JALAN GRAFIS - Antara romantika pelukis Salim dan Seni Grafis Indonesia
Sedikit beromantik tak apalah.
Bila seorang JJ. Kusni dalam sebuah artikelnya menjuluki “keterikatan dan ketidakterpisahan” almarhum pelukis Salim dengan alam/suasana/kehidupan kota Paris, Perancis (sebagai “pilihan” tempat tinggal dan tempat berkarya yang dijalaninya lebih dari ¾ usianya sampai akhir hayatnya) sebagai “JALAN SALIM=JALAN PARIS”, maka tidak berlebihan rasanya kita beri julukan “JALAN GRAFIS” buat penekun-penekun seni cetak grafis yang menyempatkan atau mungkin memprioritaskan waktunya buat berkarya grafis disela-sela godaan dan daya tarik medium senirupa lainnya sebagai pilihan berekspresi.
Berbicara tentang pelukis Salim dan Seni Grafis Indonesia adalah sama-sama menengok kisah-kisah romantik nan heroik. Kisah romantik nan heroik Salim diantaranya adalah bagaimana ngototnya ia dengan kebulatan hatinya untuk tetap tinggal, bertahan hidup dan berkarya di Paris meskipun negeri kelahirannya Indonesia memanggil-manggil pulang. Tidak jua Presiden Soekarno pada waktu itu dapat meluluhkan kekerasan hati Salim sebagaimana tergambar lewat sebuah kesempatan perbincangan singkat keduanya di trotoir jalan Paris, masih dalam artikel JJ. Kusni tersebut: “Lim, kau pulanglah! Mengapa mati disini?” Begitu ujar Presiden Soekarno pada waktu itu. Apa jawaban Salim? Dengan mantap ia mengatakan: ”Saya disini tidak untuk mati. Tapi untuk hidup!”
(JJ. Kusni, “Surat Kembang Kemuning-Pameran Lukisan Salim di Kota Praja Paris”, www.osdir/mail archive/2005).
Sedangkan kisah romantik dalam Seni Grafis Indonesia yang selalu dikutip setiap membahas sejarah munculnya seni ini di Indonesia salah satunya adalah bagaimana heroiknya seni cetak grafis menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1946 - dimana Burhanudin Marasutan dan Mochtar Apin mulai memproduksi cetak cukil kayu dan lino untuk keperluan diplomasi kebudayaan pemerintahan Soekarno pada waktu itu (lihat katalo-katalog pameran Seni Grafis antara lain: “50 Tahun Seni Grafis Indonesia”, Bentara Budaya Jakarta 2000 dan “Grafis Hari Ini”, Bentara Budaya Jakarta 2008).
Pencapaian
Buat ukuran bangsa kita yang mengenal seni grafis tahun 1946, terhitung sejak terjadinya gerakan Burhanudin MS dan Mochtar Apin tersebut, maka paling tidak artinya kita -publik seni rupa di Indonesia- telah dijejali info, pengetahuan kasat mata dan pengalaman akan bentuk dan wujud salah satu teknik seni grafis tidak kurang selama 63 tahun. Suatu rentang waktu yang mencukupi sebenarnya buat meniti dan mengembangkan jenis medium seni rupa satu ini memasuki ranah apresiasi publik yang diatas rata-rata. Artinya mencapai tingkatan apresiasi menggembirakan. Lalu apa yang telah dicapai?
Lumayan ada Triennal Seni Grafis Indonesia yang diselenggarakan Bentara Budaya yang tahun ini memasuki penyelenggaraan kali ke-3. Lumayan masih ada satu studio cetak grafis yang mencoba bertahan lewat berbagai aktifitas dan segala keterbatasannya yaitu Studio Grafis Minggiran di Yogyakarta. Lumayan 2 tahun belakangan ini ada cukup sering even pameran/workshop seni grafis baik yang digagas oleh galeri dan lembaga kesenian lainnya maupun yang diusahakan oleh kalangan independen atau seniman sendiri (beberapa pameran dan workshop itu diantaranya: “Departemen Sosial”, Galeri Biasa Yogyakarta 2008, “NISHIKE-E”, Galeri Seni House of Sampoerna Surabaya 2008, “Grafis Hari Ini”, Bentara Budaya Jakarta 2008, “Grafis Indonesia Sekarang“, Tembi Contemporary Gallery Yogyakarta 2009, “Ilustrasi Keluarga Dalam Seni Grafis” Sutrisno di Rumah Budaya Tembi Yogyakarta 2009, “Hello Print”, Edwin Gallery Jakarta 2009, “FEROMON”, Bentara Budaya Yogyakarta 2009, “WHO“ Kelompok Tangan Reget di KERSAN Art Studio Yogyakarta 2009, “ Hangout #2“, Galeri Kedai Belakang Yogyakarta 2009, “Workshop Woodcut-Teknik Reduksi”, Japan Foundation Jakarta, “OOH MESIAS” Grafis Minggiran, Bentara Budaya Yogyakarta 2009, “Pameran Seni Grafis Koleksi Galeri Nasional Indonesia” di PPKI 2009, , “Galeri Kabuki Ukiyoe”, Japan Foundation Jakarta 2009, “Woodcut Easy and Fun Collected”, Grafis Minggiran di Jogja Gallery Yogyakarta 2009). Lumayan beberapa karya grafis masih sering terselip diantara jenis karya lainnya dalam berbagai even pameran seni rupa baik skala besar maupun kecil. Lumayan beberapa seniman masih menunjukkan minatnya dalam berkarya dan eksplorasi grafis (antara lain: perupa Tisna Sanjaya, Yamyuli Dwi Imam, Devy Ferdiyanto, Sri Maryanto, Agung “Pekik” Purboaji, AC. Andre Tanama, AT. Sitompul, Pegrafis dari Kelompok Tangan Reget, Kelompok Grafis Minggiran, perupa Surya Wirawan, Kelompok Taring Padi dan beberapa nama baru lulusan kampus seni rupa). Lumayan ada sedikit penikmat seni yang berusaha mengenal dan mengapresiasi baik karya-karya grafis. Lumayan masih ada pemerhati yang setia membela praktek seni grafis. Lumayan peran mass media dalam hal publikasi/sosialisasi seni ini mulai rutin. Dan lumayan-lumayan lainnya bila kita mau memperinci apa yang telah dicapai Seni Grafis Indonesia sampai saat ini. Cukupkah demikian?
Grafis dimata pengamat
Sekalipun telah ada pergerakan dalam seni grafis yang terlihat dari berbagai aktifitasnya akhir-akhir ini, kenyataannya harus diterima karena dimata pengamat tetap saja medium ini kalah populer dibanding medium-medium seni rupa lainnya. Usaha yang dilakukan oleh seniman termasuk beberapa galeri/lembaga seni dinilai belum cukup, terlalu lambat dan tersendat-sendat jalannya.
Seorang Aminuddin TH. Siregar yang kurator dan dosen jurusan seni grafis ITB, melihat kondisi yang terjadi dalam Seni Grafis Indonesia sampai saat ini sebagai hal yang membuatnya “gregetan”. Ia gregetan mengapa jalan seni rupa satu ini tidak mulus-mulusnya. Seni ini ada tetapi seperti tidak kelihatan sepak terjangnya. Kalaupun nampak wujudnya dalam pameran, selalu banyak muncul pertanyaan apa itu seni grafis? Bagaimana membuatnya? Kok ada edisi lain atau penggandaan, jadi macam seni apakah dia? Apa bedanya dengan Disain Grafis? Orisinilkah masing-masing edisinya yang mirip-mirip satu sama lainnya itu? Bila ingin membuat, dimanakah didapat bahan-bahannya? Dan serentetan pertanyaan lain yang sebenarnya cukup menandakan bahwa seni ini masih tetap berjarak dengan publiknya. Sampai-sampai “Ucok”, panggilan akrab Aminuddin mengandaikan perlu dibuat “terobosan segar dan tersistem” untuk mendongkrak popularitas seni ini ketingkat yang lebih baik lagi –meniru “kesuksesan” sepak-terjang medium seni rupa yang telah lebih dahulu populer.
Setali tiga uang dengan apa yang dirasakan Ucok, wartawan senior dan direktur eksekutif Bentara Budaya, Efix Mulyadi melihat memang tingkat apresiasi publik terhadap seni grafis belum berjalan seperti diharapkan. Medium seni rupa ini masih membutuhkan dukungan berbagai pihak agar berkembang lebih baik lagi. Lantaran itu lembaga yang dipimpinnya saat ini, Bentara Budaya telah berkomitmen untuk menjadi bagian dari proses pengembangan Seni Grafis Indonesia. Usaha mereka antara lain dengan menyelenggarakan pameran-pameran, menyelenggarakan Trienal dan mensupport berbagai kegiatan seni grafis. Diharapkan upaya-upaya ini turut merangsang perkembangan seni grafis di tanah air.
Persoalan pegrafis
Lantas bagaimana jalannya proses apresiasi tersebut dimata pegrafis, faktor atau hambatan apakah yang membuat jalan seni ini terlihat begitu lambatnya diterima publik? Mungkinkah ini lebih disebabkan oleh kurang keras bekerja dan kurangnya rasa percaya diri dari para penekun seni grafis itu sendiri? Kemana konsentrasi pegrafis terpecah?
Di kalangan pegrafis sendiri sering muncul keluhan akan minimnya jumlah studio cetak grafis berikut fasilitas mesin press manual/etching press untuk kebutuhan berkarya setelah mereka lepas dari kampus seni (untuk beberapa teknik grafis seperti cetak dalam/intaglio yaitu etching, drypoint, mezzotint, aquatint keberadaan etching press sangat mutlak). Sebagai catatan, studio cetak kita memang kurang sekali jumlahnya. Kalaupun ada, terpaksa jatuh bangun jalannya. Tercatat tahun 1973-1989 kita pernah memiliki studio cetak grafis Dacenta, Bandung yang aktif mencetak dan memamerkan karya-karya grafis beberapa perupa terkemuka Bandung. Setelah era Dacenta, juga di Bandung berdiri Studio Grafis Red Point (1993 ?) yang sempat menggebrak dengan serangkaian aktifitas dan karya penting (menyewakan studio/menyelenggarakan dan membuat pameran/workshop/mencetak portfolio grafis dan sebagainya). Sayang studio ini hanya bertahan kurang dari 10 tahun dan terpaksa ditutup karena perbedaan visi para pengelolanya. Lalu, masih di Bandung (2003 ) berdiri Rumah Grafis Cidamar. Mereka juga menyewakan studio/membuat workshop/menerbitkan news letter. Namun studio ini lebih pendek umurnya. Di Yogyakarta sendiri (2002 ?) beberapa mahasiswa seni grafis ISI nekad mendirikan studio dengan berbekal sebuah mesin press pinjaman. Studio ini masih bertahan sampai sekarang dan dibuat makin profesional serta telah memiliki mesin sendiri- ketika para pengelolanya sudah tidak berstatus mahasiswa lagi. Tidak kurang pula telah banyak usaha dilakukan studio ini dalam mendongkrak apresiasi.
Selain masalah kurangnya studio mencetak, beberapa pegrafis mengeluhkan tidak adanya organisasi induk/asosiasi yang mewadahi keberadaan pegrafis/kelompok pegrafis Indonesia. Pegrafis/kelompok pegrafis terkesan terpisah-pisah dan bekerja sendiri-sendiri. Kecuali mengikuti even-even pameran/trienal dan workshop, tidak ada ruang khusus pegrafis buat menjalin komunikasi. Ketiadaan organisasi induk ini bagi sebagian pegrafis cukup melemahkan ruang gerak mereka, padahal gairah berkarya masih cukup besar. Bagi mereka, hanya pegrafis yang “kuat staminanya” saja yang mampu berjalan sendiri.
Jalan keluar
Dengan kondisi demikian, apa yang dapat dilakukan saat ini? Akankah kita menunggu hingga semua persyaratan berkarya terpenuhi?
Tanpa menafikan keluhan beberapa pegrafis di atas, bila kita tidak menyerah dengan keadaan, rasanya akan tetap selalu ada celah yang dapat dimanfaatkan ditengah berbagai kekurangan fasilitas. Produksi karya yang selama ini masih terkesan malu-malu, malas-malasan dan hanya ramai produksi ketika ada even pameran/triennal seharusnya bisa lebih dipacu. Minimnya studio cetak grafis sepertinya bukan harga mati untuk ditembus. Saya mencatat ada beberapa perupa/pelukis/arsitek/fotografer (lebih dari 15 orang) di negeri ini yang memiliki etching press pribadi -yang seumpamanya lebih didaya gunakan buat keperluan berkarya grafis ketimbang sekedar dikoleksi hanya untuk pantas-pantasan karena cuma digunakan sesekali atau mungkin tidak pernah sama sekali- mestinya dapat membuat seni ini makin bergairah. Tentu tidak perlu menuntut mereka mendirikan open studio, karena tidak mudah dan tidak sesederhana kelihatannya untuk mengelola sebuah studio cetak grafis (karena menuntut disiplin, pengetahuan teknik yang benar dan manajerial yang baik). Cukuplah kita berharap sesekali mesin-mesin itu dipergunakan untuk workshop-workshop kecil membuat karya grafis, itu sudah hal menggembirakan. Tinggal bagaimana menjaga stamina agar aktivitas tidak berjalan sia-sia.
Untuk mendorong pertumbuhan karya dan pegrafis, saya sempat mempunyai pemikiran bagaimana seandainya kampus senirupa turut memfasilitasi dengan membuka ruang bagi peminat grafis diluar mahasiswa mereka untuk berkarya. Mengingat kampus-kampus tersebut memiliki studio cetak yang lengkap untuk praktek mahasiswanya, apakah mungkin studio-studio tersebut dipergunakan (disewakan atau dengan sistim kerjasama) oleh peminat grafis/pegrafis yang bukan mahasiswa, tentunya diluar jam-jam pemakaian oleh mahasiswa dan lewat pengawasan yang ketat. Mungkin birokrasi kampus dapat sedikit dicairkan dan lebih fleksibel dalam menghadapi situasi minimnya studio cetak grafis di negeri ini.
Beberapa waktu yang lalu, di sebuah ruang jaringan komunikasi pengguna internet, sempat muncul kembali gagasan beberapa perupa untuk membuat Asosiasi Pegrafis atau Asosiasi Seni Grafis. Sebenarnya hal ini lumrah saja dan telah banyak dilakukan oleh pegrafis di berbagai negara dan terlihat manfaatnya. Namun mengapa sulit sekali gagasan tersebut terwujud. Mungkin belum menjadi kebutuhan benar setelah dikaji lebih jauh oleh pemrakarsanya.
Penutup
Nah, memakai perumpamaan JALAN GRAFIS -seperti halnya pelukis Salim yang keras hati menempuh Jalan Paris- keberadaan Seni Grafis Indonesia tanpa ditunjang “kekerasan hati dan komitmen” dari para penekunnya untuk terus berkarya dan berkembang akan sulit mencapai arah yang dituju dan diidam-idamkan bersama.
Harus diterima bahwa “virus grafis” yang coba ditularkan sampai saat ini ternyata belum kemana-mana. Seni ini hanya didukung dan coba dihidupi oleh segelintir perupa, segelintir komunitas, segelintir lembaga, segelintir pemerhati dan segelintir penikmat/pencinta seni. Puaskah kita menerima keadaan dimana seni ini masih dipandang sebagai “seni penyerta” yang “diselipkan” diberbagai event pameran/art fair/ balai lelang sekedar untuk menyatakan bahwa ia ada, masih ada...?
Tidak bisa lain yang dibutuhkan saat ini adalah “kekerasan hati” dan membuang segala keraguan. Sehingga, andai ada pertanyaan/ujaran begini: “Pegrafis, kau pulanglah !(ke seni lukis/seni tiga dimensi/mixed media/seni instalasi dan seni-seni lain yang lebih popular dan digemari saat ini). Mengapa mati disini (di seni grafis ini)?”. Maka seperti halnya Salim, penekun seni grafis akan menjawab dengan mantap dan kepala tegak: “Saya disini (di seni grafis ini) tidak untuk mati. Tapi untuk hidup!”.
Romantik nan heroik bukan?
Yogyakarta, 13 September 2009
Syahrizal Pahlevi, pegrafis
(artikel ini dimuat di Visual Arts edisi Juni 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar