Sabtu, 03 Juli 2010

MAGNET MOKU HANGA















MAGNET MOKU HANGA /
8 MINGGU YANG MENGESANKAN

(Saya menulis ini dalam kabar salah seorang pembimbing workshop kami, sensei Masahiro Takade meninggal karena sakit pada 31 Desember 2009 yang lalu di Kobe, Japan. Selamat jalan sensei, kami akan selalu mengingat pelajaranmu!).

28 September sampai 20 November 2009 yang lalu saya bersama 5 seniman dari berbagai negara mengikuti Nagasawa Art Park Artist-in-Residence, Workshop Program for Japanese Woodblock Printmaking di Awaji City, Hyogo, Japan. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Nagasawa Art Park (NAP) Committe , sebuah lembaga non-profit yang telah menyelenggarakan program ini sejak tahun 1996 dan berlangsung setiap tahun secara kontinyu. Dalam catatan mereka tidak kurang dari 100 seniman dari 30 negara telah terlibat didalamnya. Saya sendiri adalah seniman Indonesia ketiga yang berpartisipasi dalam workshop ini. Dua seniman sebelumnya adalah Isa Perkasa (Bandung) di tahun 1997 dan Eddi Prabandono (Yogyakarta-Jepang) tahun 1998.

Disebabkan sesuatu hal, saya baru berangkat dari Indonesia tanggal 28 September dan tiba keesokan harinya di Bandara Kansai International. Dari bandara saya menumpang bis dengan perjalanan lebih kurang tiga jam menuju tempat perhentian bis Tsuna Ichinomiya di Pulau Awaji . Disana telah menunggu staff NAP Committee dengan mobilnya, Masahiro Kosaka (manager operasional) dan Nichi-san, sopir yang selanjutnya akan sering mengantar kami untuk berbagai keperluan selama menjalani program.
Tidak lebih dari 20 menit saya telah tiba di Umihira Residence di Awaji City (satu dari 4 kota yang ada di pulau Awaji), tempat dimana kami para peserta program menginap. Lokasi ini terletak di atas sebuah bukit (Umihara Hill) dan jalan kesana sangat menanjak. Saya disapa oleh seorang wanita cukup umur, kira-kira kepala enam atau lebih, yang kemudian saya ketahui sebagai Keiko-san. Ah…agak sedikit terkejut saya. Sepanjang kontak e-mail kami selama ini, saya membayangkan Keiko-san, atau nama lengkapnya Keiko Kadota sebagai perempuan muda yang energik dikarenakan posisinya sebagai Direktur Program NAP. Soal umur ternyata meleset dugaan saya karena ia tidak muda lagi, tapi tidak dalam penampilan dan pembawaan, Keiko-san tidak kalah dengan anak muda dan sangat energik.

Mengapa saya sampai kesana? Magnet apa yang menarik saya?
Jauh di tahun 1998 saya pernah mengirim lamaran ke NAPP (dulu bernama Nagasawa Art Park Project) Committee yang menyelenggarakan program Workshop Japanese Woodblock Printmaking. Namun keberuntungan belum dipihak saya karena proposal saya tidak diterima. Baru di tahun 2008 saya mengajukan lamaran lagi untuk mengikuti program ‘autumn workshop’ 2009 dan saya diterima. Saya merasa sangat beruntung karena mereka sangat ketat dalam menyaring peserta dan kesempatan ini mesti dijalani sebaik-baiknya.
Selama ini saya hanya mendengar dan mengakses informasi cetak dan digital seputar Japanese Woodblock Printmaking atau yang dikenal dunia sebagai Ukiyo-e (images of the floating world). Seni cetak grafis yang lahir pada zaman Edo (1603-1867) ini menggambarkan keindahan alam, kehidupan sehari-hari dan penggambaran tokoh-tokoh masyarakat Jepang pada waktu itu seperti para raja, pahlawan perang, samurai, pekerja seni termasuk geisha. Kehalusan dan detail gambar yang dihasilkan oleh teknik cetak karya seniman-seniman Ukiyo-e legendaris seperti Hokusai dan Hiroshige diakui Van Gogh telah mempengaruhi kerja artistik diawal karir kesenimannya.
Dalam pergaulan seni rupa internasional seni cetak ini kemudian popular dengan nama Moku Hanga (istilah wood print dalam bahasa Jepang, Moku=kayu, Hanga=cetak/grafis). Berbeda dengan teknik seni grafis asal Eropah ‘woodcut’ yang saya tekuni selama ini yang merupakan seni grafis ‘basis minyak’, Moku Hanga merupakan seni grafis ‘basis air’. Bila dalam teknik woodcut seniman menggunakan tinta cetak atau offset ink guna mencetak image dari papan cukilan atau cutting block, dalam teknik Moku Hanga seniman menggunakan cat air, gouache, tinta cair atau jenis pigmen semacamnya. Lalu ada pasta pengikat yang dicampurkan pada pigmen warna agar elastis dan tidak cepat mengering pada saat mencetak yang mereka sebut nori (rice paste). Selain itu dalam Moku Hanga dikenal juga istilah kento yang diakui banyak seniman adalah suatu cara register kertas yang sangat baik guna mencetak karya multi warna dengan tingkatan presisi tinggi. Juga ada bermacam sikat berbulu halus (maru-bake) untuk meratakan pigmen warna diatas permukaan papan pada saat pencetakan. Teknik ini tidak memerlukan peralatan berat atau alat press untuk mencetak gambarnya. Mereka cukup menggunakan baren, sebuah alat penggosok bagian belakang kertas yang dibuat khusus menggunakan daun bambu lebar pada permukaannya.
Bagi saya ini adalah pengalaman baru yang sama sekali saya belum pernah mencobanya. Kesempatan residensi di NAP ini merupakan momen yang saya tunggu-tunggu sebab saya berharap mendapatkan pengalaman langsung serta merasakan aura tradisi Moku Hanga yang mereka sebar-luaskan.

Saya bersama 5 seniman dari German (disainer grafis), Italia (pegrafis dan disainer interior), Irlandia (pelukis), Inggris (pegrafis dan seniman enamel) dan Amerika Serikat (perupa) ditempatkan di lantai atas residence dan masing-masing mendapat sebuah kamar berdampingan. Studio tempat dimana kami akan bekerja nantinya ada di lantai bawah. Residence hanya diisi oleh kami berenam dan karenanya panitia menginginkan agar kami berlaku layaknya sebuah keluarga. Kami harus mengurus sendiri segala keperluan dari menyiapkan makanan, menjaga kebersihan ruangan dan studio sampai membuang sampah ke tempat pembuangan sementara yang letaknya tidak jauh dari residence. Untuk sementara, residence menjadi ‘milik’ kami yang harus kami jaga dan rawat seperti merawat rumah sendiri. Workshop berlangsung selama 8 minggu dimulai jam 9 pagi sampai jam 5 sore dalam 5 hari setiap minggunya. Sabtu dan Minggu adalah hari libur, namun sewaktu-waktu panitia dapat membuat acara yang harus kami ikuti.

Schedule yang disusun oleh Committee NAP sangat memudahkan kami dalam menyerap dan mengikuti program workshop. Minggu pertama adalah masa pengenalan sejarah singkat dan pengetahuan umum teknik Moku Hanga. Sesi ini diberikan langsung oleh Keiko-san. Kami diperkenalkan dengan alat-alat yang biasa dipakai dan akan kami pergunakan nantinya selama workshop, seperti satu set pisau cukil kwalitas tinggi, pisau kento, cat air dan gouache, nori, maru-bake, bermacam kuas dan lain-lain. Bila seniman Moku Hanga professional menggunakan cherry block sebagai papan cukil karena terkenal baik kwalitasnya, dalam workshop kami akan menggunakan shina-beni plywood, jenis kayu lapis yang sangat halus kedua permukaannya, cukup lembut saat dicukil namun tidak mudah pecah, dan lebih murah tentunya. Untuk kertas panitia menyediakan kertas khusus untuk Moku Hanga dalam jumlah banyak dan membebaskan kami untuk mencetak sepuasnya.
Kami juga berkesempatan melihat dan menyentuh langsung koleksi cutting block (papan yang telah dicukil) dari karya-karya klasik Moku Hanga yang sudah berumur ratusan tahun namun masih terawat baik. Dan, tentu saja koleksi karya-karya klasik yang sangat memukau itu. Ada yang dalam bentuk lembaran seperti poster, kartu ucapan dan buku-buku teks maupun komik yang kesemuanya asli hasil cetakan manual!
Kemudian Keiko-san melakukan sedikit demo dan memberi pengarahan kepada kami untuk memastikan agar kami tidak terlalu asing dengan teknik yang akan kami pelajari dibawah bimbingan para master Moku Hanga di minggu-minggu selanjutnya..
Masih dalam rangka pengenalan program, disamping mengikuti beberapa acara penyambutan yang cukup meriah dengan panitia, masyarakat dan beberapa tokoh pemerintahan kota Awaji, dalam minggu pertama ini juga kami bersama panitia melakukan tour island mengunjungi tempat-tempat penting yang menjadi penanda dan andalan Pulau Awaji. Kami mengunjungi beberapa temple/kuil penting, museum earthquake (museum peringatan gempa besar Awaji 1995) yang sangat modern, rumah pembuatan wewangian aromatherapi yang mempertahankan cara kerja manual, tempat pembuatan sake, menonton pertunjukan wayang klasik Jepang dan beberapa tempat menarik lain. Kunjungan tersebut selain buat mengenal lebih dekat kondisi sosial dan budaya setempat bagi saya juga adalah prolog yang menghipnotis kami untuk masuk lebih dalam lagi dengan praktek Moku Hanga yang menjadi tujuan residensi.

Minggu kedua sampai minggu keempat adalah pengalaman berharga bersama penekun-penekun tradisi. Dalam tiga minggu ini, selama 3 hari setiap minggunya, kami belajar banyak dari para professional yang merupakan master dalam bidangnya masing-masing. Mereka melatih kami dengan sabar, ramah dan penuh kerendahan hati. Yang turut mengesankan karena mereka tidak hanya mentransfer ilmu, tapi mereka memberikan kenang-kenangan buat kami berenam berupa; karya Moku Hanga, kartupos, sekeping cherry block dan benda-benda unik lain yang kesemuanya membuat hubungan guru dan murid terasa intim. Indah sekali cara yang mereka lakukan!
Kami memanggil dengan sebutan sensei (guru). Mereka adalah sensei Masahiro Takade-pria ramah dan berpembawaan tenang, seorang seniman Moku Hanga yang aktif berkarya dan berpameran. Ia juga berpengalaman lama sebagai pengajar di sebuah akademi seni di Kobe. Lalu sensei Yusuke Sekioka-lelaki pendiam yang lebih banyak bekerja, seorang master carver/pencukil yang merupakan murid langsung dari Hanbei Oekura-generasi keempat dari Moku Hanga carver. Ia juga adalah pendiri Sekioka Horiyu Studio pada tahun 1983 di Tokyo. Kemudian ada sensei Toru Ueba, pria eksentrik yang master printer/pencetak sekaligus pemilik workshop ‘Banpudo’ di Kyoto yang telah mengerjakan pencetakan ulang ribuan karya klasik Moku Hanga dan banyak karya cetak seniman kontemporer. Ia sendiri banyak membuat karya cetak dan mengikuti pameran.

Selama tiga hari di minggu kedua tersebut, sensei Takade mengajar kami prinsip-prinsip dasar teknik Moku Hanga; mulai dari mempersiapkan disain/gambar, mempersiapkan woodblock/papan yang akan dicukil, memindai gambar keatas papan, membuat cutting block/cukilan, mempersiapkan kertas-melembabkannya dengan cara dan perhitungan tertentu, menyiapkan pigmen warna-meratakannya di atas papan, mencetak-menggosok belakang kertas, mengangkat kertas, mengeringkan hasil cetakan sampai memberi tanda pensil di setiap karya yang dianggap berhasil. Kesemua tahapan ini harus dilakukan berulang-ulang sampai kami dianggap cukup menguasai prinsip-prinsip teknik tersebut.
Di minggu ketiga, selama tiga hari pula sensei Sekioka memberi kami latihan bagaimana menggunakan pisau cukil secara benar dan efektif. Mengingat profesinya sebagai seorang carver professional -ditengah minimnya jumlah carver Moku Hanga di Jepang sendiri sebagaimana ia katakan- sensei Sekioka mengarahkan kami agar dapat mencukil papan secara efektif guna mencapai hasil yang maksimal. Pencukil dilatih agar dapat melakukan pekerjaannya dalam satu posisi menghadapi papan cukil tanpa perlu banyak memutar-mutar papan yang hanya akan menghambat pekerjaan. Dalam workshop ini saya mendapat pengetahuan bahwa pisau utama dan terpenting dalam Moku Hanga multi warna adalah pisau miring/hangi-to. Pisau ini sangat diandalkan untuk membuat garis secara tepat dan dibantu dengan pisau lain seperti pisau U/Maru-to dan pisau datar/Hira-to untuk membersihkan bekas cukilan. Seniman Moku Hanga jarang atau hampir tidak pernah menggunakan pisau V/Sankaku-to karena beresiko merusak garis yang dibuat. Sebaliknya dalam teknik woodcut yang saya kembangkan selama ini justru pisau pavorit dan paling banyak saya gunakan adalah pisau V. Saya hanya menggunakan pisau miring dan pisau lainnya untuk memperluas cukilan. Dalam workshop, guna menyesuaikan dengan tradisi Moku Hanga, saya mau tidak mau untuk sementara menyingkirkan pisau V-pisau pavorit-dari jangkauan saya dan berusaha familiar dengan pisau miring/hangi-to. Bukan hal mudah merubah kebiasaan namun saya terus mencoba hingga mulai menikmatinya.
Dalam seni grafis pemeliharaan alat ikut menentukan sukses tidaknya proses berkarya. Merawat pisau cukil adalah hal penting yang juga harus diperhatikan pencukil kayu dengan selalu mengontrol mata pisau agar terjaga ketajamannya. Pisau cukil perlu diasah karena akan tumpul setelah cukup lama dipergunakan. Sensei Sekioka melatih kami teknik yang benar dalam mengasah pisau. Tidak mudah melakukannya karena mesti berhati-hati dan penuh kesabaran agar tidak merusak mata pisau.
Lalu di minggu keempat, selama tiga hari pula Sensei Ueba menggenapkan pelajaran. Keahliannya adalah seluk beluk pencetakan Moku Hanga. Ia banyak memberikan kami alternatif, trik-trik dan siasat pencetakan mulai dari teknik pembasahan kertas/dampness paper, sizing paper/melapisi kertas dengan campuran air dan bahan kimia untuk memperkuat warna, menggunakan pigmen warna hingga teknik menggosok bagian belakang kertas dengan baren. Sensei Ueba sangat ahli dalam hal ini dan selalu berusaha membantu dari setiap problem pencetakan yang sering kami temui.

Minggu kelima hingga minggu kedelapan kami bekerja tanpa pembimbing. Ini adalah saatnya mempraktekkan hasil latihan bersama para sensei yang sangat berharga tersebut. Kami mendapat tugas membuat 3 karya individual dengan masing-masing dicetak lebih dari tiga edisi. Dalam Term of Condition program yang dikeluarkan oleh NAP Committe, kami berkewajiban memberikan 3 buah karya berbeda yang kami buat dengan masing-masing sejumlah 3 edisi sebagai koleksi mereka. Karya-karya tersebut akan dipamerkan pada maret 2010 di galeri NAP. Ternyata sisa waktu 4 minggu terakhir dirasakan kurang oleh sebagian dari kami para peserta program untuk menyelesaikan karya. Kegagalan demi kegagalan dalam mencetak harus kami hadapi. Maklum sebagian besar dari kami untuk pertama kalinya bekerja dengan teknik ini. Namun akhirnya kami berenam dapat menyelesaikan karya masing-masing tepat pada waktunya. Mendebarkan dan mengesankan.

Selain kesibukan membuat karya, banyak acara yang kami ikuti ditengah workshop seperti; mengunjungi pabrik kertas terkenal Awagami di Tokushima yang membuat kertas ukuran 2,5x5,5 meter secara manual, hallowen party bersama anak-anak, presentasi karya dan open studio bersama masyarakat sekitar residence, berkaraoke ria.
Salah satu tujuan program ini seperti yang dikatakan oleh Keiko-san dalam sayonara party menjelang berakhirnya workshop adalah bukan untuk menuntut peserta agar berkarya seperti seniman Moku Hanga. Tapi adalah tugas NAP Committee untuk mentransfer teknik kepada para seniman peserta guna lebih merangsang kerja kreatif mereka kedepan. Ini adalah magnet Moku Hanga!

9 Januari 2010
Syahrizal Pahlevi, Perupa.

Dimuat di Visual Arts magazine #36/april-mei 2010

=====================
MAGNET MOKU HANGA / Eight Impressive Weeks

(I wrote this article in memory of one of my tutors, Sensei Masahiro Takade, who died on December 09th, 2009 in Kobe, Japan. I will always remember him! “Goodbye, Sensei Takade, thank you for your dedication!”).

From September 28th until November 20th, 2009, six artists from different countries (including myself from Indonesia) participated in the Nagasawa Art Park, an artist-in-residence, workshop program for Japanese woodblock print-making in Awaji City, Hyogo, Japan.

This program was hosted by Nagasawa Art Park (NAP) Committee, a non-profit organization that has been providing this program since 1996. This organization hosted more than 100 artists from 30 countries worldwide. I was the third artist from Indonesia to participate in it. Prior to me were Isa Perkasa (an artist from Bandung) in 1997 and Eddi Prabandono (artist from Yogya-Japan) in 1998.

I left for Japan on September 28th, and arrived at Kansai International Airport. From there I took a bus which brought me to Tsuna Ichinomiya Terminal on Awaji Island. There were two NAP Staffs waiting for me in a car; Masahiro Kosaka (the Operating Manager), and Nichi-san (the driver) who were both responsible for our transportation during our program.

After only twenty minutes we reached Umihira Residence in Awaji City, the place where all the participating artists were staying. Awaji City is one of four cities in Awaji Island. It is located on the steep hillside of Umihara Hill.

A lady in her late sixties or more said hello to me. She was Keiko Kadota that we called as Keiko-san, a NAP Programs director. In fact she was the lady that had corresponded with me before I came to Japan. She was so energetic and dynamic, I was surprised. She was much more energetic than most people I know in that age group.

In 1998 I applied for the Residency Program to NAP (it used to be called Nagasawa Art Park Project), a committee which hosted Japanese a woodblock print making workshop. My application was rejected. In 2008 I applied for different program called Autumn Workshop 2009 and was accepted. I felt very lucky to be selected because I had to compete with many great talented artists from all over the world so I took this opportunity very seriously.

Previously the only information I had about Japanese woodblock print making was known as ‘Ukiyo-e,’ literally translated as “floating world.” Ukiyo-e is a genre of Japanese woodblock prints or woodcuts and paintings produced between the 17th and the 20th centuries, featuring motifs of landscapes, tales from history, the theatre, and pleasure quarters. It is the main artistic genre of woodblock printing in Japan. Print making started at the time of Edo Era in 1603-1867. It mostly pictured the beauty of nature, daily life, and important figures living at that time (kings, heroes, samurais, and art workers including Geishas. The fineness and details of the artwork created by legendary Ukiyo-e artists using this technique is very impressive and well-known. Even Van Gogh admitted that his painting technique was influenced by it.

‘Moku Hanga’ is an internationally-known, traditional, Japanese water-base woodcut technique. Moku Hanga Japanese wood print is totally different with European wood print—which I had been familiar with. European Wood print usually uses oil-based media. Moku Hanga uses water-based media. Regular wood print uses offset ink to produce the artwork. But Moku Hanga uses many medias such as watercolor, gouaches and other water-based colored pigments which are usually mixed with nori (rice paste), an elastic binder used to slow the drying process.

There is another technique called ‘Kento’ (Japanese Registration). This technique is very well known among artists. It is a simple device which the printer uses to insure registration of the picture throughout the printing process. It has been employed for several centuries and has proven it to be the best means for keeping tight registration. Two small projections are used to keep the block margins exact to ensure registration. A special brush called ‘maru-bake’ with fine bristles is used to apply colors to the wooden plate. This style of print making does not need a heavy-duty press to create the image. It only uses a ‘baren’ which is a light rubbing pad made of bamboo leaf. The baren is used in traditional Japanese woodcut printing. Its strong grain and tough surface allows the artist to apply pressure firmly and efficiently to the paper.

Six of us participated in the program: a German artist, Philip Rumph (graphic design), an Italian artist, Nicolo Barbagli (printmaking and interior design), an Irish artist, Ross mc Donnel (painting), a Great Britain artist, Laura Boswell (enamel art and print making), an American artist, Betsy Best Spadaroo (printmaking) and myself, an Indonesian artist (painting and print making). We stayed in two-story studio. We each had our own bedroom located upstairs. We used the downstairs as a shared studio. We shared this building like a family and treated each other like family members, sharing utilities and cooking food, cleaning dishes and keeping house together.

The workshop lasted for eight weeks, five days a week (Monday to Friday) from 09:00 am until 05:00 pm. Saturday and Sunday were free days, except when committee had important, non scheduled programs that they wanted us to participate in. The programs were very professional and scheduled very well so that it was very easy for us to participate.

The first week was a short history introduction and basic knowledge on Moku Hanga Technique. Keiko-san gave this brief introduction; including a tool introduction on what and how to use them. There were knife-tools i.e : special carving knife set, Kento knifes set, water color, gouache, nori, maru-bake (a hand-made professional printing brush made out of horse tail) and some other interesting brushes.

Most of Moku Hanga professional artists prefer to use cherrie block (wood from cherrie tree) because of the high quality. But for us in the workshop they provided shina-benie plywood. It is good quality and it doesn’t break easily and it is affordable so we could use a lot. It has a fine grain and is very easy to carve. The committee also provided us with several kinds of interesting print making paper to use for the printing workshop. They were also very generous with other art supplies to use.

We also had the opportunity to see old classical Moku Hanga cutting blocks. We were surprised that we were allowed to touch them with our hands! Those cutting blocks seemed very well-preserved. Besides cutting block collections, we also saw other impressive, ancient art collections such as posters, greeting cards, text books and comic books all which were hand-made (manually produced!).

In the first week, Keiko-san also gave us introduction demonstrations on Moku Hanga technique to make sure that we would start to get used to the Moku Hanga terminology when we would study under Moku Hanga masters in the following weeks. Besides all of these residence activities, the committee also invited some other communities in Awaji Island to give us a welcome ceremony. It was very interesting for us to see how hard they had worked on this program.

We also had a tour of the island to important places such as temples, a modern earthquake museum (to remember the big earthquake of 1995), a therapeutic therapy aroma house which still proudly uses manual labour, and a sake making house. We also saw a Japanese classical puppet show and some other interesting places. These visits were very important and enticed me to go further to study Moku Hanga which is the main reason to participate in this program.

We had the opportunity to go to a Paper Factory, a very famous Awagami Japanese Papers Factory in Tokushima, That company could produce 2.5 x 5.5 meter paper manually!

We had Halloween Party with children over there, made art presentation and open studio for people to come, plus, we had a Karaoke Party!

The send to the forth weeks were very valuable for all of us. We studied Japanese traditions. We studied three days a week under the guidance of Moku Hanga masters. They trained and taught us patiently and humbly in full dedication. They also gave all of us some of their art such as postcards, carved cherry blocks and other artwork as gifts. This kind of giving not only made us very touched but also made the teacher-student relationship very beautiful.

We had three Moku Hanga masters/teachers. Sensei Masahiro Takade is a friendly and quiet person, very productive and active in many exhibitions. He is also an experienced professor at an Art Academy in Kobe. Sensei Yusuke Sekioka is also a quiet man and who likes to create artwork. He is a Moku Hanga master and was a student of Hanbei Oekura, a forth-generation of Moku Hanga masters. He is also the founder of Sekioka Horiyu Studio in 1983 in Tokyo. Sensei Toru Ueba is an eccentric man and a master in printing. He owns a Banpudo Workshop, that has done a lot of printing business for Moku Hanga classic artwork and other contemporary artists’ artwork. He is also a very productive artist and active in many exhibitions.

Sensei Takade taught us the basic theory on Moku Hanga techniques, such as how to design and draw images, how to prepare the woodblock, how to transfer image from the paper to the cutting block, how to moisten the paper with correct precision, how to prepare pigments, how to level them on the cutting block, how to rub/burnish it on the back of the paper, how and when to lift the paper and to dry it and where to put pencil mark on the prints. We practised all those steps many times to make sure that we mastered them very well.

During the third week for three days Sensei Sekioka gave us lessons on how to use carving knives/chisels efficiently, so we wouldn’t have to keep rotating and spinning the cutting block often, which can slow down the process. Since now in Japan there are not so many Moku Hanga carvers, this concerns Sensei Sekioka. He is concerned how to produce more artwork with the very limited amount of Hanga cavers that Japan has. Finally he discovered very efficient tricks how to carve efficiently and can produce more artwork. He shared his tricks when he taught us. He showed us how to use ‘Hangi-to’ knife (the angle of the blade goes in the opposite direction) correctly. We used this knife to create very thin lines precisely. He also showed us how to use ‘Maru-to’ (a “U” gouge) and ‘Hira-to’ after we carve with Hangi-to knife we clean/smooth cuts on the block. Moku Hanga artists almost never use ‘Sankaku-to’ (a “V” gouge) because this type of knife can wreck the thin line on the block. This knife doesn’t like to go against the wood grains. This knife is for use on linoleum—where we can maneuver the knife more easily. That was totally the opposite that I was used to. In Indonesia the Sankaku-to (“V” gouge) knife/chisel is actually my favorite. I always use it. I use this knife for almost all of my cuts because I like the effect that it gives. I only used the ‘Hangi-to’ knife for certain purposes only, such as widening the lines.

During the workshop in Japan, I had to follow the Moku Hanga tradition not use the Sankaku-to knife. It was not an easy thing for me to do, since that knife was like my “magic” knife, but eventually I was able to get used to it and discovered the great benefits from not using it for a while. Sensei Sekioka also showed us how to sharpen our knives and chisels, because that is key to woodblock print making artwork. He also taught us to maintain them and pay attention to the blades and the sharpness of the knives. All of this will effect the result of the art.

During the fourth week for three days, Sensei Ueba taught us about the printing process used in Moku Hanga artwork. He showed us on how to dampen the paper, apply the sizing (the coating) and how to apply colors with brush. We also learned how to put nori on the wooden block correctly, how to burnish the back of paper and how to ‘Ken-to’.

Week five to week eight we worked independently without any guidance. This was an opportunity for us to practice and apply all the theory and lessons we had learned in the studio. We also improvised and tried some tricks some of the teachers had taught us.

We were instructed to make three projects. Everyone had a similar task to finish. Eventually these art projects would be part of the collection of NAP. The art will be exhibited at NAP’s Gallery after March 2010.

We made many mistakes and failures in the printing process because these task seemed insurmountable for us and of course it was very stressful with the short remaining time that we had in Japan, but we all made it and accomplished our goal. It was amazing!

It was an amazing experience for me to have this great opportunity to get involved with the residency program. It was the moment I had been waiting for to study the Moku Hanga traditions and other new things in Japan!

Keiko-san said that the purpose of that program, in the Sayonara Party, was not to make the participants become Moku Hanga Master, but it was the NAP’s responsibility to share the knowledge to the selected artists, so that it would maintain or stimulate people to get interested to study Moku Hanga Art in the future. This was the magnet of Moku Hanga for me!

January 9th, 2010

Syahrizal Pahlevi (painter and printmaker)

Translation by:
Toto Sugiarto and Laurie Sugiarto
Minneapolis, Minnesota USA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar