupa agak berbeda kriterianya dengan kesempatan yang diberikan oleh ‘koordinator’ di tahun 2002 dan 2005. Ia tidak menghubungkan setting cerita dengan budaya asal daerah calon pembuat ilustrasi.
====

Bila mengingat ratusan ilustrasi cerpen yang dibuat para perupa (sejak tahun 2002) ,dari beragam karakter dan kecenderungan visual, tidak semua tampak ‘segar dan mengejutkan’ memang. Ada ilustrasi yang kelihatan dikerjakan sungguh-sungguh, tapi ada juga yang tampak dilakukan setengah hati- mungkin penggarapnya mengganggap ilustrasi adalah kerja yang ringan bobotnya dibanding ketika membuat karya utama. .Barangkali pula ini adalah resiko yang harus dihadapi pengelola, mengingat proyek ini menyimpan ‘sisi spekulasi’ (spekulasi dalam artian perupa yang setuju terlibat ternyata tidak mematuhi aturan main, seperti gagal memenuhi deadline ).

Namun jangan lupa; karena ini produk cetakan, adanya peran ‘tangan fotografer’ atau ‘media scanner’, ‘penata letak’ sampai ’kontrol sparasi warna di percetakan’ sedikit banyak berimbas pada kesan yang akan kita terima dalam menikmati ilustrasi. Bisa saja ilustrasi yang aslinya bagus sekali jadi ‘tidak terasa apa-apa’ ketika muncul di koran. Atau sebaliknya, ilustrasi yang biasa-biasa saja jadi meningkat kualitasnya setelah tercetak.
Lalu, mungkinkah Kompas ‘terlalu jauh’ dengan eksperimentasinya, sehingga membuat ‘jengah’ beberapa pembaca setianya? Kalau ini benar, berarti memang saatnya kini
‘menyegarkan diri’, sebagaimana apa yang disarankan dalam tulisan Wahyudin.
Namun betapapun ‘kurang-lebihnya’ pencapaian proyek ‘galeri’ ini, disektor apresiasi sastra pastilah ada hal yang meningkat. Setidaknya, sejumlah perupa yang malas membaca sastra tertulari ‘virus sastra’- hal yang diyakini para pengamat bakal berimbas baik buat penciptaan karya-karya mereka kedepan. Belum lagi terhitung berapa banyak peminat seni, pemilik galeri atau kolektor lukisan misalnya, yang jadi tertarik membaca cerpen- bila selama ini mereka enggan menyentuhnya.

Apa yang telah dicapai oleh Kompas, menurut saya ‘terlalu menarik’ dan ‘penuh kejutan’.
Koreksi dan kritik perlu ditindaklanjuti dengan menajamkan kriteria dan memperketat kontrol disana-sini. Harapannya ‘galeri’ ini tidak asal menampilkan seniman hanya dikarenakan kurangnya informasi data seniman atau mungkin karena terlalu memuja seorang seniman . Tapi juga tidak asal menjadi ‘parade’ atau ‘ ajang arisan’ seniman hanya karena ingin merespon kritik dan memenuhi selera pembaca tertentu pula. Pastinya pula Kompas akan memiliki alasan yang kuat ketika kali tertentu berkepentingan menampilkan ‘perupa langganan’ atau ‘perupa yang itu-itu saja’, karena hal seperti ini pantas-pantas saja…
====



Yogyakarta, 6 Agustus 2007
Syahrizal Pahlevi
Artikel ini dimuat di Kompas Minggu 31 Agustus 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar