JALAN GRAFIS - Antara romantika pelukis Salim dan Seni Grafis Indonesia
Sedikit beromantik tak apalah.
Bila seorang JJ. Kusni dalam sebuah artikelnya menjuluki “keterikatan dan ketidakterpisahan” almarhum pelukis Salim dengan alam/suasana/kehidupan kota Paris, Perancis (sebagai “pilihan” tempat tinggal dan tempat berkarya yang dijalaninya lebih dari ¾ usianya sampai akhir hayatnya) sebagai “JALAN SALIM=JALAN PARIS”, maka tidak berlebihan rasanya kita beri julukan “JALAN GRAFIS” buat penekun-penekun seni cetak grafis yang menyempatkan atau mungkin memprioritaskan waktunya buat berkarya grafis disela-sela godaan dan daya tarik medium senirupa lainnya sebagai pilihan berekspresi.
Berbicara tentang pelukis Salim dan Seni Grafis Indonesia adalah sama-sama menengok kisah-kisah romantik nan heroik. Kisah romantik nan heroik Salim diantaranya adalah bagaimana ngototnya ia dengan kebulatan hatinya untuk tetap tinggal, bertahan hidup dan berkarya di Paris meskipun negeri kelahirannya Indonesia memanggil-manggil pulang. Tidak jua Presiden Soekarno pada waktu itu dapat meluluhkan kekerasan hati Salim sebagaimana tergambar lewat sebuah kesempatan perbincangan singkat keduanya di trotoir jalan Paris, masih dalam artikel JJ. Kusni tersebut: “Lim, kau pulanglah! Mengapa mati disini?” Begitu ujar Presiden Soekarno pada waktu itu. Apa jawaban Salim? Dengan mantap ia mengatakan: ”Saya disini tidak untuk mati. Tapi untuk hidup!”
(JJ. Kusni, “Surat Kembang Kemuning-Pameran Lukisan Salim di Kota Praja Paris”, www.osdir/mail archive/2005).
Sedangkan kisah romantik dalam Seni Grafis Indonesia yang selalu dikutip setiap membahas sejarah munculnya seni ini di Indonesia salah satunya adalah bagaimana heroiknya seni cetak grafis menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1946 - dimana Burhanudin Marasutan dan Mochtar Apin mulai memproduksi cetak cukil kayu dan lino untuk keperluan diplomasi kebudayaan pemerintahan Soekarno pada waktu itu (lihat katalo-katalog pameran Seni Grafis antara lain: “50 Tahun Seni Grafis Indonesia”, Bentara Budaya Jakarta 2000 dan “Grafis Hari Ini”, Bentara Budaya Jakarta 2008).
Pencapaian
Buat ukuran bangsa kita yang mengenal seni grafis tahun 1946, terhitung sejak terjadinya gerakan Burhanudin MS dan Mochtar Apin tersebut, maka paling tidak artinya kita -publik seni rupa di Indonesia- telah dijejali info, pengetahuan kasat mata dan pengalaman akan bentuk dan wujud salah satu teknik seni grafis tidak kurang selama 63 tahun. Suatu rentang waktu yang mencukupi sebenarnya buat meniti dan mengembangkan jenis medium seni rupa satu ini memasuki ranah apresiasi publik yang diatas rata-rata. Artinya mencapai tingkatan apresiasi menggembirakan. Lalu apa yang telah dicapai?
Lumayan ada Triennal Seni Grafis Indonesia yang diselenggarakan Bentara Budaya yang tahun ini memasuki penyelenggaraan kali ke-3. Lumayan masih ada satu studio cetak grafis yang mencoba bertahan lewat berbagai aktifitas dan segala keterbatasannya yaitu Studio Grafis Minggiran di Yogyakarta. Lumayan 2 tahun belakangan ini ada cukup sering even pameran/workshop seni grafis baik yang digagas oleh galeri dan lembaga kesenian lainnya maupun yang diusahakan oleh kalangan independen atau seniman sendiri (beberapa pameran dan workshop itu diantaranya: “Departemen Sosial”, Galeri Biasa Yogyakarta 2008, “NISHIKE-E”, Galeri Seni House of Sampoerna Surabaya 2008, “Grafis Hari Ini”, Bentara Budaya Jakarta 2008, “Grafis Indonesia Sekarang“, Tembi Contemporary Gallery Yogyakarta 2009, “Ilustrasi Keluarga Dalam Seni Grafis” Sutrisno di Rumah Budaya Tembi Yogyakarta 2009, “Hello Print”, Edwin Gallery Jakarta 2009, “FEROMON”, Bentara Budaya Yogyakarta 2009, “WHO“ Kelompok Tangan Reget di KERSAN Art Studio Yogyakarta 2009, “ Hangout #2“, Galeri Kedai Belakang Yogyakarta 2009, “Workshop Woodcut-Teknik Reduksi”, Japan Foundation Jakarta, “OOH MESIAS” Grafis Minggiran, Bentara Budaya Yogyakarta 2009, “Pameran Seni Grafis Koleksi Galeri Nasional Indonesia” di PPKI 2009, , “Galeri Kabuki Ukiyoe”, Japan Foundation Jakarta 2009, “Woodcut Easy and Fun Collected”, Grafis Minggiran di Jogja Gallery Yogyakarta 2009). Lumayan beberapa karya grafis masih sering terselip diantara jenis karya lainnya dalam berbagai even pameran seni rupa baik skala besar maupun kecil. Lumayan beberapa seniman masih menunjukkan minatnya dalam berkarya dan eksplorasi grafis (antara lain: perupa Tisna Sanjaya, Yamyuli Dwi Imam, Devy Ferdiyanto, Sri Maryanto, Agung “Pekik” Purboaji, AC. Andre Tanama, AT. Sitompul, Pegrafis dari Kelompok Tangan Reget, Kelompok Grafis Minggiran, perupa Surya Wirawan, Kelompok Taring Padi dan beberapa nama baru lulusan kampus seni rupa). Lumayan ada sedikit penikmat seni yang berusaha mengenal dan mengapresiasi baik karya-karya grafis. Lumayan masih ada pemerhati yang setia membela praktek seni grafis. Lumayan peran mass media dalam hal publikasi/sosialisasi seni ini mulai rutin. Dan lumayan-lumayan lainnya bila kita mau memperinci apa yang telah dicapai Seni Grafis Indonesia sampai saat ini. Cukupkah demikian?
Grafis dimata pengamat
Sekalipun telah ada pergerakan dalam seni grafis yang terlihat dari berbagai aktifitasnya akhir-akhir ini, kenyataannya harus diterima karena dimata pengamat tetap saja medium ini kalah populer dibanding medium-medium seni rupa lainnya. Usaha yang dilakukan oleh seniman termasuk beberapa galeri/lembaga seni dinilai belum cukup, terlalu lambat dan tersendat-sendat jalannya.
Seorang Aminuddin TH. Siregar yang kurator dan dosen jurusan seni grafis ITB, melihat kondisi yang terjadi dalam Seni Grafis Indonesia sampai saat ini sebagai hal yang membuatnya “gregetan”. Ia gregetan mengapa jalan seni rupa satu ini tidak mulus-mulusnya. Seni ini ada tetapi seperti tidak kelihatan sepak terjangnya. Kalaupun nampak wujudnya dalam pameran, selalu banyak muncul pertanyaan apa itu seni grafis? Bagaimana membuatnya? Kok ada edisi lain atau penggandaan, jadi macam seni apakah dia? Apa bedanya dengan Disain Grafis? Orisinilkah masing-masing edisinya yang mirip-mirip satu sama lainnya itu? Bila ingin membuat, dimanakah didapat bahan-bahannya? Dan serentetan pertanyaan lain yang sebenarnya cukup menandakan bahwa seni ini masih tetap berjarak dengan publiknya. Sampai-sampai “Ucok”, panggilan akrab Aminuddin mengandaikan perlu dibuat “terobosan segar dan tersistem” untuk mendongkrak popularitas seni ini ketingkat yang lebih baik lagi –meniru “kesuksesan” sepak-terjang medium seni rupa yang telah lebih dahulu populer.
Setali tiga uang dengan apa yang dirasakan Ucok, wartawan senior dan direktur eksekutif Bentara Budaya, Efix Mulyadi melihat memang tingkat apresiasi publik terhadap seni grafis belum berjalan seperti diharapkan. Medium seni rupa ini masih membutuhkan dukungan berbagai pihak agar berkembang lebih baik lagi. Lantaran itu lembaga yang dipimpinnya saat ini, Bentara Budaya telah berkomitmen untuk menjadi bagian dari proses pengembangan Seni Grafis Indonesia. Usaha mereka antara lain dengan menyelenggarakan pameran-pameran, menyelenggarakan Trienal dan mensupport berbagai kegiatan seni grafis. Diharapkan upaya-upaya ini turut merangsang perkembangan seni grafis di tanah air.
Persoalan pegrafis
Lantas bagaimana jalannya proses apresiasi tersebut dimata pegrafis, faktor atau hambatan apakah yang membuat jalan seni ini terlihat begitu lambatnya diterima publik? Mungkinkah ini lebih disebabkan oleh kurang keras bekerja dan kurangnya rasa percaya diri dari para penekun seni grafis itu sendiri? Kemana konsentrasi pegrafis terpecah?
Di kalangan pegrafis sendiri sering muncul keluhan akan minimnya jumlah studio cetak grafis berikut fasilitas mesin press manual/etching press untuk kebutuhan berkarya setelah mereka lepas dari kampus seni (untuk beberapa teknik grafis seperti cetak dalam/intaglio yaitu etching, drypoint, mezzotint, aquatint keberadaan etching press sangat mutlak). Sebagai catatan, studio cetak kita memang kurang sekali jumlahnya. Kalaupun ada, terpaksa jatuh bangun jalannya. Tercatat tahun 1973-1989 kita pernah memiliki studio cetak grafis Dacenta, Bandung yang aktif mencetak dan memamerkan karya-karya grafis beberapa perupa terkemuka Bandung. Setelah era Dacenta, juga di Bandung berdiri Studio Grafis Red Point (1993 ?) yang sempat menggebrak dengan serangkaian aktifitas dan karya penting (menyewakan studio/menyelenggarakan dan membuat pameran/workshop/mencetak portfolio grafis dan sebagainya). Sayang studio ini hanya bertahan kurang dari 10 tahun dan terpaksa ditutup karena perbedaan visi para pengelolanya. Lalu, masih di Bandung (2003 ) berdiri Rumah Grafis Cidamar. Mereka juga menyewakan studio/membuat workshop/menerbitkan news letter. Namun studio ini lebih pendek umurnya. Di Yogyakarta sendiri (2002 ?) beberapa mahasiswa seni grafis ISI nekad mendirikan studio dengan berbekal sebuah mesin press pinjaman. Studio ini masih bertahan sampai sekarang dan dibuat makin profesional serta telah memiliki mesin sendiri- ketika para pengelolanya sudah tidak berstatus mahasiswa lagi. Tidak kurang pula telah banyak usaha dilakukan studio ini dalam mendongkrak apresiasi.
Selain masalah kurangnya studio mencetak, beberapa pegrafis mengeluhkan tidak adanya organisasi induk/asosiasi yang mewadahi keberadaan pegrafis/kelompok pegrafis Indonesia. Pegrafis/kelompok pegrafis terkesan terpisah-pisah dan bekerja sendiri-sendiri. Kecuali mengikuti even-even pameran/trienal dan workshop, tidak ada ruang khusus pegrafis buat menjalin komunikasi. Ketiadaan organisasi induk ini bagi sebagian pegrafis cukup melemahkan ruang gerak mereka, padahal gairah berkarya masih cukup besar. Bagi mereka, hanya pegrafis yang “kuat staminanya” saja yang mampu berjalan sendiri.
Jalan keluar
Dengan kondisi demikian, apa yang dapat dilakukan saat ini? Akankah kita menunggu hingga semua persyaratan berkarya terpenuhi?
Tanpa menafikan keluhan beberapa pegrafis di atas, bila kita tidak menyerah dengan keadaan, rasanya akan tetap selalu ada celah yang dapat dimanfaatkan ditengah berbagai kekurangan fasilitas. Produksi karya yang selama ini masih terkesan malu-malu, malas-malasan dan hanya ramai produksi ketika ada even pameran/triennal seharusnya bisa lebih dipacu. Minimnya studio cetak grafis sepertinya bukan harga mati untuk ditembus. Saya mencatat ada beberapa perupa/pelukis/arsitek/fotografer (lebih dari 15 orang) di negeri ini yang memiliki etching press pribadi -yang seumpamanya lebih didaya gunakan buat keperluan berkarya grafis ketimbang sekedar dikoleksi hanya untuk pantas-pantasan karena cuma digunakan sesekali atau mungkin tidak pernah sama sekali- mestinya dapat membuat seni ini makin bergairah. Tentu tidak perlu menuntut mereka mendirikan open studio, karena tidak mudah dan tidak sesederhana kelihatannya untuk mengelola sebuah studio cetak grafis (karena menuntut disiplin, pengetahuan teknik yang benar dan manajerial yang baik). Cukuplah kita berharap sesekali mesin-mesin itu dipergunakan untuk workshop-workshop kecil membuat karya grafis, itu sudah hal menggembirakan. Tinggal bagaimana menjaga stamina agar aktivitas tidak berjalan sia-sia.
Untuk mendorong pertumbuhan karya dan pegrafis, saya sempat mempunyai pemikiran bagaimana seandainya kampus senirupa turut memfasilitasi dengan membuka ruang bagi peminat grafis diluar mahasiswa mereka untuk berkarya. Mengingat kampus-kampus tersebut memiliki studio cetak yang lengkap untuk praktek mahasiswanya, apakah mungkin studio-studio tersebut dipergunakan (disewakan atau dengan sistim kerjasama) oleh peminat grafis/pegrafis yang bukan mahasiswa, tentunya diluar jam-jam pemakaian oleh mahasiswa dan lewat pengawasan yang ketat. Mungkin birokrasi kampus dapat sedikit dicairkan dan lebih fleksibel dalam menghadapi situasi minimnya studio cetak grafis di negeri ini.
Beberapa waktu yang lalu, di sebuah ruang jaringan komunikasi pengguna internet, sempat muncul kembali gagasan beberapa perupa untuk membuat Asosiasi Pegrafis atau Asosiasi Seni Grafis. Sebenarnya hal ini lumrah saja dan telah banyak dilakukan oleh pegrafis di berbagai negara dan terlihat manfaatnya. Namun mengapa sulit sekali gagasan tersebut terwujud. Mungkin belum menjadi kebutuhan benar setelah dikaji lebih jauh oleh pemrakarsanya.
Penutup
Nah, memakai perumpamaan JALAN GRAFIS -seperti halnya pelukis Salim yang keras hati menempuh Jalan Paris- keberadaan Seni Grafis Indonesia tanpa ditunjang “kekerasan hati dan komitmen” dari para penekunnya untuk terus berkarya dan berkembang akan sulit mencapai arah yang dituju dan diidam-idamkan bersama.
Harus diterima bahwa “virus grafis” yang coba ditularkan sampai saat ini ternyata belum kemana-mana. Seni ini hanya didukung dan coba dihidupi oleh segelintir perupa, segelintir komunitas, segelintir lembaga, segelintir pemerhati dan segelintir penikmat/pencinta seni. Puaskah kita menerima keadaan dimana seni ini masih dipandang sebagai “seni penyerta” yang “diselipkan” diberbagai event pameran/art fair/ balai lelang sekedar untuk menyatakan bahwa ia ada, masih ada...?
Tidak bisa lain yang dibutuhkan saat ini adalah “kekerasan hati” dan membuang segala keraguan. Sehingga, andai ada pertanyaan/ujaran begini: “Pegrafis, kau pulanglah !(ke seni lukis/seni tiga dimensi/mixed media/seni instalasi dan seni-seni lain yang lebih popular dan digemari saat ini). Mengapa mati disini (di seni grafis ini)?”. Maka seperti halnya Salim, penekun seni grafis akan menjawab dengan mantap dan kepala tegak: “Saya disini (di seni grafis ini) tidak untuk mati. Tapi untuk hidup!”.
Romantik nan heroik bukan?
Yogyakarta, 13 September 2009
Syahrizal Pahlevi, pegrafis
(artikel ini dimuat di Visual Arts edisi Juni 2010)
Sabtu, 03 Juli 2010
MAGNET MOKU HANGA
MAGNET MOKU HANGA /
8 MINGGU YANG MENGESANKAN
(Saya menulis ini dalam kabar salah seorang pembimbing workshop kami, sensei Masahiro Takade meninggal karena sakit pada 31 Desember 2009 yang lalu di Kobe, Japan. Selamat jalan sensei, kami akan selalu mengingat pelajaranmu!).
28 September sampai 20 November 2009 yang lalu saya bersama 5 seniman dari berbagai negara mengikuti Nagasawa Art Park Artist-in-Residence, Workshop Program for Japanese Woodblock Printmaking di Awaji City, Hyogo, Japan. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Nagasawa Art Park (NAP) Committe , sebuah lembaga non-profit yang telah menyelenggarakan program ini sejak tahun 1996 dan berlangsung setiap tahun secara kontinyu. Dalam catatan mereka tidak kurang dari 100 seniman dari 30 negara telah terlibat didalamnya. Saya sendiri adalah seniman Indonesia ketiga yang berpartisipasi dalam workshop ini. Dua seniman sebelumnya adalah Isa Perkasa (Bandung) di tahun 1997 dan Eddi Prabandono (Yogyakarta-Jepang) tahun 1998.
Disebabkan sesuatu hal, saya baru berangkat dari Indonesia tanggal 28 September dan tiba keesokan harinya di Bandara Kansai International. Dari bandara saya menumpang bis dengan perjalanan lebih kurang tiga jam menuju tempat perhentian bis Tsuna Ichinomiya di Pulau Awaji . Disana telah menunggu staff NAP Committee dengan mobilnya, Masahiro Kosaka (manager operasional) dan Nichi-san, sopir yang selanjutnya akan sering mengantar kami untuk berbagai keperluan selama menjalani program.
Tidak lebih dari 20 menit saya telah tiba di Umihira Residence di Awaji City (satu dari 4 kota yang ada di pulau Awaji), tempat dimana kami para peserta program menginap. Lokasi ini terletak di atas sebuah bukit (Umihara Hill) dan jalan kesana sangat menanjak. Saya disapa oleh seorang wanita cukup umur, kira-kira kepala enam atau lebih, yang kemudian saya ketahui sebagai Keiko-san. Ah…agak sedikit terkejut saya. Sepanjang kontak e-mail kami selama ini, saya membayangkan Keiko-san, atau nama lengkapnya Keiko Kadota sebagai perempuan muda yang energik dikarenakan posisinya sebagai Direktur Program NAP. Soal umur ternyata meleset dugaan saya karena ia tidak muda lagi, tapi tidak dalam penampilan dan pembawaan, Keiko-san tidak kalah dengan anak muda dan sangat energik.
Mengapa saya sampai kesana? Magnet apa yang menarik saya?
Jauh di tahun 1998 saya pernah mengirim lamaran ke NAPP (dulu bernama Nagasawa Art Park Project) Committee yang menyelenggarakan program Workshop Japanese Woodblock Printmaking. Namun keberuntungan belum dipihak saya karena proposal saya tidak diterima. Baru di tahun 2008 saya mengajukan lamaran lagi untuk mengikuti program ‘autumn workshop’ 2009 dan saya diterima. Saya merasa sangat beruntung karena mereka sangat ketat dalam menyaring peserta dan kesempatan ini mesti dijalani sebaik-baiknya.
Selama ini saya hanya mendengar dan mengakses informasi cetak dan digital seputar Japanese Woodblock Printmaking atau yang dikenal dunia sebagai Ukiyo-e (images of the floating world). Seni cetak grafis yang lahir pada zaman Edo (1603-1867) ini menggambarkan keindahan alam, kehidupan sehari-hari dan penggambaran tokoh-tokoh masyarakat Jepang pada waktu itu seperti para raja, pahlawan perang, samurai, pekerja seni termasuk geisha. Kehalusan dan detail gambar yang dihasilkan oleh teknik cetak karya seniman-seniman Ukiyo-e legendaris seperti Hokusai dan Hiroshige diakui Van Gogh telah mempengaruhi kerja artistik diawal karir kesenimannya.
Dalam pergaulan seni rupa internasional seni cetak ini kemudian popular dengan nama Moku Hanga (istilah wood print dalam bahasa Jepang, Moku=kayu, Hanga=cetak/grafis). Berbeda dengan teknik seni grafis asal Eropah ‘woodcut’ yang saya tekuni selama ini yang merupakan seni grafis ‘basis minyak’, Moku Hanga merupakan seni grafis ‘basis air’. Bila dalam teknik woodcut seniman menggunakan tinta cetak atau offset ink guna mencetak image dari papan cukilan atau cutting block, dalam teknik Moku Hanga seniman menggunakan cat air, gouache, tinta cair atau jenis pigmen semacamnya. Lalu ada pasta pengikat yang dicampurkan pada pigmen warna agar elastis dan tidak cepat mengering pada saat mencetak yang mereka sebut nori (rice paste). Selain itu dalam Moku Hanga dikenal juga istilah kento yang diakui banyak seniman adalah suatu cara register kertas yang sangat baik guna mencetak karya multi warna dengan tingkatan presisi tinggi. Juga ada bermacam sikat berbulu halus (maru-bake) untuk meratakan pigmen warna diatas permukaan papan pada saat pencetakan. Teknik ini tidak memerlukan peralatan berat atau alat press untuk mencetak gambarnya. Mereka cukup menggunakan baren, sebuah alat penggosok bagian belakang kertas yang dibuat khusus menggunakan daun bambu lebar pada permukaannya.
Bagi saya ini adalah pengalaman baru yang sama sekali saya belum pernah mencobanya. Kesempatan residensi di NAP ini merupakan momen yang saya tunggu-tunggu sebab saya berharap mendapatkan pengalaman langsung serta merasakan aura tradisi Moku Hanga yang mereka sebar-luaskan.
Saya bersama 5 seniman dari German (disainer grafis), Italia (pegrafis dan disainer interior), Irlandia (pelukis), Inggris (pegrafis dan seniman enamel) dan Amerika Serikat (perupa) ditempatkan di lantai atas residence dan masing-masing mendapat sebuah kamar berdampingan. Studio tempat dimana kami akan bekerja nantinya ada di lantai bawah. Residence hanya diisi oleh kami berenam dan karenanya panitia menginginkan agar kami berlaku layaknya sebuah keluarga. Kami harus mengurus sendiri segala keperluan dari menyiapkan makanan, menjaga kebersihan ruangan dan studio sampai membuang sampah ke tempat pembuangan sementara yang letaknya tidak jauh dari residence. Untuk sementara, residence menjadi ‘milik’ kami yang harus kami jaga dan rawat seperti merawat rumah sendiri. Workshop berlangsung selama 8 minggu dimulai jam 9 pagi sampai jam 5 sore dalam 5 hari setiap minggunya. Sabtu dan Minggu adalah hari libur, namun sewaktu-waktu panitia dapat membuat acara yang harus kami ikuti.
Schedule yang disusun oleh Committee NAP sangat memudahkan kami dalam menyerap dan mengikuti program workshop. Minggu pertama adalah masa pengenalan sejarah singkat dan pengetahuan umum teknik Moku Hanga. Sesi ini diberikan langsung oleh Keiko-san. Kami diperkenalkan dengan alat-alat yang biasa dipakai dan akan kami pergunakan nantinya selama workshop, seperti satu set pisau cukil kwalitas tinggi, pisau kento, cat air dan gouache, nori, maru-bake, bermacam kuas dan lain-lain. Bila seniman Moku Hanga professional menggunakan cherry block sebagai papan cukil karena terkenal baik kwalitasnya, dalam workshop kami akan menggunakan shina-beni plywood, jenis kayu lapis yang sangat halus kedua permukaannya, cukup lembut saat dicukil namun tidak mudah pecah, dan lebih murah tentunya. Untuk kertas panitia menyediakan kertas khusus untuk Moku Hanga dalam jumlah banyak dan membebaskan kami untuk mencetak sepuasnya.
Kami juga berkesempatan melihat dan menyentuh langsung koleksi cutting block (papan yang telah dicukil) dari karya-karya klasik Moku Hanga yang sudah berumur ratusan tahun namun masih terawat baik. Dan, tentu saja koleksi karya-karya klasik yang sangat memukau itu. Ada yang dalam bentuk lembaran seperti poster, kartu ucapan dan buku-buku teks maupun komik yang kesemuanya asli hasil cetakan manual!
Kemudian Keiko-san melakukan sedikit demo dan memberi pengarahan kepada kami untuk memastikan agar kami tidak terlalu asing dengan teknik yang akan kami pelajari dibawah bimbingan para master Moku Hanga di minggu-minggu selanjutnya..
Masih dalam rangka pengenalan program, disamping mengikuti beberapa acara penyambutan yang cukup meriah dengan panitia, masyarakat dan beberapa tokoh pemerintahan kota Awaji, dalam minggu pertama ini juga kami bersama panitia melakukan tour island mengunjungi tempat-tempat penting yang menjadi penanda dan andalan Pulau Awaji. Kami mengunjungi beberapa temple/kuil penting, museum earthquake (museum peringatan gempa besar Awaji 1995) yang sangat modern, rumah pembuatan wewangian aromatherapi yang mempertahankan cara kerja manual, tempat pembuatan sake, menonton pertunjukan wayang klasik Jepang dan beberapa tempat menarik lain. Kunjungan tersebut selain buat mengenal lebih dekat kondisi sosial dan budaya setempat bagi saya juga adalah prolog yang menghipnotis kami untuk masuk lebih dalam lagi dengan praktek Moku Hanga yang menjadi tujuan residensi.
Minggu kedua sampai minggu keempat adalah pengalaman berharga bersama penekun-penekun tradisi. Dalam tiga minggu ini, selama 3 hari setiap minggunya, kami belajar banyak dari para professional yang merupakan master dalam bidangnya masing-masing. Mereka melatih kami dengan sabar, ramah dan penuh kerendahan hati. Yang turut mengesankan karena mereka tidak hanya mentransfer ilmu, tapi mereka memberikan kenang-kenangan buat kami berenam berupa; karya Moku Hanga, kartupos, sekeping cherry block dan benda-benda unik lain yang kesemuanya membuat hubungan guru dan murid terasa intim. Indah sekali cara yang mereka lakukan!
Kami memanggil dengan sebutan sensei (guru). Mereka adalah sensei Masahiro Takade-pria ramah dan berpembawaan tenang, seorang seniman Moku Hanga yang aktif berkarya dan berpameran. Ia juga berpengalaman lama sebagai pengajar di sebuah akademi seni di Kobe. Lalu sensei Yusuke Sekioka-lelaki pendiam yang lebih banyak bekerja, seorang master carver/pencukil yang merupakan murid langsung dari Hanbei Oekura-generasi keempat dari Moku Hanga carver. Ia juga adalah pendiri Sekioka Horiyu Studio pada tahun 1983 di Tokyo. Kemudian ada sensei Toru Ueba, pria eksentrik yang master printer/pencetak sekaligus pemilik workshop ‘Banpudo’ di Kyoto yang telah mengerjakan pencetakan ulang ribuan karya klasik Moku Hanga dan banyak karya cetak seniman kontemporer. Ia sendiri banyak membuat karya cetak dan mengikuti pameran.
Selama tiga hari di minggu kedua tersebut, sensei Takade mengajar kami prinsip-prinsip dasar teknik Moku Hanga; mulai dari mempersiapkan disain/gambar, mempersiapkan woodblock/papan yang akan dicukil, memindai gambar keatas papan, membuat cutting block/cukilan, mempersiapkan kertas-melembabkannya dengan cara dan perhitungan tertentu, menyiapkan pigmen warna-meratakannya di atas papan, mencetak-menggosok belakang kertas, mengangkat kertas, mengeringkan hasil cetakan sampai memberi tanda pensil di setiap karya yang dianggap berhasil. Kesemua tahapan ini harus dilakukan berulang-ulang sampai kami dianggap cukup menguasai prinsip-prinsip teknik tersebut.
Di minggu ketiga, selama tiga hari pula sensei Sekioka memberi kami latihan bagaimana menggunakan pisau cukil secara benar dan efektif. Mengingat profesinya sebagai seorang carver professional -ditengah minimnya jumlah carver Moku Hanga di Jepang sendiri sebagaimana ia katakan- sensei Sekioka mengarahkan kami agar dapat mencukil papan secara efektif guna mencapai hasil yang maksimal. Pencukil dilatih agar dapat melakukan pekerjaannya dalam satu posisi menghadapi papan cukil tanpa perlu banyak memutar-mutar papan yang hanya akan menghambat pekerjaan. Dalam workshop ini saya mendapat pengetahuan bahwa pisau utama dan terpenting dalam Moku Hanga multi warna adalah pisau miring/hangi-to. Pisau ini sangat diandalkan untuk membuat garis secara tepat dan dibantu dengan pisau lain seperti pisau U/Maru-to dan pisau datar/Hira-to untuk membersihkan bekas cukilan. Seniman Moku Hanga jarang atau hampir tidak pernah menggunakan pisau V/Sankaku-to karena beresiko merusak garis yang dibuat. Sebaliknya dalam teknik woodcut yang saya kembangkan selama ini justru pisau pavorit dan paling banyak saya gunakan adalah pisau V. Saya hanya menggunakan pisau miring dan pisau lainnya untuk memperluas cukilan. Dalam workshop, guna menyesuaikan dengan tradisi Moku Hanga, saya mau tidak mau untuk sementara menyingkirkan pisau V-pisau pavorit-dari jangkauan saya dan berusaha familiar dengan pisau miring/hangi-to. Bukan hal mudah merubah kebiasaan namun saya terus mencoba hingga mulai menikmatinya.
Dalam seni grafis pemeliharaan alat ikut menentukan sukses tidaknya proses berkarya. Merawat pisau cukil adalah hal penting yang juga harus diperhatikan pencukil kayu dengan selalu mengontrol mata pisau agar terjaga ketajamannya. Pisau cukil perlu diasah karena akan tumpul setelah cukup lama dipergunakan. Sensei Sekioka melatih kami teknik yang benar dalam mengasah pisau. Tidak mudah melakukannya karena mesti berhati-hati dan penuh kesabaran agar tidak merusak mata pisau.
Lalu di minggu keempat, selama tiga hari pula Sensei Ueba menggenapkan pelajaran. Keahliannya adalah seluk beluk pencetakan Moku Hanga. Ia banyak memberikan kami alternatif, trik-trik dan siasat pencetakan mulai dari teknik pembasahan kertas/dampness paper, sizing paper/melapisi kertas dengan campuran air dan bahan kimia untuk memperkuat warna, menggunakan pigmen warna hingga teknik menggosok bagian belakang kertas dengan baren. Sensei Ueba sangat ahli dalam hal ini dan selalu berusaha membantu dari setiap problem pencetakan yang sering kami temui.
Minggu kelima hingga minggu kedelapan kami bekerja tanpa pembimbing. Ini adalah saatnya mempraktekkan hasil latihan bersama para sensei yang sangat berharga tersebut. Kami mendapat tugas membuat 3 karya individual dengan masing-masing dicetak lebih dari tiga edisi. Dalam Term of Condition program yang dikeluarkan oleh NAP Committe, kami berkewajiban memberikan 3 buah karya berbeda yang kami buat dengan masing-masing sejumlah 3 edisi sebagai koleksi mereka. Karya-karya tersebut akan dipamerkan pada maret 2010 di galeri NAP. Ternyata sisa waktu 4 minggu terakhir dirasakan kurang oleh sebagian dari kami para peserta program untuk menyelesaikan karya. Kegagalan demi kegagalan dalam mencetak harus kami hadapi. Maklum sebagian besar dari kami untuk pertama kalinya bekerja dengan teknik ini. Namun akhirnya kami berenam dapat menyelesaikan karya masing-masing tepat pada waktunya. Mendebarkan dan mengesankan.
Selain kesibukan membuat karya, banyak acara yang kami ikuti ditengah workshop seperti; mengunjungi pabrik kertas terkenal Awagami di Tokushima yang membuat kertas ukuran 2,5x5,5 meter secara manual, hallowen party bersama anak-anak, presentasi karya dan open studio bersama masyarakat sekitar residence, berkaraoke ria.
Salah satu tujuan program ini seperti yang dikatakan oleh Keiko-san dalam sayonara party menjelang berakhirnya workshop adalah bukan untuk menuntut peserta agar berkarya seperti seniman Moku Hanga. Tapi adalah tugas NAP Committee untuk mentransfer teknik kepada para seniman peserta guna lebih merangsang kerja kreatif mereka kedepan. Ini adalah magnet Moku Hanga!
9 Januari 2010
Syahrizal Pahlevi, Perupa.
Dimuat di Visual Arts magazine #36/april-mei 2010
=====================
MAGNET MOKU HANGA / Eight Impressive Weeks
(I wrote this article in memory of one of my tutors, Sensei Masahiro Takade, who died on December 09th, 2009 in Kobe, Japan. I will always remember him! “Goodbye, Sensei Takade, thank you for your dedication!”).
From September 28th until November 20th, 2009, six artists from different countries (including myself from Indonesia) participated in the Nagasawa Art Park, an artist-in-residence, workshop program for Japanese woodblock print-making in Awaji City, Hyogo, Japan.
This program was hosted by Nagasawa Art Park (NAP) Committee, a non-profit organization that has been providing this program since 1996. This organization hosted more than 100 artists from 30 countries worldwide. I was the third artist from Indonesia to participate in it. Prior to me were Isa Perkasa (an artist from Bandung) in 1997 and Eddi Prabandono (artist from Yogya-Japan) in 1998.
I left for Japan on September 28th, and arrived at Kansai International Airport. From there I took a bus which brought me to Tsuna Ichinomiya Terminal on Awaji Island. There were two NAP Staffs waiting for me in a car; Masahiro Kosaka (the Operating Manager), and Nichi-san (the driver) who were both responsible for our transportation during our program.
After only twenty minutes we reached Umihira Residence in Awaji City, the place where all the participating artists were staying. Awaji City is one of four cities in Awaji Island. It is located on the steep hillside of Umihara Hill.
A lady in her late sixties or more said hello to me. She was Keiko Kadota that we called as Keiko-san, a NAP Programs director. In fact she was the lady that had corresponded with me before I came to Japan. She was so energetic and dynamic, I was surprised. She was much more energetic than most people I know in that age group.
In 1998 I applied for the Residency Program to NAP (it used to be called Nagasawa Art Park Project), a committee which hosted Japanese a woodblock print making workshop. My application was rejected. In 2008 I applied for different program called Autumn Workshop 2009 and was accepted. I felt very lucky to be selected because I had to compete with many great talented artists from all over the world so I took this opportunity very seriously.
Previously the only information I had about Japanese woodblock print making was known as ‘Ukiyo-e,’ literally translated as “floating world.” Ukiyo-e is a genre of Japanese woodblock prints or woodcuts and paintings produced between the 17th and the 20th centuries, featuring motifs of landscapes, tales from history, the theatre, and pleasure quarters. It is the main artistic genre of woodblock printing in Japan. Print making started at the time of Edo Era in 1603-1867. It mostly pictured the beauty of nature, daily life, and important figures living at that time (kings, heroes, samurais, and art workers including Geishas. The fineness and details of the artwork created by legendary Ukiyo-e artists using this technique is very impressive and well-known. Even Van Gogh admitted that his painting technique was influenced by it.
‘Moku Hanga’ is an internationally-known, traditional, Japanese water-base woodcut technique. Moku Hanga Japanese wood print is totally different with European wood print—which I had been familiar with. European Wood print usually uses oil-based media. Moku Hanga uses water-based media. Regular wood print uses offset ink to produce the artwork. But Moku Hanga uses many medias such as watercolor, gouaches and other water-based colored pigments which are usually mixed with nori (rice paste), an elastic binder used to slow the drying process.
There is another technique called ‘Kento’ (Japanese Registration). This technique is very well known among artists. It is a simple device which the printer uses to insure registration of the picture throughout the printing process. It has been employed for several centuries and has proven it to be the best means for keeping tight registration. Two small projections are used to keep the block margins exact to ensure registration. A special brush called ‘maru-bake’ with fine bristles is used to apply colors to the wooden plate. This style of print making does not need a heavy-duty press to create the image. It only uses a ‘baren’ which is a light rubbing pad made of bamboo leaf. The baren is used in traditional Japanese woodcut printing. Its strong grain and tough surface allows the artist to apply pressure firmly and efficiently to the paper.
Six of us participated in the program: a German artist, Philip Rumph (graphic design), an Italian artist, Nicolo Barbagli (printmaking and interior design), an Irish artist, Ross mc Donnel (painting), a Great Britain artist, Laura Boswell (enamel art and print making), an American artist, Betsy Best Spadaroo (printmaking) and myself, an Indonesian artist (painting and print making). We stayed in two-story studio. We each had our own bedroom located upstairs. We used the downstairs as a shared studio. We shared this building like a family and treated each other like family members, sharing utilities and cooking food, cleaning dishes and keeping house together.
The workshop lasted for eight weeks, five days a week (Monday to Friday) from 09:00 am until 05:00 pm. Saturday and Sunday were free days, except when committee had important, non scheduled programs that they wanted us to participate in. The programs were very professional and scheduled very well so that it was very easy for us to participate.
The first week was a short history introduction and basic knowledge on Moku Hanga Technique. Keiko-san gave this brief introduction; including a tool introduction on what and how to use them. There were knife-tools i.e : special carving knife set, Kento knifes set, water color, gouache, nori, maru-bake (a hand-made professional printing brush made out of horse tail) and some other interesting brushes.
Most of Moku Hanga professional artists prefer to use cherrie block (wood from cherrie tree) because of the high quality. But for us in the workshop they provided shina-benie plywood. It is good quality and it doesn’t break easily and it is affordable so we could use a lot. It has a fine grain and is very easy to carve. The committee also provided us with several kinds of interesting print making paper to use for the printing workshop. They were also very generous with other art supplies to use.
We also had the opportunity to see old classical Moku Hanga cutting blocks. We were surprised that we were allowed to touch them with our hands! Those cutting blocks seemed very well-preserved. Besides cutting block collections, we also saw other impressive, ancient art collections such as posters, greeting cards, text books and comic books all which were hand-made (manually produced!).
In the first week, Keiko-san also gave us introduction demonstrations on Moku Hanga technique to make sure that we would start to get used to the Moku Hanga terminology when we would study under Moku Hanga masters in the following weeks. Besides all of these residence activities, the committee also invited some other communities in Awaji Island to give us a welcome ceremony. It was very interesting for us to see how hard they had worked on this program.
We also had a tour of the island to important places such as temples, a modern earthquake museum (to remember the big earthquake of 1995), a therapeutic therapy aroma house which still proudly uses manual labour, and a sake making house. We also saw a Japanese classical puppet show and some other interesting places. These visits were very important and enticed me to go further to study Moku Hanga which is the main reason to participate in this program.
We had the opportunity to go to a Paper Factory, a very famous Awagami Japanese Papers Factory in Tokushima, That company could produce 2.5 x 5.5 meter paper manually!
We had Halloween Party with children over there, made art presentation and open studio for people to come, plus, we had a Karaoke Party!
The send to the forth weeks were very valuable for all of us. We studied Japanese traditions. We studied three days a week under the guidance of Moku Hanga masters. They trained and taught us patiently and humbly in full dedication. They also gave all of us some of their art such as postcards, carved cherry blocks and other artwork as gifts. This kind of giving not only made us very touched but also made the teacher-student relationship very beautiful.
We had three Moku Hanga masters/teachers. Sensei Masahiro Takade is a friendly and quiet person, very productive and active in many exhibitions. He is also an experienced professor at an Art Academy in Kobe. Sensei Yusuke Sekioka is also a quiet man and who likes to create artwork. He is a Moku Hanga master and was a student of Hanbei Oekura, a forth-generation of Moku Hanga masters. He is also the founder of Sekioka Horiyu Studio in 1983 in Tokyo. Sensei Toru Ueba is an eccentric man and a master in printing. He owns a Banpudo Workshop, that has done a lot of printing business for Moku Hanga classic artwork and other contemporary artists’ artwork. He is also a very productive artist and active in many exhibitions.
Sensei Takade taught us the basic theory on Moku Hanga techniques, such as how to design and draw images, how to prepare the woodblock, how to transfer image from the paper to the cutting block, how to moisten the paper with correct precision, how to prepare pigments, how to level them on the cutting block, how to rub/burnish it on the back of the paper, how and when to lift the paper and to dry it and where to put pencil mark on the prints. We practised all those steps many times to make sure that we mastered them very well.
During the third week for three days Sensei Sekioka gave us lessons on how to use carving knives/chisels efficiently, so we wouldn’t have to keep rotating and spinning the cutting block often, which can slow down the process. Since now in Japan there are not so many Moku Hanga carvers, this concerns Sensei Sekioka. He is concerned how to produce more artwork with the very limited amount of Hanga cavers that Japan has. Finally he discovered very efficient tricks how to carve efficiently and can produce more artwork. He shared his tricks when he taught us. He showed us how to use ‘Hangi-to’ knife (the angle of the blade goes in the opposite direction) correctly. We used this knife to create very thin lines precisely. He also showed us how to use ‘Maru-to’ (a “U” gouge) and ‘Hira-to’ after we carve with Hangi-to knife we clean/smooth cuts on the block. Moku Hanga artists almost never use ‘Sankaku-to’ (a “V” gouge) because this type of knife can wreck the thin line on the block. This knife doesn’t like to go against the wood grains. This knife is for use on linoleum—where we can maneuver the knife more easily. That was totally the opposite that I was used to. In Indonesia the Sankaku-to (“V” gouge) knife/chisel is actually my favorite. I always use it. I use this knife for almost all of my cuts because I like the effect that it gives. I only used the ‘Hangi-to’ knife for certain purposes only, such as widening the lines.
During the workshop in Japan, I had to follow the Moku Hanga tradition not use the Sankaku-to knife. It was not an easy thing for me to do, since that knife was like my “magic” knife, but eventually I was able to get used to it and discovered the great benefits from not using it for a while. Sensei Sekioka also showed us how to sharpen our knives and chisels, because that is key to woodblock print making artwork. He also taught us to maintain them and pay attention to the blades and the sharpness of the knives. All of this will effect the result of the art.
During the fourth week for three days, Sensei Ueba taught us about the printing process used in Moku Hanga artwork. He showed us on how to dampen the paper, apply the sizing (the coating) and how to apply colors with brush. We also learned how to put nori on the wooden block correctly, how to burnish the back of paper and how to ‘Ken-to’.
Week five to week eight we worked independently without any guidance. This was an opportunity for us to practice and apply all the theory and lessons we had learned in the studio. We also improvised and tried some tricks some of the teachers had taught us.
We were instructed to make three projects. Everyone had a similar task to finish. Eventually these art projects would be part of the collection of NAP. The art will be exhibited at NAP’s Gallery after March 2010.
We made many mistakes and failures in the printing process because these task seemed insurmountable for us and of course it was very stressful with the short remaining time that we had in Japan, but we all made it and accomplished our goal. It was amazing!
It was an amazing experience for me to have this great opportunity to get involved with the residency program. It was the moment I had been waiting for to study the Moku Hanga traditions and other new things in Japan!
Keiko-san said that the purpose of that program, in the Sayonara Party, was not to make the participants become Moku Hanga Master, but it was the NAP’s responsibility to share the knowledge to the selected artists, so that it would maintain or stimulate people to get interested to study Moku Hanga Art in the future. This was the magnet of Moku Hanga for me!
January 9th, 2010
Syahrizal Pahlevi (painter and printmaker)
Translation by:
Toto Sugiarto and Laurie Sugiarto
Minneapolis, Minnesota USA
ILUSTRASI CERPEN TIDAK BERSALAH
Mengapa ilustrasi cerpen di Kompas Minggu dianggap mengganggu ke’khusukan’ pembaca teks cerpen itu sendiri? Sebegitu ‘perkasa’nyakah ilustrasi cerpen hingga sanggup ‘menyurutkan kekuatan gaib kata-kata’ yang sudah dibangun (tentunya) dengan sungguh-sungguh oleh para pengarang?
Pertanyaan diatas muncul dibenak sesaat setelah menyimak tulisan Wahyudin di Kompas Minggu, 3 Agustus 2008 yang lalu.
Salahkah ilustrasi-ilustrasi tersebut?
Saya juga termasuk penikmat Kompas Minggu yang berharap dapat selalu dikagetkan akan munculnya ilustrasi-ilustrasi cerpen yang ‘mengejutkan’, ‘segar’ dan ‘tidak biasa-biasa saja’ serta tidak membosankan sehingga tidak cukup alasan buat penikmat cerpen (plus ilustrasi) untuk berpikir bahwa ilustrasi-ilustrasi tersebut ‘bisa saja tidak usah dihiraukan’ keberadaannya.
Namun dalam hal ini, ilustrasi ‘yang segar dan tidak biasa-biasa saja’ bagi saya adalah yang ‘mengganggu’, terutama karena ‘keelokan’ tata rupanya. Tidak menjadi keharusan benar apakah ilustrasi itu mampu menjelaskan atau mengusung makna dari teks yang terkandung dalam cerpen tersebut. Yang saya harapkan adalah, ilustrasi setidaknya mampu mengimbangi tema yang diangkat oleh cerpen. Dia perlu bersaing menjadi sama menariknya dengan isi cerita pendek itu sendiri. Sehingga ketika bersanding dengan cerpen, lewat kekuatan tata rupanya, peran ilustrasi buat memikat pembaca tersampaikan. Pembaca betah membaca cerpen tersebut dan betah menatap ilustrasinya. Sebaliknya andai ilustrasi tersebut dilepaskan dari cerpen, dia juga mampu berdiri sendiri sebagai karya yang utuh (mungkin ini termasuk pandangan ‘khas perupa’).
Bukan rahasia umum bahwasanya ada dari kita justru tergoda membaca cerpen (atau buku) seringkali berawal dari ilustrasinya (atau covernya). Terkecuali kita memang mempunyai pengarang-pengarang pavorit atau tema-tema pavorit tertentu yang bisa saja membuat peran ilustrasi (atau cover buku) cenderung diabaikan begitu saja
====
Sejauh yang saya ikuti, Kompas termasuk sangat serius dalam menggarap ilustrasi-ilustrasi cerpennya - sehingga membuatnya berbeda dengan kebanyakan harian lainnya. Dulu kita kerap disuguhi ilustrasi-ilustrasi berkarakter khas yang digarap
bergantian: Hard -dengan gaya cenderung realistik dan GM Sudarta -yang banyak dipengaruhi
karikatur-karikaturnya. Kolom tersebut juga sempat beberapa waktu dikerjakan oleh LimBunCai (kalau tidak salah ingat). Kemudian cukup lama kita diasikkan oleh keliaran garis Ipong Purnama Sidhi. Lalu dalam kurun waktu yang cukup panjang pula kita khusuk menikmati seni gambar almarhum Semsar Siahaan. Setelah itu tampil beberapa nama yang saya tidak terlalu ingat.
Dan kini, sejak 2002, kita disuguhi variasi ilustrasi yang dibuat oleh banyak perupa Indonesia. Silih berganti, tiap minggu seorang perupa ditampilkan repro ‘karya khususnya’ dirubrik cerpen. Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus perupa yang terlibat-yang dipilih oleh ‘koordinator-koordinator perupa’ di wilayah; Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang dan Bali.
Seorang perupa bisa jadi hanya (baru) satu kali berkesempatan menggarap ilustrasi. Perupa lainnya ada yang telah mendapat kesempatan 2-3 kali bahkan lebih sering lagi. Sementara perupa-perupa yang belum bekesempatan mungkin menunggu atau sedang dijadwalkan, atau mungkin tidak akan pernah mendapat kesempatan karena berbagai kriteria yang telah menjadi kebijakan pengelola. Tentu saja akan ada pula perupa-perupa yang enggan dilibatkan dalam proyek ilustrasi ini dengan berbagai alasan masing-masing.
Dikalangan pemerhati, rubrik cerpen plus ini (plus ilustrasi oleh perupa) disejajarkan dengan galeri, karena termasuk unik, alternatif dan menggugah daya cipta (meminjam istilah Wahyudin).
Setiap tahun karya-karya asli perupa yang menjadi ilustrasi cerpen Kompas ditahun sebelumnya dipamerkan di galeri-galeri sesungguhnya, berkeliling di Jakarta, Yogyakarta dan di kota-kota lainnya.
Saya telah tiga kali mendapat kesempatan mengisi ilustrasi di ‘galeri’ ini. Merasa puas karena dapat bekerja maksimal di kesempatan pertama dan ketiga, tapi kurang puas karena tidak dapat maksimal dikesempatan kedua.
Barangkali saya termasuk dalam kategori- seperti disebut Wahyudin- ‘perupa langganan’ atau ‘perupa yang itu-itu saja’, karena telah 3 kali mengisi ‘galeri’ ini.
====
Saya tidak tahu persis kriteria apa saja yang menjadi rujukan pengelola ‘galeri’ dalam memilih seniman pengisi ilustrasi cerpen Kompas. Mungkin bisa bermacam-macam dan sangat bergantung kecenderungan selera artistik masing-masing 'koordinator’. Saya pernah menduga kemiripan setting cerita dari cerpen dengan budaya asal daerah seniman calon pengisi ilustrasi, bisa saja menjadi salah satu pertimbangan ‘koordinator’.
Pertama kali menerima ajakan membuat ilustrasi cerpen kompas tahun 2002, saya disodori cerpen Ratna Indraswari Ibrahim, ‘Perempuan di Jenjang Rumah’. Saya sempat bertanya-tanya mengapa ilustrasi untuk cerpen tersebut dipercayakan kepada saya?.
Apakah asal pilih seniman, yang berarti ‘gambling’, atau ada pertimbangan lain?
Kebetulan cerpen tersebut bersetting daerah perkampungan air di Kalimantan yang suasana dan kebiasaan penduduknya mirip-mirip dengan daerah asal saya Palembang, Sumatera Selatan. Jadi saya anggap saja pertimbangan tersebut kebetulan diterapkan kepada saya.
Ketika mengamati korelasi setting cerita cerpen-cerpen selanjutnya karya pengarang lain dan seniman-seniman pembuat ilustrasi lainpun, saya melihat sering ada kecocokan sebagaimana halnya kasus yang saya alami. Setting cerita Bali kerap ilustrasinya dibuat perupa asal Bali, setting cerita Sumatera Barat sering ilustrasinya dibuat perupa berdarah Minang, setting cerita Jawa atau budaya Jawa sering ilustrasinya dikerjakan perupa berdarah Jawa.
Pada kali kedua mendapat order inipun (2005) saya masih merasa pertimbangan korelasi setting cerita dengan daerah asal perupa masih diterapkan. Pada waktu itu saya mendapat cerpen Martin Aleida ‘Salawat untuk Pendakwah Kami’ yang bersetting cerita Melayu Muslim di Sumatera bagian utara. Ah, saya kira ‘koordinator’ (yang kebetulan sama) menduga Palembang cukup sarat dengan budaya melayu muslim pula.
Apakah ada faktor ‘pembisik’ dan ‘koncoisme’ dalam memilih calon penggarap ilustrasi sebagaimana disangkakan oleh tulisan Wahyudin,… Wallahualam. Saya kira hal ini dikembalikan pada otoritas pengelola ‘galeri’ ini sendiri.
Saya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan ‘koordinator’ di Bandung, Jakarta, Malang ataupun Bali. Tapi menurut saya ‘koordinator’ di Yogyakarta cukup memiliki otoritas yang dipujikan.
Pernah secara iseng di akhir tahun 2005 saya mengontak ‘koordinator’ agar diagendakan menggarap ilustrasi cerpen lagi. Ketika itu saya dalam tahap melanjutkan pengobatan guna memulihkan kesehatan saya yang banyak memakan biaya. Dalam pikiran saya waktu itu paling tidak honorariumnya bisa buat tambah-tambah keperluan membayar obat dan dokter.
Namun saya tidak kunjung mendapat garapan ilustrasi dan saya tidak pernah mengontak ‘koordinator’ lagi. Hal ini cukup menunjukkan faktor ‘koncoisme’ tidak berlaku. ’Koordinator’ saat itu lebih memikirkan kepentingan pembaca (penikmat) rubrik ini ketimbang kepentingan lain-lainnya. Suatu hal yang tentunya senantiasa kita harapkan pula.
Di tahun 2007 saya mendapat garapan ilustrasi lagi (kali ini lewat ‘koordinator’ berbeda) Cerpennya F Dewi Ria Utari, ‘SINAI’, dan tampaknya pertimbangan ‘koordinator’ ini kepada perupa agak berbeda kriterianya dengan kesempatan yang diberikan oleh ‘koordinator’ di tahun 2002 dan 2005. Ia tidak menghubungkan setting cerita dengan budaya asal daerah calon pembuat ilustrasi.
====
Bila mengingat ratusan ilustrasi cerpen yang dibuat para perupa (sejak tahun 2002) ,dari beragam karakter dan kecenderungan visual, tidak semua tampak ‘segar dan mengejutkan’ memang. Ada ilustrasi yang kelihatan dikerjakan sungguh-sungguh, tapi ada juga yang tampak dilakukan setengah hati- mungkin penggarapnya mengganggap ilustrasi adalah kerja yang ringan bobotnya dibanding ketika membuat karya utama. .Barangkali pula ini adalah resiko yang harus dihadapi pengelola, mengingat proyek ini menyimpan ‘sisi spekulasi’ (spekulasi dalam artian perupa yang setuju terlibat ternyata tidak mematuhi aturan main, seperti gagal memenuhi deadline ).
Namun jangan lupa; karena ini produk cetakan, adanya peran ‘tangan fotografer’ atau ‘media scanner’, ‘penata letak’ sampai ’kontrol sparasi warna di percetakan’ sedikit banyak berimbas pada kesan yang akan kita terima dalam menikmati ilustrasi. Bisa saja ilustrasi yang aslinya bagus sekali jadi ‘tidak terasa apa-apa’ ketika muncul di koran. Atau sebaliknya, ilustrasi yang biasa-biasa saja jadi meningkat kualitasnya setelah tercetak.
Lalu, mungkinkah Kompas ‘terlalu jauh’ dengan eksperimentasinya, sehingga membuat ‘jengah’ beberapa pembaca setianya? Kalau ini benar, berarti memang saatnya kini
‘menyegarkan diri’, sebagaimana apa yang disarankan dalam tulisan Wahyudin.
Namun betapapun ‘kurang-lebihnya’ pencapaian proyek ‘galeri’ ini, disektor apresiasi sastra pastilah ada hal yang meningkat. Setidaknya, sejumlah perupa yang malas membaca sastra tertulari ‘virus sastra’- hal yang diyakini para pengamat bakal berimbas baik buat penciptaan karya-karya mereka kedepan. Belum lagi terhitung berapa banyak peminat seni, pemilik galeri atau kolektor lukisan misalnya, yang jadi tertarik membaca cerpen- bila selama ini mereka enggan menyentuhnya.
Apa yang telah dicapai oleh Kompas, menurut saya ‘terlalu menarik’ dan ‘penuh kejutan’.
Koreksi dan kritik perlu ditindaklanjuti dengan menajamkan kriteria dan memperketat kontrol disana-sini. Harapannya ‘galeri’ ini tidak asal menampilkan seniman hanya dikarenakan kurangnya informasi data seniman atau mungkin karena terlalu memuja seorang seniman . Tapi juga tidak asal menjadi ‘parade’ atau ‘ ajang arisan’ seniman hanya karena ingin merespon kritik dan memenuhi selera pembaca tertentu pula. Pastinya pula Kompas akan memiliki alasan yang kuat ketika kali tertentu berkepentingan menampilkan ‘perupa langganan’ atau ‘perupa yang itu-itu saja’, karena hal seperti ini pantas-pantas saja…
====
Yogyakarta, 6 Agustus 2007
Syahrizal Pahlevi
Artikel ini dimuat di Kompas Minggu 31 Agustus 2007
Selasa, 22 Juni 2010
Jogja Meradang
(mengapa) JOGJA MERADANG ?
Sejak kemunculan artikel Wicaksono Adi “Yang Keren dan Terkendali” di Kompas Minggu, 11 Januari 2009 lalu yang isinya banyak memuat pernyataan memperbandingkan antara perupa-perupa Bandung dan perupa-perupa Yogyakarta, telah membuat iklim seni rupa di Yogyakarta “memanas”. Sebagian perupa merasa “terganggu” dengan pernyataan yang menyudutkan kubu Yogyakarta dalam artikel tersebut dan serta merta menolaknya. Sebagian lagi pilih tenang-tenang saja tanpa merasa terganggu atau malah hanya tertawa geli membaca artikel yang “panas” itu.
Perbincangan antar seniman menjadi ramai. Perupa menjadi kerap bersilaturahmi, saling berkunjung, mengakrabkan dan merapatkan diri. Media komunikasi seperti telpon, sms, email, facebook, blog marak membicarakan seputar artikel . Ruang-ruang perjumpaan fisik antar seniman seperti kafe, lesehan, warung angkringan, rumah dan studio perupa juga acara pembukaan pameran hangat diisi perbincangan bagaimana seharusnya sikap perupa menghadapi artikel tersebut. Keadaan menjadi semakin riuh saat Kompas Minggu tanggal 18 Januari 2009 menurunkan artikel Yuswantoro Adi yang terlihat bertugas menangkis pernyataan dalam artikel Wicaksono Adi sebelumnya. Yuswantoro Adi yang nampak gesit dan selalu menyertakan humornya yang khas berusaha mematahkan poin demi poin pernyataan Wicaksono Adi yang dirasanya tidak tepat. Perbincangan seru, meriah, kocak tapi juga serius dalam menanggapi 2 artikel tersebut terjadi di facebook, kolom komunitas “Kembali ke Gampingan” yang dikelola Tarsisius Wintoro, alumnus ISI Yogyakarta (disana siapapun yang terdaftar dalam komunitas tersebut (hanya untuk alumni ASRI/ISI ? –penulis) dapat menyampaikan komentar atau pendapatnya dengan bebas dengan bahasa yang bebas pula dan tidak boleh tersinggung atau dalam jargon mereka pokoke nesu mulih). Beberapa komentar menganggap Yuswantoro Adi terpancing dengan wacana Wicaksono Adi yang seharusnya tidak perlu ditanggapi sedemikian rupa. Sementara beberapa komentar lain bersetuju dengan tanggapan itu dan menganggap perupa Yogyakarta perlu melakukannya agar publik melihat duduk perkaranya dengan tepat.
Blog pribadi Wicaksono Adi http://adi-wicak.blogspot.com/ pun tidak luput dari kiriman komentar pengunjung yang menanggapi tulisannya. Mulai dari komentar kekesalan, mencemooh maupun yang sekedar mempertanyakan mengapa ia sampai menurunkan artikel yang “mengganggu” perupa Yogyakarta. Minggu selanjutnya Kompas absen memuat artikel mengenai soal tersebut. Baru pada 1 Januari 2009, Kompas Minggu menurunkan tulisan G Budi Subanar ( seniman Yogyakarta akrab menyapanya dengan sebutan Romo Banar), “Dari Kepurbaan Nasirun sampai Mimpi Samuel” yang isinya juga mengkaitkan bahasannya dengan dua artikel tersebut.
Mengapa Wicaksono Adi “tega” (menurut istilah beberapa perupa) membuat pernyataan yang dapat “melukai” perasaan teman-temannya? Tidakkah seyogyanya ia yang notabene jebolan kota yang sama dan sempat beberapa tahun belajar di ISI Yogyakarta bertugas memberi semangat dan tips-tips kepada perupa-perupa eks sekotanya dalam melangkah menuju persaingan ke depan dan bukan malah “menjatuhkannya”? Beberapa teman perupa merasa pernyataan dalam artikel tersebut cenderung kasar, tendensius dan berpotensi meruntuhkan “reputasi” serta mengusik “zona aman” sebagian perupa mapan karena menisbikan apa-apa yang telah dicapai mereka selama ini. Artikel Wicaksono Adi yang mengeneralisir semua perupa Yogyakarta tanpa memilah-milah mana nama atau kelompok yang ia maksud dan mana yang tidak termasuk dalam kategori pernyataannya memang bisa meletupkan tafsir miring. Seolah-olah perupa Yogyakarta itu bodoh semua, seolah-olah perupa Yogyakarta kurang bacaan semua. Begitulah kira-kira tanggapan dan isi hati sebagian teman yang merasa “terlukai” oleh artikel tersebut atau dalam istilah Romo Banar sebagai , “ pihak yang terkena goresan pisau analisis Adi Wicaksono”.
Saya sebenarnya enggan masuk ke perbincangan tersebut, selain karena tidak merasakan “terlukai” atau merasa “terkena goresan pisau analisis” juga masih menunggukan lanjutan artikel Wicaksono Adi sekiranya ia sungguh-sungguh dengan pernyataan-pernyataannya yang cukup kontroversial itu. Namun setelah membaca tulisan Romo Banar yang membawa kedua artikel tersebut kedalam ulasannya mengenai peristiwa “Seniku Tak Berhenti Lama”, sebuah gelar seni pergantian tahun 2008 oleh perupa Yogyakarta ( aksi berkarya baik perorangan dan kolaborasi dimulai sejak pukul 15.00 WIB sampai detik-detik pukul 00.00 WIB, tanggal 31 Desember 2008 bertempat di Taman Budaya Yogyakarta ) dengan berat hati akhirnya saya terpaksa memikirkan kembali sebagian pernyataan Wicaksono Adi mengenai pembacaannya atas perupa Yogyakarta. Dan saya tidak ingin berkomentar.atas sebagian lagi pernyataannya yang mengarah asal muasal, perilaku, gaya hidup sampai cara berpakaian perupa segala.
Sebagai bagian dari ratusan “penyaksi” yang menonton dan ikut terlibat secara emosional momen tutup tahun “Seniku Tak Berhenti Lama” tersebut, saya merasakan adanya “jarak” antara gelar acara pertama dengan rangkaian kegiatannya berupa pameran karya-karya yang dihasilkan pada tanggal 24-29 Januari 2009 di tempat yang sama dan tajuk yang sama pula. “Jarak” yang bukan semata dikarenakan adanya perbedaan waktu yang jauh pelaksanaan kedua kegiatan tersebut, 23 hari setelah momen pergantian tahun.
Menyaksikan pameran hasil karya yang dimaksudkan oleh panitia sebagai dokumentasi “rekam jejak” kegiatan sebelumnya, saya menilai panitia terlalu banyak melakukan “polesan” atas materi karya yang dipamerkan sehingga mengurangi “greget” kegiatan itu sendiri. Berkali-kali saya mengitari ruang pameran sekedar berusaha mendapatkan kembali “emosi, kenangan atau sisa-sisa cerita” yang saya rasakan ketika menghadiri “prosesi” gelar seni tersebut, saya tetap saja gagal. Tidak ditemukan jejak keriuhan, kekhusukan sekaligus gegap gempitanya aksi seniman sebagaimana digambarkan dengan positif oleh Romo Banar lewat catatan di brosur pameran “Di satu kanvas, tatkala masih sepi pengunjung, Djoko Pekik menorehkan kuasnya. Di ujung kanan, pesta rakyat dihadirkan dalam 4 figur perempuan dan 1 pria bertopeng. Di sebelahnya Suatmaji menggorekan tulisan Merahnya Merah, entah secara sadar merespon Djoko Pekik atau memang menghadirkan gagasannya sendiri untuk memberi sebutan beberapa figur yang digoreskan......dst. Di sebuah kanvas lain, Nasirun menghadirkan sosok binatang, entah lembu, banteng atau kerbau?.......dst. Dengan model yang dicari secara dadakan, beberapa pelukis Andre Tanama, Bambang Herras, Hari Budiono, Melodia, Yuswantoro Adi berkolaborasi mengerjakan lukisan seorang gadis cantik dalam posisi setengah tertidur. Bersamaan dengan kegiatan mereka, beberapa respon digoreskan. Akhirnya menjadi semacam ilustrasi sebuah bak truk, seorang gadis setengah tertidur dengan beragam tulisan Restu Ibu, Selalu on Time......dst” (Brosur Pameran Seni Rupa, SENiKU TAK BERHENTI LAMA !, Taman Budaya Yogyakarta, 24-29 Januari 2009).
Justru saya mendapati beberapa karya kolaborasi yang menjadi unggulan gelar seni tutup tahun tersebut telah berubah bentuk, tidak sebagaimana apa yang digambarkan oleh catatan Romo Banar di brosur pameran dan kesaksian siapapun yang hadir disana pada waktu itu. Karya-karya kolaborasi itu kini terlihat sangat terencana, rapih,bersih dan tertib visualnya jauh dari mengesankan hasil dari sebuah aksi seni yang, spontan, liar dan ekspresif. Tampaknya panitia sadar betul pentingnya mengemas pameran sekalipun harus meniadakan “jejak rekam peristiwa” karena emosi dan sisa-sisa cerita yang terhapus.
Ketika saya mencoba mengkonfirmasi soal tersebut, lewat seorang panitia saya mendapat penjelasan bahwa karya-karya kolaborasi itu memang mengalami pengerjaan ulang, dirubah dan dibuat agar “lebih selesai” untuk keperluan pameran. Panitia menilai karya-karya kolaborasi yang dibuat pada acara tersebut sebagai karya yang “tidak selesai/kacau bentuknya/tidak fokus apa ceritanya/tidak layak buat konsumsi pameran (dan dijual)” sehingga perlu ada pengerjaan kembali dengan menambah, menghapus dan mengganti visualnya sesuai yang dikehendaki oleh panitia. Pengerjaan dimulai tanggal 4 Januari sampai mendekati hari pameran, yang berarti 3 hari setelah momen tahun baru, yang berarti juga ketika suasana perayaan telah selesai.
Pantas saya tidak menemukan beberapa karya “penting” yang dapat dipakai untuk merujuk peristiwa pergantian tahun oleh perupa Yogyakarta tersebut. Tentu saja dalam kolaborasi tindakan merubah dan menghapus adalah hal yang sah. Namun, tetap saja terasa ada yang patut disayangkan karena aksi perupa yang menarik, akrab, bersahaja, eksperimental, demokratis, spontan, bermain-main, liar, rileks, inspiratif dan penuh kesegaran tersebut berbalik menjadi seolah kegiatan pameran biasanya, mapan, kehilangan semangat bermain, tidak spontan, terdikte, tidak rileks dan berkurang kesegaran ketika ditarik dalam sebuah pameran yang nampak mengusung beban tertentu.
Sejatinya pameran tersebut diniatkan panitia sebagai ajang penggalangan dana abadi seniman Yogyakarta guna menyantuni seniman-seniman yang membutuhkan: seperti seniman telah berusia lanjut, yang sedang sakit, yang bernasib kurang baik, mengalami bencana dan keadaan membutuhkan bantuan lainnya. Sebuah tujuan yang mulia (oya, kabar terakhir 4 karya kolaborasi unggulan tersebut telah terjual....Alhamdulillah). Ide pengumpulan karya perupa lewat kegiatan tersebut antara lain berawal dari keprihatinan sekelompok perupa atas nasib mendiang istri almarhum RJ Katamsi (Pendiri ASRI) yang kehidupan sampai ajal menjemputnya baru-baru ini nampak kurang mendapat perhatian dan bahkan kalangan perupapun tidak banyak yang mengetahuinya.
Barangkali untuk tujuan inilah dapat dimengerti sekaligus tetap mengundang pertanyaan mengapa panitia begitu peduli atas “mutu” karya-karya yang akan dipamerkan. Untuk rangkaian kegiatan yang inginnya “keluar dari kemapanan” itu lagi-lagi panitia-yang merupakan perupa-perupa Yogyakarta- kembali masuk dalam “kemapanan” itu sendiri. Dalam pengerjaan karya kolaborasi yang seharusnya sangat mungkin mengarah pada hasil tak terduga, panitia ternyata telah menentukan ukuran “selesai tidaknya” sebuah karya, “kacau tidaknya” bentuk karya, “fokus tidaknya” cerita dalam karya dan “layak-tidaknya” karya tersebut dipamerkan (dan dijual). Sebuah sikap mendua rasanya untuk aksi kolaborasi yang digelar di muka umum tersebut. Sebenarnya bila mau, panitia bisa saja membuat beberapa karya tambahan yang benar-benar baru dengan material baru pula buat kepentingan tersebut sehingga “sisa-sisa cerita” tidak hilang dan niat panitia menghadirkan karya “pantas pamer” dan “pantas jual” tercapai. Nyatanya panitia memilih mengganti kolaborasi Djoko Pekik dan Suatmaji menjadi karya yang dipercayakan digarap oleh Djoko Pekik saja (karena nama Suatmaji tidak menjual?) dalam sebuah kanvas. Di kanvas lainnya panitia memandang karya kolaborasi bersubyek perempuan setengah terlentang yang riuh, liar, penuh teks dan goresan-goresan spontan oleh peserta sebagai karya yang “tidak selesai/terlalu kacau bentuknya/tidak fokus cerita” hingga memutuskan menghapusnya dan menggantikannya dengan visual baru yang “lebih selesai, tertib bentuk, terfokus ceritanya dan layak pamer (juga layak jual)”. Atas adanya perubahan visual karya “penting” ini, data-data yang dimiliki oleh Romo Banar sebagai bahan ulasannya dalam brosur pameran menjadi kehilangan konteks hingga ia dalam kesempatan membuat artikel untuk harian ini terpaksa menambahkan keterangan dengan: “Dalam pengerjaan selanjutnya, Ong Hari Wahyu menyodorkan konsep (akhir) karya kolaborasi “Perempuan menanti fajar” hadir dalam seorang gadis setengah tertidur bermandikan mawar merah. Dengan latar kuning, gadis yang menyanding perahu-perahu kertas goresan Dyan Anggraini berubah menjadi “Perempuan menanti fajar” yang sangat romantis.....dst”.
Demikianlah potret (sebagian) perupa Yogyakarta. Penulisan hasil pembacaan atasnya memang tidak cukup dilakukan hanya dalam satu kali saja.
SYAHRIZAL PAHLEVI
Perupa, tinggal di Yogyakarta
(Dikirim ke Kompas,5 Januari 2009, TIDAK dimuat)
Awas, Komo Lewat!
(Pameran)
“AWAS, KOMO LEWAT !”
Judul diatas mengingatkan kita pada teks sebuah lagu anak-anak tahun 90-an yang cukup populer. Dikisahkan lalu-lintas berkendaraan di jalan menjadi macet setiap si Komo - boneka orang-orangan berwujud komodo - lewat, sebab semua perhatian pengendara tertuju padanya. Namun dalam tulisan ini Komo justru lewat untuk memecah “kemacetan”. Kemacetan karena banyak pameran seni rupa yang mulai membosankan.
Maka publik seni rupa harap awas!
Pameran Seni Rupa Surya Wirawan atau Komo (35 tahun) di Kedai Kebun Forum Yogyakarta yang berlangsung dari tanggal 5 sampai 31 Desember 2008 yang lalu terasa mengobati kepenatan dalam menonton pameran seni rupa.
Betapa tidak, ditengah gencarnya sodoran karya-karya perupa kita dalam berbagai pameran tahun-tahun belakangan ini yang seakan-akan berlomba membuat karya dalam ukuran serba besar (termasuk juga membuat tema yang seragam) TETAPI tidak sedikit yang “kedodoran” dalam penggarapannya, Surya Wirawan atau Komo-biasa ia dipanggil teman-temannya - justru konsisten dengan karya-karya ukuran mini atau karya kecil bermedium kertas ( dengan tema yang telah lama digelutinya, yaitu persoalan sosial-keseharian ) dan senantiasa terjaga kwalitas penggarapannya. Kecenderungan seperti ini memang telah melekat pada sosoknya sejak lama: Surya Wirawan atau Komo = tema sosial-keseharian= karya ukuran kecil = penggarapan yang detail.
Memasuki ruang pamer terasa ada kesejukan menatap display yang rapih, bersih dan dinamis penempatan karya-karyanya. Karya-karya yang umumnya bermedia kertas dalam ukuran kecil-kecil dikemas apik dalam frame-frame kaca warna natural dan pasporto yang rapih. Mata kita diajak terfokus di tiap-tiap karya dan kaki seakan dengan sukarela melangkah mendekatkan tubuh ini rapat ke fisik karya... menyerap persembahan teknik menggambar yang rinci dan aduhai...menelisik ke bagian-bagian yang kecil...sambil sesekali tertegun, terhenyak atau dibuat tersenyum kecut mengikuti plot-plot ceritanya.
Ada 50 frame karya dalam pameran ini yang dikerjakan dengan teknik beragam: 48 karya menggunakan kertas sebagai supportnya mulai dari teknik drawing pena (5 frame), cat air (12), tinta (1), cetak etsa (24) , cetak cukil kayu (6) dan 2 lukisan media cat akrilik di atas kanvas. Kesemua karya tersebut dibuat dalam ukuran rata-rata 20x30 cm, banyak yang lebih kecil lagi dan hanya satu-dua yang dibuat agak besar ( drawing tinta di atas kertas ukuran 63,5x96cm dan sebuah lukisan cat akrilik diatas kanvas, yang merupakan gabungan 2 panil karya masing-masing berukuran 80x70cm ). Kita dapat mengatakan karya-karya Komo dalam pameran ini tetap terkategorikan karya ukuran kecil atau mini.
Karya-karya tersebut dibuat dalam kurun tahun 2000 sampai yang terbaru tahun 2008 (drawing tinta bertarikh tahun 2000, drawing pena 2001, cukil kayu dan etsa 2002-2005, drawing cat air 2007-2008 serta lukisan cat akrilik 2006 dan 2008). Kita bisa mengikuti alur Komo, sejak dari karya bertema sosial kerakyatan ala Kelompok Taring Padi (Komo sempat lama menjadi salah satu anggota aktif) dengan ciri-ciri gambaran “tangan mengepal, alat alat perang, tentara, sosok petani dan teks-teks provokatif” hingga pergeseran tema karya-karya terakhir yang terasa lebih lembut dan lunak yang ia namakan topik “rasan-rasan tetangga” walau tetap saja sesekali muncul pesan-pesan atau celetukan “menohok” disana. Sepertinya pameran ini memang dipersiapkan untuk menunjukkan kecenderungan tema-tema dan pilihan media Komo yang bergeming ditengah terjangan arus seni rupa kita belakangan ini. Komo tetap saja mengangkat tema-tema sosial lewat tokoh-tokoh pinggiran/keseharian yang menjadi pavorit dan juga nampak seakan dijadikan komitmen kesenimannya - disamping petualangan teknik dan karya-karya mini tadi.
Kita diajak menikmati suguhan: Ada gambaran alam perkampungan dengan plang peringatan “NGEBUT SIKAT NDASE!” tertempel di sebuah pohon (“Rambu Terakhir”, etsa, 10x15 cm, 2004), ada gambaran penarik becak yang hanya bisa duduk di bangku warung makanan sementara becaknya dibiarkan kehujanan (“Sejak pagi hujan tak reda”, drawing pena, 18,5x27,5cm, 2001), ada gambaran sosok “Bos” dan aparat militer yang sedang bertransaksi jual beli senjata sementara di sisi atas dan bawah gambarnya ada teks menyolok “HENTIKAN! PERDAGANGAN SENJATA INTERNASIONAL” (“Kartu Pos”, cukil kayu, 10,5x15 cm, 2003), ada pula komik ala gambar umbul yang penuh warna dengan tokoh Petruk-Gareng dalam fragmen lucu-ngenes “Lampu”( cat air, 20x27cm, 2007), ada kisah tokoh-tokoh pilihan Komo seperti 3 seri etsa empatinya akan sosok penyair Wiji Thukul, etsa potret penyair eksil Agam Wispi, dan kisah kisah “pinggiran” lain.
Visualisasinya khas, mengingatkan kita pada gambar-gambar komik/ ilustrasi-ilustrasi lama dan digarap rinci sampai ke detail-detailnya. Tekniknya, baik drawing pena, cat air, cetak etsa ataupun cukil kayu tergarap rapih, detail, dan menunjukkan adanya minat yang sama kuat pada masing-masing teknik dari perupanya.
Perihal ini, komo mengatakan “Mencoba teknik merupakan hal yang seru untuk tetap dikerjakan” ( katalog Pameran Seni Rupa Surya Wirawan 2000-2008 ).
Ya, teknik memang menantang, dan sesungguhnya tidak sesederhana dibayangkan. Seniman perlu memiliki referensi atau pengetahuan memadai perihal teknik tersebut ketimbang sekedar mengikuti mood atau emosi apalagi kehendak pasar. Tidak banyak seniman yang berhasil baik dan mencapai kesenangan ketika berusaha mencoba-coba teknik.
Komo termasuk kategori yang tidak banyak itu. Dan keseriusannya mencoba teknik tampaknya masih akan berlanjut. Dalam kesempatan perbincangan, ia mengungkapkan keinginannya yang belum terpenuhi untuk membuat karya diatas media daun lontar.
“Suatu saat...”, katanya dengan senyum khasnya. Wah!
Kembali menilik kecenderungan Komo dengan karya-karya ukuran kecilnya,
tentu saja kita akan mengatakan bahwa soal besar kecilnya ukuran karya bukan hal pokok dalam seni rupa, karena yang lebih utama adalah sejauh mana ide-ide seniman mampu tertampung secara utuh dengan pilihan medianya. Ini berarti seniman perlu memiliki standar tertentu yang ditaatinya secara teguh-hati dalam setiap penggarapan karyanya. Apa yang secara teratur dilakukan Komo dengan pilihan membuat karya-karya dalam ukuran tertentu sejauh yang ia rasa kuasai dan dengan standar penggarapan yang terjaga, mengajarkan pada kita akan sebuah sikap berkesenian yang tidak latah-latahan, teguh, penuh kontrol, tidak grasa grusu, tidak kemrungsung, tenang tapi pasti.
Komo terasa sangat memegang kendali dan tahu benar kapan saatnya sebuah karyanya ia nyatakan selesai dan siap berpindah ke karya lainnya. Hal yang bertolak belakang dengan apa yang terjadi di banyak seniman kita saat ini. Banyak ditemukan karya-karya dikerjakan seadanya karena senimannya tidak sabar berpindah ke karya lainnya.....plus berbagai alasan pribadi jika kita nekad menanyakannya.
Jadi tidak berlebihan bila Neni, direktur Kedai Kebun Forum, dalam pengantar katalog menuliskan “....Surya Wirawan dengan kertasnya yang mungil adalah oase yang menyejukkan”.
Tentu bukan tidak ada kritik atas pameran ini. Sepertinya kehadiran 2 buah karya “Uang Palsu”, tinta diatas kertas, 63,5x96cm, 2000 dan “Pesakitan”, cat akrilik diatas kanvas, 80x70cm x 2 panel, 2008 - yang merupakan karya dengan ukuran terbesar dalam pameran tersebut - terasa mengganggu penikmatan dikarenakan kalah kualitas dibanding rata-rata karya lainnya. Tampaknya Komo sedang ingin bereksperimen teknik atau cara ungkap lain dalam kedua karya ini, namun pencapaiannya terasa belum maksimal.
Selain itu adanya banyak karya cetak etsa dan cukil kayu yang tidak menerakan nomor edisi rasanya perlu menjadi perhatian seniman. Jawaban seniman yang nampak sekenanya saat penulis menanyakan perihal tersebut dengan mengatakan, “Nggak tak tulis....males nulis nomor edisi...nggak tau juga nyetak berapa banyak” sepertinya bukan keputusan atau sikap yang patut dipertahankan saat membuat karya cetak grafis. Menurut penulis, media ini menuntut transparansi dan tanggung jawab penuh senimannya. Pencantuman nomor edisi penting untuk menandai dan melacak ada berapa cetakan sesungguhnya yang dianggap sah oleh seniman pembuatnya. Kepentingannya ketika karya tersebut hendak dikomunikasikan. Otentisitas dan umur karya dengan media ini dipertaruhkan oleh sikap seniman. Kalaupun ada saatnya perihal kontrol edisi tidak diperlukan atau karya sengaja dicetak massal, itupun perlu ada keterangan agar publik tidak dirugikan karena dapat menandai mana karya yang dicetak terbatas dan mana yang tidak. Mestinya detail-detail seperti ini tidak dianggap beban atau menjadi hal merepotkan bagi seniman.
Diluar itu semua, pameran ini memang mengesankan.
Selamat buat Komo dan juga Kedai Kebun Forum atas “mengiringi tutup tahun yang cantik” ini.
Yogyakarta, 29 Desember 2008
Syahrizal Pahlevi
Perupa tinggal di Yogyakarta
(dikirim ke Kompas dan Suara Merdeka, TIDAK dimuat)
Selasa, 15 Juni 2010
Publik Berhak Menolak Seniman
Publik Berhak Menolak Seniman
Sebenarnya dikalangan seniman sendiri sudah mulai banyak meragukan, apa pentingnya ‘public art’ ataupun seni rupa di ruang publik, bila kenyataannya ia menimbulkan masalah ditengah ruang yang ditempatinya. Masalah tersebut bisa berupa pengacuhan/penolakan/pemindahan/ sampai pembongkaran oleh pengguna-pengelola-pemilik ruang publik
Saya setuju dengan apa yang ditengarai oleh Suwarno Wisetrotomo dalam tulisannya di Kompas Minggu, 10 Januari 2010 yang menyinggung perihal pemindahan/pembongkaran beberapa karya Biennale Jogja X oleh aparat/masyarakat setempat sebagai akibat dari kurangnya komunikasi semua pihak.
Cuma tulisan itu tidak menjelaskan apa duduk persoalannya, atau memang tidak ada kesempatan penulisnya menginvestigasi ke berbagai pihak sehingga hanya mampu menduga-duga bahwa ada 3 hal yang mungkin terjadi yaitu; -adanya kesenjangan apresiasi masyarakat terhadap karya seni, -sikap sewenang-wenang aparat pemerintah terhadap karya seni dan -adanya sikap sewenang-wenang seniman yang mengagungkan kebebasan berekspresi.
Saya sendiri tidak mengetahui banyak insiden tersebut, namun sempat mendengar sas-sus bahwa sebagian masyarakat disekitar lokasi salah satu karya ditempatkan merasa terganggu/risih/tidak nyaman dengan bentuk visual karya tersebut. Entah mana yang benar. Namun dari banyak kritik yang muncul dalam pembicaraan/diskusi mengatakan hal senada yang intinya bahwa banyak karya ‘public art’ atau karya di areal publik dalam Biennale Jogja X ini memang cukup memberi peluang munculnya pertanyaan apa perlunya karya tersebut ditempatkan disana?
Biasanya, akibat sepotong-sepotongnya informasi yang kita terima namun terlanjur dipersepsi secara tertentu akan selamanya menjadi informasi yang tidak jelas..
Kebetulan saya memiliki pengalaman bersinggungan dengan peristiwa pembongkaran/penolakan karya di ruang publik yang dipersepsi sepihak oleh kalangan seniman dan pers ketika itu karena minimnya penggalian informasi.
Dalam peristiwa BINAL 92 atau BINAL Eksperimental Arts - 1992 (event tandingan Biennale Seni Lukis Yogyakarta III, 1992) yang didominasi karya-karya di ruang publik, ketika itu santer kabar termasuk pers memberitakan ada beberapa karya di Stasiun Tugu yang dibongkar paksa oleh pihak stasiun tanpa menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya. Fakta tersebut benar adanya, tapi karena diberitakan/dihembuskan sepotong tanpa penjelasan duduk perkaranya, opini yang terbentuk adalah telah terjadi perbuatan sewenang-wenang oleh pihak pengelola ruang publik terhadap seniman. Pihak panitia pada saat itu dianggap tidak berbuat apa-apa atau tidak membela kepentingan seniman.
Saya ingin coba meluruskan apa yang terlanjur dipersepsi sepihak oleh sebagian seniman dan pers waktu itu. Kebetulan pada saat itu saya menjadi peserta sekaligus koordinator seniman-seniman (mayoritas kami berstatus mahasiswa FSRD ISI Yogyakarta ketika itu) yang menggelar karya di kompleks Stasiun Tugu Yogyakarta dengan bingkai judul/kelompok “Kerja Seni Waktu Luang”. Agak mundur kebelakang, dalam negosiasi kami ke pihak stasiun yang ketika itu kepala stasiun dijabat oleh Bp. Afianto, disepakati bahwa wujud dan penempatan karya seniman tidak boleh membahayakan publik dan secara khusus karya TIDAK BOLEH digelar mendekati sekian meter dari rel kereta (apa lagi ditengah rel). Alasannya sangat jelas karena dikhawatirkan karya atau kerumunan orang yang melihat karya tersebut dari dekat dapat membahayakan kereta yang lewat. Pihak stasiun menyediakan halaman depan, lobby tiket dan ruang tunggu sebagai lahan penempatan karya dengan catatan pengaturan/display dilakukan tertib agar lalu lintas kepentingan publik disana tidak terganggu. Pihak stasiun mengharapkan seniman dapat mengatur sendiri dan menyesuaikan dirinya dengan kondisi yang ada disana. Kesepakatan telah tercapai antara panitia dengan pihak stasiun dan isi kesepakatan tersebut telah disampaikan ke seniman peserta. Namun kenyataannya dalam praktek tidak semua seniman memahami/menyetujui kesepakatan tersebut. Saya kurang tahu apakah komunikasi antara panitia dan seniman peserta yang kurang ataukah karena ada diantara seniman yang menuntut kebebasan lebih namun tanpa melakukan negosiasi terlebih dahulu. Artinya disini panitia kecolongan, dan pihak stasiunpun merasa kecolongan.
Ada sedikit rahasia dalam negosiasi; sebenarnya pembicaraan antara panitia dan pihak stasiun pada waktu itu tidak sampai menjurus ke detail karya. Kami sengaja (dengan sedikit nakal ingin membuat shock publik sebagai salah satu tujuan pameran tersebut) tidak membeberkan secara jelas rancangan karya karena khawatir akan kerepotan menjawab banyak pertanyaan dan terhambat mencapai kesepakatan. Ditambah di tahun itu situasi untuk menggelar karya di ruang publik bukanlah hal yang mulus-mulus saja sehingga kami dapat dianggap beruntung karena pihak stasiun cepat welcome dengan kehendak seniman. Ada keyataan lain pula pada waktu itu; kami dikejar waktu harus segera mendapat tempat untuk menggelar karya dan rata-rata seniman peserta tidak secara detail pula mengumpulkan rancangan karyanya ke panitia. Jadi proses negosiasi pada waktu itu lebih kepada akal-akalan, bersiasat, sedikit berbohong, nekad dan berdasar rasa saling percaya bahwa semua pihak akan saling menjaga dan menghargai. Bila saya tidak salah ingat ketika itu ada dua karya yang dibongkar/diminta dibongkar oleh pihak stasiun dan satu karya yang ditolak dan terpaksa dipindahkan ke tempat lain ke galeri Senisono. Jadi ada 3 karya; pertama “Baling-Baling Jaman” berupa instalasi kitiran-kitiran kertas yang ditancapkan dipinggir rel kereta karya Nurkholis/Kelompok Cling, kedua “Kebebasan Yang Dangkal” berupa objek layang-layang kertas yang (coba) dipasang di kabel listrik di halaman stasiun karya Yos Andriadi dan ketiga “Sampah Kemerdekaan dan Gambar Perlawananku” berupa drawing di atas bahan gedek bambu karya Athong Sapto Rahardjo yang dipajang di lobby tiket. Saya kira orang normal manapun akan paham bahwa penempatan karya-karya yang disebut pertama dan kedua beresiko sangat tinggi. Karya dipinggir rel akan mengundang kerumunan penonton yang beresiko tersambar kereta lewat. Sedang karya di kabel listrik beresiko terjadi korslet yang dapat membahayakan siapapun Dan pihak stasiun tidak ingin mengambil resiko tersebut. Mengenai karya ketiga saya akui ada kekhawatiran berlebihan termasuk sikap hati-hati /belum terbiasa dari pihak stasiun terhadap ‘gaya ilustrasi verbal’ yang dibuat oleh sang seniman. Sebenarnya dalam masa pameran beberapa karya lain juga sempat ‘ditawar ulang’ oleh pihak stasiun seperti sempat disembunyikan/digeser/dipindah tempatkan karena mereka memiliki pertimbangan sendiri. Namun semua dapat diselesaikan lewat komunikasi yang intens (bahkan mereka ‘ketagihan’ minta dibuatkan acara serupa dilain waktu-dimana beberapa diantara kami kemudian memang sempat melakukan ‘kegiatan kecil’ disana beberapa bulan setelah BINAL 92 selesai). Barangkali pers ketika itu, lewat judul-judul yang panas, sekedar ingin menyoroti aksi sepihak pembongkaran/penolakan yang tanpa sepengetahuan atau mungkin tidak bisa diterima oleh seniman peserta tanpa melebih-lebihkannya (insiden ini pula sepertinya -disamping pemicu-pemicu lain- yang telah menimbulkan gejolak diantara peserta dan ikut menyulut keinginan sebagian teman peserta untuk melakukan aksi boikot serta memaksa panitia mengeluarkan surat pernyataan bahwa kelompok Kerja Seni Waktu Luang/FSRD ISI keluar dari daftar acara BINAL 92 , lihat “Tiga Karya Urung Dipamerkan”, Bernas, 29 Juli 1992, “Pameran Binal Eksperimental Arts Ricuh, FSRD memisahkan diri”, Bernas , 30 Juli 1992 dan “Ditutup, Kerja Seni Waktu Luang”, Bernas, 31 Juli 1992). Agak kisruh situasi ketika itu karena simpang siurnya informasi. Namun disini kita bisa menilai, apakah seniman yang kelewat ingin bebas ataukah pengelola ruang publik tidak paham karya seni?
Ade Darmawan, direktur Ruang Rupa Jakarta dalam pernyataannya di sebuah diskusi rangkaian acara Biennale Jogja X mengajak agar seniman meninggalkan pikiran bahwa seluruh ruang publik yang ada di kota adalah galeri, tapi hendaknya mulai berpikir menciptakan ‘ruang publik baru’. Mungkin hal tersebut tidak segampang yang dikatakan dan masih dapat dipertanyakan kenapa pula ruang publik harus menjadi persoalan atau tujuan seniman. Tapi yang ingin dicatat disini bahwa pernyataan tersebut muncul dari kekecewaannya atas betapa karya-karya yang ditempatkan di ruang publik yang ia amati sesungguhnya banyak yang diragukan relevansi dan manfaatnya bagi pemilik ruang itu sendiri.
Sebagai harapan yang cukup menghibur ia merujuk pada praktek ‘seni mural’ yang ia anggap sebagai salah satu formula yang berhasil dari seniman dalam menciptakan ruang publik baru karena ada negosiasi dan keterlibatan masyarakat disana.
Terlepas itu sebagai pendapat pribadi, sepertinya kita tidak perlu terburu-buru mengamininya karena bukannya tidak ada pertanyaan terhadap gencarnya gerakan mural beberapa waktu ini. Pertanyaan itu selalu ada. Apa yang sesungguhnya ingin dicapai? Kepentingan publikkah atau masih saja kepentingan seniman?
Ketika gerakan Mural di Yogyakarta digalakkan oleh Apotik Komik dan beberapa seniman lain kita menyambut dan mendukungnya dengan harapan ada alternatif ruang bagi seniman (dan masyarakat) berekspresi dan ada alternatif ruang buat publik untuk sejenak terbebas dari serbuan iklan-iklan produk yang bertebaran dimana saja. Namun ketika energi itu berlebihan terasa ada yang mengusik karena dimana-mana kita temukan mural dan mural dan mural yang tidak semuanya sedap dipandang (apalagi dengan kebanyakan artistik yang seragam, berciri pop-komikal dan selalu penuh teks/slogan-slogan) sehingga rasanya kini jadi sulit membedakan mana yang ‘iklan’ mana ‘mural’. Sama saja, sama-sama membuat lelah menghadapinya.
Beberapa seniman telah mulai mengeluhkan hal ini. Alih-alih mendapat pencerahan dari gambar-gambar tersebut tapi justru kumuh, sesak dan sumpek yang muncul. Tidak ada atau jarang sekali kita temukan gambar-gambar kontemplatif semisal berupa hamparan bidang warna polos atau ‘hanya sepotong garis’ (meminjam kalimat Agus Suwage) yang dapat mewakili perasaan tertentu tanpa harus selalu menyertakan slogan-slogan menekan. Terkadang saya jadi pengen bertanya, apakah seluruh Yogya akan dimuralkan? Tidak butuhkah kita bidang-bidang kosong dan bersih yang dapat membuat mata dan pikiran ini sedikit lepas dari bebannya?
Negosiasi yang dilakukan Christo seperti dicontohkan oleh Suwarno Wisetrotomo masih dalam tulisannya di Kompas Minggu di awal artikel ini, sedikit banyak kiranya dapat membantu kita memikirkan kembali betapa pentingnya komunikasi dua arah atau berbagai arah yang intens agar ide seniman dapat terealisasikan dan pengelola-pemilik-pengguna ruang publik paham plus mendapatkan jaminan. Tentu contoh tersebut tidak bisa diharapkan tepat benar dihadapkan persoalan insiden yang mungkin kita sesalkan harus terjadi di BINAL 92 dan Biennale Jogja X kemarin. Christo dapat dengan sabar menunggu 24 tahun menuntaskan negosiasinya karena tidak dikejar waktu kapan harus mengeksekusi “Wrapped Reichstag” karyanya. Dalam kasus BINAL 92 dan Biennale Jogja X panitia dihadapkan pada tenggat waktu yang sudah dipatok dan diumumkan luas kapan perhelatan akan diresmikan dan seringkali pula konsep/rancangan baru diusulkan menjelang hari H. Sehingga semua seakan harus tergesa-gesa yang buntutnya kadang menjadi dipaksakan kehadirannya. Sementara proses komunikasi/negosiasi belum tuntas atau mungkin belum pernah terjadi.
Jadi, mungkinkah kita sebenarnya belum siap benar dengan apa yang kita gembar-gemborkan sebagai ‘public art’ atau seni rupa di ruang publik? Dapat dipahami kiranya apa yang disarankan oleh Aminudin TH Siregar juga dalam salah satu diskusi Biennale Jogja X bahwa, “seharusnya seniman pertama-tama memikirkan menempatkan karyanya di dalam galeri/ruangan terlebih dahulu (sebelum memutuskan menempatkannya di luar ruang/ruang publik)”. Ini karena ia melihat sering karya-karya di ruang publik (termasuk ‘public art’) tidak penting-penting amat ada disana.
‘Public art’ memang bukan perkara yang boleh dianggap mudah walau tentunya juga bukan hal yang salah.
Yogyakarta, 13 Januari 2010
Syahrizal Pahlevi,
perupa tinggal di Yogyakarta.
(dikirim ke Kompas dan Suara Merdeka, TIDAK dimuat)
=========================================================================
SENI GRAFIS, Mengulik Trienal
Tidak terasa sudah dua kali Bentara Budaya membuat perhelatan Trienal Seni Grafis Indonesia. Sejak akhir tahun lalu santer kabar Trienal ketiga-2009 akan kembali diadakan. Bagi kalangan peminat seni grafis, even ini cukup ditunggu tunggu. Kira-kira kriteria dan tema apa lagi yang akan digulirkan oleh penyelenggara kali ini?
Dari dua kali penyelenggaraan: “cukup meriah/banyak peserta/bagus dan seimbang mutu karya” di Trienal pertama dan “biasa-biasa saja/peserta menurun/kurang seimbang mutu karya” di Trienal kedua ( kesimpulan ini berdasar perbincangan penulis dengan Alia Swastika di pembukaan pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II, BBY 2006 lalu dan beberapa pendapat pemerhati lain), tentunya Trienal ketiga ini menjadi PR penyelenggara dalam mencari bentuk spesifik even yang dapat dipertahankan daya tariknya dari waktu ke waktu. Bukan pekerjaan mudah memang, namun juga bukan hal mustahil mengingat Seni Grafis bertumbuh di negeri ini sudah “sejak tahun 1946” (Aminudin TH Siregar, katalog pameran Grafis Hari Ini, BBJ 2008).
Melihat rentang tahun yang cukup panjang tersebut, logikanya seni grafis kita menjalani tahap perkembangan yang terus meningkat dalam segala aspek. Baik teknik, pencapaian tema, jumlah seniman, produksi karya, studio, pameran, workshop, kompetisi, newsletter, perbincangan grafis, bazar, print shop, peminat/konsumen karya dan apresiasi mass media.
Tapi tidak demikian adanya. Keberadaan seni ini masih perlu dukungan.
Aspek penggandaan
Entah bagaimana mulainya dan siapa yang menghembuskan pernyataan bahwa “kelemahan seni grafis untuk bersaing dengan bentuk seni rupa lainnya terletak pada adanya “aspek penggandaan” (yang merupakan konsekwensi logis dari penerapan teknik cetak yang memungkinkan karya grafis dibuat lebih dari satu edisi) ”.....karena itu seni grafis sulit diterima pasar yang lebih menyukai karya tunggal, dan...bla...bla... bla...”.
Lalu sekian pengamat sepertinya sepakat dengan menambahkan bahwa seni grafis tidak akan berkembang jika melulu berkutat pada konvensi yang ada selama ini. Maka mereka mendorong agar seniman mendobrak konvensi tersebut dan kemudian dicarikanlah perwujudannya - yang sebenarnya nampak dipaksakan guna mendukung wacana yang diinginkan. Karya-karya berbasis teknik seni grafis namun disajikan dalam kemasan mixed media, instalasi, objek, dan bentuk silang media lainnya -asal tidak bermain di wilayah seni grafis konvensional- dianggap telah berhasil membuat “kebaruan” sekalipun dengan catatan karya-karya yang dihasilkan terlihat lemah eksekusinya dimana hal ini terlihat dan diakui dari materi pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II yang lalu (lihat tulisan Bambang Bujono “Menembus Batas Kelaziman”, katalog pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II 2006, Bentara Budaya)
Apa akibatnya? Seni grafis konvensional tidak menarik dikalangan seniman dan peminat seni. Seniman yang akan berkarya di wilayah ini menjadi ragu-ragu, takut dianggap tidak kreatif atau malah dicap kuno. Sementara peminat seni kehilangan arahan dan kepercayaan dirinya dalam mengapresiasi karya-karya dalam kategori ini.
Wacana yang digulirkan terlalu menggiring publik untuk meninggalkan karya-karya yang berpijak pada konvensi ketat seni grafis hanya atas alasan adanya “aspek penggandaan”. Wacana bukannya menimbang “aspek penggandaan” sebagai keniscayaan sebuah karya grafis dikarenakan potensi berbagai teknik cetak itu sendiri ( tidakkah dorongan seniman membuat karya grafis biasanya justru karena karya ini dapat dicetak ganda/multiple art, selain karakter cetaknya yang khas?)
Dengan kata lain, wacana yang digulirkan tidak mendorong seni grafis kokoh berdiri di atas kakinya tetapi justru berpotensi memurukkannya. Jika seni grafis mencoba ketat dengan konvensinya maka ia selamanya akan dianggap tertinggal alias tidak berkembang.
Melihat kondisi ini rasanya bukan hal mengherankan mendapati Trienal Seni Grafis Indonesia II menurun peminatnya (berkurang 52 peserta dari 146 peserta di Trienal pertama menjadi hanya 93 peserta di Trienal kedua). Penyebabnya bukan karena aspek kondisi dimana kebetulan saat even tersebut dibuka Yogyakarta terkena gempa dahsyat sehingga pegrafis-pegrafis disana tidak sempat ikut serta, sebagaimana dilansir lewat tulisan panitia dalam katalog pameran saat itu. Toh tidak banyak pegrafis Bandung -yang juga gudangnya pegrafis- ikut serta.
Menurut penulis alasan utama mengapa even tersebut kurang diminati dikarenakan frame kuratorial yang tidak memberikan kebebasan pada seniman dalam membuat karyanya (atau justru begitu luas dan bebasnya hingga membuat kriteria karya menjadi tidak fokus?). Berbeda dengan kuratorial pada Trienal pertama, kuratorial Trienal kedua nampak terlalu bersemangat menggiring calon peserta untuk mendobrak konvensi seni grafis hal mana telah membuat enggan sebagian pegrafis mengikutinya. Mereka yang terbiasa bekerja dalam disiplin ketat seni grafis (dan mereka benar-benar menguasai serta bertanggung jawab atas pekerjaannya) sedari awal seakan sudah terpinggirkan. Bila mereka ngotot membuat karya sebagaimana kebiasaan mereka diperkirakan dewan juri tidak akan melirik. Sementara mendobrak konvensi belum menjadi kebutuhan/belum terpikirkan karena apa yang mereka lakukan selama ini justru lebih terlihat sebagai “upaya tiada henti memaksimalkan apa yang disediakan oleh konvensi tersebut”.
Kenyataannya ada yang terasa kurang karena even Trienal kedua terpaksa tidak bisa menampilkan kekayaan teknik grafis yang ditekuni pegrafis kita. Tidak ada teknik mezzotint (teknik cetak dalam dimana acuan cetaknya dibuat dengan proses disain negatif/gambar dimulai dari gelap ke terang) padahal ada penekun mezzotint di Bandung. Tidak ada drypoint (teknik cetak dalam, disebut juga teknik kering dimana acuan cetak dibuat dengan menorehkan benda runcing ke atas plat) yang bagus padahal ada seniman yang gemilang dengan teknik ini. Tidak ada silk screen atau teknik cetak saring/sablon yang artistik padahal kita punya banyak ahlinya. Tidak ada etsa (teknik cetak dalam dimana acuan cetak dibuat dengan proses pengasaman) yang kaya gradasi padahal ada pegrafis yang mengeksplorasi penemuan kecilnya. Sebagian besar karya yang terseleksi ketika itu terasa benar dibuat guna mengusung semangat kuratorial, yaitu perwujudan karya-karya olah “silang media dan teknik” yang sebenarnya tidak cukup menampakkan hasil dari “usaha yang perlu benar” oleh senimannya.
Teknik konvensional
Tentunya segala upaya memajukan seni grafis perlu disambut gembira. Termasuk apa yang telah dilakukan penyelenggara Trienal kedua, 2006 yang lalu. Hanya saja kok jadinya semua seakan terburu-buru. Banyak karya yang justru membuat even tersebut terperosok menjadi aktifitas biasa-biasa saja. Padahal karya-karya pemenang begitu menarik. Sayang khan?
Yang lebih disayangkan adalah bila niat peserta menerobos batasan konvensi tersebut hanyalah reaksi atas wacana yang digulirkan penyelenggara, bisa jadi karya-karya yang dihasilkan kehilangan pijakan dan cenderung bersifat sesaat. Terobosan yang dilakukan diramalkan tidak sampai berlanjut dalam karya-karya mereka diluar acara/kepentingan tersebut. Mereka akan tetap saja konvensional sehari-harinya.
Lain halnya bila niat mendobrak konvensi tersebut didorong atas kebutuhan dari dalam diri seniman: mungkin karena ia telah suntuk dengan teknik tertentu / mungkin ia terlampau trampil dengan suatu teknik atau media hingga butuh tantangan lain dalam membuat karya / mungkin benar ada gagasan yang memerlukan “perluasan media” atau alasan-alasan esensial lainnya. Karya-karya jenis ini niscaya akan lebih bertahan lama karena bertolak dari kesadaran penuh dan didukung konsep yang kuat.
Jadi benarkah konvensi seni grafis wajib diterabas oleh setiap pegrafis?
Tidak adakah peluang berkembang di wilayah konvensi tersebut sehingga kita seolah harus segera keluar dari “kungkungannya” yang membelenggu? Ah,....jangan-jangan sebenarnya kita hanya sedang tidak sabaran dan mencari-cari cara singkat untuk sekedar membuktikan bahwa frame konvensi itu sudah tidak layak lagi?
Padahal sebenarnya jika kita mau menengok kenyataan yang terjadi di lapangan mungkin hasilnya bisa menjadi luar biasa. Eksplorasi pegrafis terhadap teknik-teknik konvensional sesungguhnya masih tetap terbuka, dan mungkin tidak pernah habisnya. Pegrafis perlu diberi dorongan dan kepercayaan bahwa masih banyak yang bisa dilakukan dengan melulu cukil kayu misalnya, melulu etsa atau drypoint, melulu silk screen dan seterusnya.
Lagi pula keadaan tidak seburuk yang dicemaskan pengamat-pengamat tersebut. Bila ditelisik, bukan tidak ada terobosan kreatif sekalipun kecil yang dilakukan pegrafis kita ditengah dinamika perkembangan media seni rupa lainnya..
Dewasa ini karya grafis dari beberapa teknik tertentu banyak “dicoba” dan cukup berhasil dicetak di atas kanvas karena beberapa kebutuhan: membuat karya dalam ukuran besar (yang agak sulit dipenuhi oleh media kertas karena ukurannya biasanya terbatas) / agar praktis penyajiannya (tidak memerlukan frame kaca selayaknya tampilan karya medium kertas) / lebih awet dan mudah perawatannya (sebetulnya hal ini relatif sifatnya karena media kanvas tidak serta merta menolak jamur datang dan anti sobek) / sampai agar dapat bersaing dengan seni lukis (karena kebanyakan lukisan dibuat diatas kanvas?).
Terobosan lainnya (walau bukan hal baru) beberapa seniman mengkreasi kembali edisi-edisi cetakannya dengan sentuhan tangan langsung (hand touching/hand coloring) untuk kebutuhan: karena muncul ide baru atas karya tersebut / tidak puas dengan hasil cetaknya / agar menonjol aspek sentuhan langsung sebagaimana sebuah lukisan / keinginan membuat masing-masing edisi terlihat berbeda sehingga publik teryakinkan bahwa karya tersebut dapat dianggap karya tunggal sejajar dengan lukisan -suatu term yang lebih popular dan mereka mengerti. Ini sekedar contoh praktek yang marak terjadi.
Sedang praktek lebih jauh yang juga banyak dilakukan pegrafis belakangan ini adalah “perluasan seni grafis”. Dalam hal ini teknik cetak diperlakukan bukan lagi sebagai elemen utama pembentuk karya, ia bisa jadi sekedar sampiran atau pelengkap tampilan visual yang keberadaannya kurang dari 50% dari keseluruhan elemen karya.
Penjurian
Seperti diketahui dalam seni grafis aspek teknik sangat menentukan dalam mengeksekusi sebuah karya. Berbeda pilihan teknik akan berbeda pula hasil cetaknya. Berhasil tidaknya sebuah cetakan yang diinginkan seniman bergantung pada tertib tidaknya ia dengan tahapan-tahapan teknik cetak itu sendiri.
Menimbang kenyataan tersebut, peranan teknik ini sepantasnya menjadi hal mutlak yang tidak perlu ditawar lagi dalam memilih karya peserta sekelas Trienal Seni Grafis. Sistim penjurian yang diterapkan hendaklah memberi peluang besar adanya “kontrol teknik” yang ketat atas karya yang dipilih, yang tidak mungkin tercapai hanya lewat pengamatan foto yang dikirimkan peserta. Model penjurian di dua Trienal Seni Grafis Indonesia yang terlalu lunak selama ini (hanya berdasarkan seleksi foto karya untuk menjaring finalis) ternyata beresiko menampilkan karya-karya yang sebenarnya tidak layak pamer namun harus tetap diikut sertakan karena telah lolos seleksi. Di beberapa kompetisi grafis internasional biasanya menerapkan 2 tahap seleksi: Setelah penyeleksian lewat foto, ada seleksi lagi berdasarkan karya asli untuk mencari finalis atau peserta layak pameran dan barulah setelah itu ditentukan karya pemenang. Memang konsekwensi penjurian seperti ini menyebabkan bertambahnya “bea pengeluaran” panitia karena akan ada karya yang dikembalikan ke peserta sekalipun karya itu telah lolos seleksi foto (Malah di beberapa even penjaringan peserta hanya berdasarkan kiriman karya langsung, tanpa melalui seleksi foto, yang menunjukkan betapa pentingnya pengamatan atas kualitas teknik sebuah karya cetak grafis). Dengan model penjurian yang baru ini kualitas pameran karya-karya finalis lebih terasa wibawanya sehingga kedepan diharapkan tidak ada lagi keluhan penonton yang terganggu karena beberapa karya peserta nampak belepotan /kotor/tidak presisi cetakannya.
Akhirnya,.....rasanya masih tetap relevan setiap berbicara seni grafis kita juga membicarakan: “bagaimana meresapnya tinta di atas materi yang menjadi landasan cetaknya ( baik itu kertas, kanvas atau materi-materi lain yang dicobakan seniman )”.
Yogyakarta, 8 Maret 2009
Syahrizal Pahlevi
Perupa, peminat grafis
(dikirim ke Kompas, TIDAK dimuat)
Sebenarnya dikalangan seniman sendiri sudah mulai banyak meragukan, apa pentingnya ‘public art’ ataupun seni rupa di ruang publik, bila kenyataannya ia menimbulkan masalah ditengah ruang yang ditempatinya. Masalah tersebut bisa berupa pengacuhan/penolakan/pemindahan/ sampai pembongkaran oleh pengguna-pengelola-pemilik ruang publik
Saya setuju dengan apa yang ditengarai oleh Suwarno Wisetrotomo dalam tulisannya di Kompas Minggu, 10 Januari 2010 yang menyinggung perihal pemindahan/pembongkaran beberapa karya Biennale Jogja X oleh aparat/masyarakat setempat sebagai akibat dari kurangnya komunikasi semua pihak.
Cuma tulisan itu tidak menjelaskan apa duduk persoalannya, atau memang tidak ada kesempatan penulisnya menginvestigasi ke berbagai pihak sehingga hanya mampu menduga-duga bahwa ada 3 hal yang mungkin terjadi yaitu; -adanya kesenjangan apresiasi masyarakat terhadap karya seni, -sikap sewenang-wenang aparat pemerintah terhadap karya seni dan -adanya sikap sewenang-wenang seniman yang mengagungkan kebebasan berekspresi.
Saya sendiri tidak mengetahui banyak insiden tersebut, namun sempat mendengar sas-sus bahwa sebagian masyarakat disekitar lokasi salah satu karya ditempatkan merasa terganggu/risih/tidak nyaman dengan bentuk visual karya tersebut. Entah mana yang benar. Namun dari banyak kritik yang muncul dalam pembicaraan/diskusi mengatakan hal senada yang intinya bahwa banyak karya ‘public art’ atau karya di areal publik dalam Biennale Jogja X ini memang cukup memberi peluang munculnya pertanyaan apa perlunya karya tersebut ditempatkan disana?
Biasanya, akibat sepotong-sepotongnya informasi yang kita terima namun terlanjur dipersepsi secara tertentu akan selamanya menjadi informasi yang tidak jelas..
Kebetulan saya memiliki pengalaman bersinggungan dengan peristiwa pembongkaran/penolakan karya di ruang publik yang dipersepsi sepihak oleh kalangan seniman dan pers ketika itu karena minimnya penggalian informasi.
Dalam peristiwa BINAL 92 atau BINAL Eksperimental Arts - 1992 (event tandingan Biennale Seni Lukis Yogyakarta III, 1992) yang didominasi karya-karya di ruang publik, ketika itu santer kabar termasuk pers memberitakan ada beberapa karya di Stasiun Tugu yang dibongkar paksa oleh pihak stasiun tanpa menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya. Fakta tersebut benar adanya, tapi karena diberitakan/dihembuskan sepotong tanpa penjelasan duduk perkaranya, opini yang terbentuk adalah telah terjadi perbuatan sewenang-wenang oleh pihak pengelola ruang publik terhadap seniman. Pihak panitia pada saat itu dianggap tidak berbuat apa-apa atau tidak membela kepentingan seniman.
Saya ingin coba meluruskan apa yang terlanjur dipersepsi sepihak oleh sebagian seniman dan pers waktu itu. Kebetulan pada saat itu saya menjadi peserta sekaligus koordinator seniman-seniman (mayoritas kami berstatus mahasiswa FSRD ISI Yogyakarta ketika itu) yang menggelar karya di kompleks Stasiun Tugu Yogyakarta dengan bingkai judul/kelompok “Kerja Seni Waktu Luang”. Agak mundur kebelakang, dalam negosiasi kami ke pihak stasiun yang ketika itu kepala stasiun dijabat oleh Bp. Afianto, disepakati bahwa wujud dan penempatan karya seniman tidak boleh membahayakan publik dan secara khusus karya TIDAK BOLEH digelar mendekati sekian meter dari rel kereta (apa lagi ditengah rel). Alasannya sangat jelas karena dikhawatirkan karya atau kerumunan orang yang melihat karya tersebut dari dekat dapat membahayakan kereta yang lewat. Pihak stasiun menyediakan halaman depan, lobby tiket dan ruang tunggu sebagai lahan penempatan karya dengan catatan pengaturan/display dilakukan tertib agar lalu lintas kepentingan publik disana tidak terganggu. Pihak stasiun mengharapkan seniman dapat mengatur sendiri dan menyesuaikan dirinya dengan kondisi yang ada disana. Kesepakatan telah tercapai antara panitia dengan pihak stasiun dan isi kesepakatan tersebut telah disampaikan ke seniman peserta. Namun kenyataannya dalam praktek tidak semua seniman memahami/menyetujui kesepakatan tersebut. Saya kurang tahu apakah komunikasi antara panitia dan seniman peserta yang kurang ataukah karena ada diantara seniman yang menuntut kebebasan lebih namun tanpa melakukan negosiasi terlebih dahulu. Artinya disini panitia kecolongan, dan pihak stasiunpun merasa kecolongan.
Ada sedikit rahasia dalam negosiasi; sebenarnya pembicaraan antara panitia dan pihak stasiun pada waktu itu tidak sampai menjurus ke detail karya. Kami sengaja (dengan sedikit nakal ingin membuat shock publik sebagai salah satu tujuan pameran tersebut) tidak membeberkan secara jelas rancangan karya karena khawatir akan kerepotan menjawab banyak pertanyaan dan terhambat mencapai kesepakatan. Ditambah di tahun itu situasi untuk menggelar karya di ruang publik bukanlah hal yang mulus-mulus saja sehingga kami dapat dianggap beruntung karena pihak stasiun cepat welcome dengan kehendak seniman. Ada keyataan lain pula pada waktu itu; kami dikejar waktu harus segera mendapat tempat untuk menggelar karya dan rata-rata seniman peserta tidak secara detail pula mengumpulkan rancangan karyanya ke panitia. Jadi proses negosiasi pada waktu itu lebih kepada akal-akalan, bersiasat, sedikit berbohong, nekad dan berdasar rasa saling percaya bahwa semua pihak akan saling menjaga dan menghargai. Bila saya tidak salah ingat ketika itu ada dua karya yang dibongkar/diminta dibongkar oleh pihak stasiun dan satu karya yang ditolak dan terpaksa dipindahkan ke tempat lain ke galeri Senisono. Jadi ada 3 karya; pertama “Baling-Baling Jaman” berupa instalasi kitiran-kitiran kertas yang ditancapkan dipinggir rel kereta karya Nurkholis/Kelompok Cling, kedua “Kebebasan Yang Dangkal” berupa objek layang-layang kertas yang (coba) dipasang di kabel listrik di halaman stasiun karya Yos Andriadi dan ketiga “Sampah Kemerdekaan dan Gambar Perlawananku” berupa drawing di atas bahan gedek bambu karya Athong Sapto Rahardjo yang dipajang di lobby tiket. Saya kira orang normal manapun akan paham bahwa penempatan karya-karya yang disebut pertama dan kedua beresiko sangat tinggi. Karya dipinggir rel akan mengundang kerumunan penonton yang beresiko tersambar kereta lewat. Sedang karya di kabel listrik beresiko terjadi korslet yang dapat membahayakan siapapun Dan pihak stasiun tidak ingin mengambil resiko tersebut. Mengenai karya ketiga saya akui ada kekhawatiran berlebihan termasuk sikap hati-hati /belum terbiasa dari pihak stasiun terhadap ‘gaya ilustrasi verbal’ yang dibuat oleh sang seniman. Sebenarnya dalam masa pameran beberapa karya lain juga sempat ‘ditawar ulang’ oleh pihak stasiun seperti sempat disembunyikan/digeser/dipindah tempatkan karena mereka memiliki pertimbangan sendiri. Namun semua dapat diselesaikan lewat komunikasi yang intens (bahkan mereka ‘ketagihan’ minta dibuatkan acara serupa dilain waktu-dimana beberapa diantara kami kemudian memang sempat melakukan ‘kegiatan kecil’ disana beberapa bulan setelah BINAL 92 selesai). Barangkali pers ketika itu, lewat judul-judul yang panas, sekedar ingin menyoroti aksi sepihak pembongkaran/penolakan yang tanpa sepengetahuan atau mungkin tidak bisa diterima oleh seniman peserta tanpa melebih-lebihkannya (insiden ini pula sepertinya -disamping pemicu-pemicu lain- yang telah menimbulkan gejolak diantara peserta dan ikut menyulut keinginan sebagian teman peserta untuk melakukan aksi boikot serta memaksa panitia mengeluarkan surat pernyataan bahwa kelompok Kerja Seni Waktu Luang/FSRD ISI keluar dari daftar acara BINAL 92 , lihat “Tiga Karya Urung Dipamerkan”, Bernas, 29 Juli 1992, “Pameran Binal Eksperimental Arts Ricuh, FSRD memisahkan diri”, Bernas , 30 Juli 1992 dan “Ditutup, Kerja Seni Waktu Luang”, Bernas, 31 Juli 1992). Agak kisruh situasi ketika itu karena simpang siurnya informasi. Namun disini kita bisa menilai, apakah seniman yang kelewat ingin bebas ataukah pengelola ruang publik tidak paham karya seni?
Ade Darmawan, direktur Ruang Rupa Jakarta dalam pernyataannya di sebuah diskusi rangkaian acara Biennale Jogja X mengajak agar seniman meninggalkan pikiran bahwa seluruh ruang publik yang ada di kota adalah galeri, tapi hendaknya mulai berpikir menciptakan ‘ruang publik baru’. Mungkin hal tersebut tidak segampang yang dikatakan dan masih dapat dipertanyakan kenapa pula ruang publik harus menjadi persoalan atau tujuan seniman. Tapi yang ingin dicatat disini bahwa pernyataan tersebut muncul dari kekecewaannya atas betapa karya-karya yang ditempatkan di ruang publik yang ia amati sesungguhnya banyak yang diragukan relevansi dan manfaatnya bagi pemilik ruang itu sendiri.
Sebagai harapan yang cukup menghibur ia merujuk pada praktek ‘seni mural’ yang ia anggap sebagai salah satu formula yang berhasil dari seniman dalam menciptakan ruang publik baru karena ada negosiasi dan keterlibatan masyarakat disana.
Terlepas itu sebagai pendapat pribadi, sepertinya kita tidak perlu terburu-buru mengamininya karena bukannya tidak ada pertanyaan terhadap gencarnya gerakan mural beberapa waktu ini. Pertanyaan itu selalu ada. Apa yang sesungguhnya ingin dicapai? Kepentingan publikkah atau masih saja kepentingan seniman?
Ketika gerakan Mural di Yogyakarta digalakkan oleh Apotik Komik dan beberapa seniman lain kita menyambut dan mendukungnya dengan harapan ada alternatif ruang bagi seniman (dan masyarakat) berekspresi dan ada alternatif ruang buat publik untuk sejenak terbebas dari serbuan iklan-iklan produk yang bertebaran dimana saja. Namun ketika energi itu berlebihan terasa ada yang mengusik karena dimana-mana kita temukan mural dan mural dan mural yang tidak semuanya sedap dipandang (apalagi dengan kebanyakan artistik yang seragam, berciri pop-komikal dan selalu penuh teks/slogan-slogan) sehingga rasanya kini jadi sulit membedakan mana yang ‘iklan’ mana ‘mural’. Sama saja, sama-sama membuat lelah menghadapinya.
Beberapa seniman telah mulai mengeluhkan hal ini. Alih-alih mendapat pencerahan dari gambar-gambar tersebut tapi justru kumuh, sesak dan sumpek yang muncul. Tidak ada atau jarang sekali kita temukan gambar-gambar kontemplatif semisal berupa hamparan bidang warna polos atau ‘hanya sepotong garis’ (meminjam kalimat Agus Suwage) yang dapat mewakili perasaan tertentu tanpa harus selalu menyertakan slogan-slogan menekan. Terkadang saya jadi pengen bertanya, apakah seluruh Yogya akan dimuralkan? Tidak butuhkah kita bidang-bidang kosong dan bersih yang dapat membuat mata dan pikiran ini sedikit lepas dari bebannya?
Negosiasi yang dilakukan Christo seperti dicontohkan oleh Suwarno Wisetrotomo masih dalam tulisannya di Kompas Minggu di awal artikel ini, sedikit banyak kiranya dapat membantu kita memikirkan kembali betapa pentingnya komunikasi dua arah atau berbagai arah yang intens agar ide seniman dapat terealisasikan dan pengelola-pemilik-pengguna ruang publik paham plus mendapatkan jaminan. Tentu contoh tersebut tidak bisa diharapkan tepat benar dihadapkan persoalan insiden yang mungkin kita sesalkan harus terjadi di BINAL 92 dan Biennale Jogja X kemarin. Christo dapat dengan sabar menunggu 24 tahun menuntaskan negosiasinya karena tidak dikejar waktu kapan harus mengeksekusi “Wrapped Reichstag” karyanya. Dalam kasus BINAL 92 dan Biennale Jogja X panitia dihadapkan pada tenggat waktu yang sudah dipatok dan diumumkan luas kapan perhelatan akan diresmikan dan seringkali pula konsep/rancangan baru diusulkan menjelang hari H. Sehingga semua seakan harus tergesa-gesa yang buntutnya kadang menjadi dipaksakan kehadirannya. Sementara proses komunikasi/negosiasi belum tuntas atau mungkin belum pernah terjadi.
Jadi, mungkinkah kita sebenarnya belum siap benar dengan apa yang kita gembar-gemborkan sebagai ‘public art’ atau seni rupa di ruang publik? Dapat dipahami kiranya apa yang disarankan oleh Aminudin TH Siregar juga dalam salah satu diskusi Biennale Jogja X bahwa, “seharusnya seniman pertama-tama memikirkan menempatkan karyanya di dalam galeri/ruangan terlebih dahulu (sebelum memutuskan menempatkannya di luar ruang/ruang publik)”. Ini karena ia melihat sering karya-karya di ruang publik (termasuk ‘public art’) tidak penting-penting amat ada disana.
‘Public art’ memang bukan perkara yang boleh dianggap mudah walau tentunya juga bukan hal yang salah.
Yogyakarta, 13 Januari 2010
Syahrizal Pahlevi,
perupa tinggal di Yogyakarta.
(dikirim ke Kompas dan Suara Merdeka, TIDAK dimuat)
=========================================================================
SENI GRAFIS, Mengulik Trienal
Tidak terasa sudah dua kali Bentara Budaya membuat perhelatan Trienal Seni Grafis Indonesia. Sejak akhir tahun lalu santer kabar Trienal ketiga-2009 akan kembali diadakan. Bagi kalangan peminat seni grafis, even ini cukup ditunggu tunggu. Kira-kira kriteria dan tema apa lagi yang akan digulirkan oleh penyelenggara kali ini?
Dari dua kali penyelenggaraan: “cukup meriah/banyak peserta/bagus dan seimbang mutu karya” di Trienal pertama dan “biasa-biasa saja/peserta menurun/kurang seimbang mutu karya” di Trienal kedua ( kesimpulan ini berdasar perbincangan penulis dengan Alia Swastika di pembukaan pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II, BBY 2006 lalu dan beberapa pendapat pemerhati lain), tentunya Trienal ketiga ini menjadi PR penyelenggara dalam mencari bentuk spesifik even yang dapat dipertahankan daya tariknya dari waktu ke waktu. Bukan pekerjaan mudah memang, namun juga bukan hal mustahil mengingat Seni Grafis bertumbuh di negeri ini sudah “sejak tahun 1946” (Aminudin TH Siregar, katalog pameran Grafis Hari Ini, BBJ 2008).
Melihat rentang tahun yang cukup panjang tersebut, logikanya seni grafis kita menjalani tahap perkembangan yang terus meningkat dalam segala aspek. Baik teknik, pencapaian tema, jumlah seniman, produksi karya, studio, pameran, workshop, kompetisi, newsletter, perbincangan grafis, bazar, print shop, peminat/konsumen karya dan apresiasi mass media.
Tapi tidak demikian adanya. Keberadaan seni ini masih perlu dukungan.
Aspek penggandaan
Entah bagaimana mulainya dan siapa yang menghembuskan pernyataan bahwa “kelemahan seni grafis untuk bersaing dengan bentuk seni rupa lainnya terletak pada adanya “aspek penggandaan” (yang merupakan konsekwensi logis dari penerapan teknik cetak yang memungkinkan karya grafis dibuat lebih dari satu edisi) ”.....karena itu seni grafis sulit diterima pasar yang lebih menyukai karya tunggal, dan...bla...bla... bla...”.
Lalu sekian pengamat sepertinya sepakat dengan menambahkan bahwa seni grafis tidak akan berkembang jika melulu berkutat pada konvensi yang ada selama ini. Maka mereka mendorong agar seniman mendobrak konvensi tersebut dan kemudian dicarikanlah perwujudannya - yang sebenarnya nampak dipaksakan guna mendukung wacana yang diinginkan. Karya-karya berbasis teknik seni grafis namun disajikan dalam kemasan mixed media, instalasi, objek, dan bentuk silang media lainnya -asal tidak bermain di wilayah seni grafis konvensional- dianggap telah berhasil membuat “kebaruan” sekalipun dengan catatan karya-karya yang dihasilkan terlihat lemah eksekusinya dimana hal ini terlihat dan diakui dari materi pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II yang lalu (lihat tulisan Bambang Bujono “Menembus Batas Kelaziman”, katalog pameran Trienal Seni Grafis Indonesia II 2006, Bentara Budaya)
Apa akibatnya? Seni grafis konvensional tidak menarik dikalangan seniman dan peminat seni. Seniman yang akan berkarya di wilayah ini menjadi ragu-ragu, takut dianggap tidak kreatif atau malah dicap kuno. Sementara peminat seni kehilangan arahan dan kepercayaan dirinya dalam mengapresiasi karya-karya dalam kategori ini.
Wacana yang digulirkan terlalu menggiring publik untuk meninggalkan karya-karya yang berpijak pada konvensi ketat seni grafis hanya atas alasan adanya “aspek penggandaan”. Wacana bukannya menimbang “aspek penggandaan” sebagai keniscayaan sebuah karya grafis dikarenakan potensi berbagai teknik cetak itu sendiri ( tidakkah dorongan seniman membuat karya grafis biasanya justru karena karya ini dapat dicetak ganda/multiple art, selain karakter cetaknya yang khas?)
Dengan kata lain, wacana yang digulirkan tidak mendorong seni grafis kokoh berdiri di atas kakinya tetapi justru berpotensi memurukkannya. Jika seni grafis mencoba ketat dengan konvensinya maka ia selamanya akan dianggap tertinggal alias tidak berkembang.
Melihat kondisi ini rasanya bukan hal mengherankan mendapati Trienal Seni Grafis Indonesia II menurun peminatnya (berkurang 52 peserta dari 146 peserta di Trienal pertama menjadi hanya 93 peserta di Trienal kedua). Penyebabnya bukan karena aspek kondisi dimana kebetulan saat even tersebut dibuka Yogyakarta terkena gempa dahsyat sehingga pegrafis-pegrafis disana tidak sempat ikut serta, sebagaimana dilansir lewat tulisan panitia dalam katalog pameran saat itu. Toh tidak banyak pegrafis Bandung -yang juga gudangnya pegrafis- ikut serta.
Menurut penulis alasan utama mengapa even tersebut kurang diminati dikarenakan frame kuratorial yang tidak memberikan kebebasan pada seniman dalam membuat karyanya (atau justru begitu luas dan bebasnya hingga membuat kriteria karya menjadi tidak fokus?). Berbeda dengan kuratorial pada Trienal pertama, kuratorial Trienal kedua nampak terlalu bersemangat menggiring calon peserta untuk mendobrak konvensi seni grafis hal mana telah membuat enggan sebagian pegrafis mengikutinya. Mereka yang terbiasa bekerja dalam disiplin ketat seni grafis (dan mereka benar-benar menguasai serta bertanggung jawab atas pekerjaannya) sedari awal seakan sudah terpinggirkan. Bila mereka ngotot membuat karya sebagaimana kebiasaan mereka diperkirakan dewan juri tidak akan melirik. Sementara mendobrak konvensi belum menjadi kebutuhan/belum terpikirkan karena apa yang mereka lakukan selama ini justru lebih terlihat sebagai “upaya tiada henti memaksimalkan apa yang disediakan oleh konvensi tersebut”.
Kenyataannya ada yang terasa kurang karena even Trienal kedua terpaksa tidak bisa menampilkan kekayaan teknik grafis yang ditekuni pegrafis kita. Tidak ada teknik mezzotint (teknik cetak dalam dimana acuan cetaknya dibuat dengan proses disain negatif/gambar dimulai dari gelap ke terang) padahal ada penekun mezzotint di Bandung. Tidak ada drypoint (teknik cetak dalam, disebut juga teknik kering dimana acuan cetak dibuat dengan menorehkan benda runcing ke atas plat) yang bagus padahal ada seniman yang gemilang dengan teknik ini. Tidak ada silk screen atau teknik cetak saring/sablon yang artistik padahal kita punya banyak ahlinya. Tidak ada etsa (teknik cetak dalam dimana acuan cetak dibuat dengan proses pengasaman) yang kaya gradasi padahal ada pegrafis yang mengeksplorasi penemuan kecilnya. Sebagian besar karya yang terseleksi ketika itu terasa benar dibuat guna mengusung semangat kuratorial, yaitu perwujudan karya-karya olah “silang media dan teknik” yang sebenarnya tidak cukup menampakkan hasil dari “usaha yang perlu benar” oleh senimannya.
Teknik konvensional
Tentunya segala upaya memajukan seni grafis perlu disambut gembira. Termasuk apa yang telah dilakukan penyelenggara Trienal kedua, 2006 yang lalu. Hanya saja kok jadinya semua seakan terburu-buru. Banyak karya yang justru membuat even tersebut terperosok menjadi aktifitas biasa-biasa saja. Padahal karya-karya pemenang begitu menarik. Sayang khan?
Yang lebih disayangkan adalah bila niat peserta menerobos batasan konvensi tersebut hanyalah reaksi atas wacana yang digulirkan penyelenggara, bisa jadi karya-karya yang dihasilkan kehilangan pijakan dan cenderung bersifat sesaat. Terobosan yang dilakukan diramalkan tidak sampai berlanjut dalam karya-karya mereka diluar acara/kepentingan tersebut. Mereka akan tetap saja konvensional sehari-harinya.
Lain halnya bila niat mendobrak konvensi tersebut didorong atas kebutuhan dari dalam diri seniman: mungkin karena ia telah suntuk dengan teknik tertentu / mungkin ia terlampau trampil dengan suatu teknik atau media hingga butuh tantangan lain dalam membuat karya / mungkin benar ada gagasan yang memerlukan “perluasan media” atau alasan-alasan esensial lainnya. Karya-karya jenis ini niscaya akan lebih bertahan lama karena bertolak dari kesadaran penuh dan didukung konsep yang kuat.
Jadi benarkah konvensi seni grafis wajib diterabas oleh setiap pegrafis?
Tidak adakah peluang berkembang di wilayah konvensi tersebut sehingga kita seolah harus segera keluar dari “kungkungannya” yang membelenggu? Ah,....jangan-jangan sebenarnya kita hanya sedang tidak sabaran dan mencari-cari cara singkat untuk sekedar membuktikan bahwa frame konvensi itu sudah tidak layak lagi?
Padahal sebenarnya jika kita mau menengok kenyataan yang terjadi di lapangan mungkin hasilnya bisa menjadi luar biasa. Eksplorasi pegrafis terhadap teknik-teknik konvensional sesungguhnya masih tetap terbuka, dan mungkin tidak pernah habisnya. Pegrafis perlu diberi dorongan dan kepercayaan bahwa masih banyak yang bisa dilakukan dengan melulu cukil kayu misalnya, melulu etsa atau drypoint, melulu silk screen dan seterusnya.
Lagi pula keadaan tidak seburuk yang dicemaskan pengamat-pengamat tersebut. Bila ditelisik, bukan tidak ada terobosan kreatif sekalipun kecil yang dilakukan pegrafis kita ditengah dinamika perkembangan media seni rupa lainnya..
Dewasa ini karya grafis dari beberapa teknik tertentu banyak “dicoba” dan cukup berhasil dicetak di atas kanvas karena beberapa kebutuhan: membuat karya dalam ukuran besar (yang agak sulit dipenuhi oleh media kertas karena ukurannya biasanya terbatas) / agar praktis penyajiannya (tidak memerlukan frame kaca selayaknya tampilan karya medium kertas) / lebih awet dan mudah perawatannya (sebetulnya hal ini relatif sifatnya karena media kanvas tidak serta merta menolak jamur datang dan anti sobek) / sampai agar dapat bersaing dengan seni lukis (karena kebanyakan lukisan dibuat diatas kanvas?).
Terobosan lainnya (walau bukan hal baru) beberapa seniman mengkreasi kembali edisi-edisi cetakannya dengan sentuhan tangan langsung (hand touching/hand coloring) untuk kebutuhan: karena muncul ide baru atas karya tersebut / tidak puas dengan hasil cetaknya / agar menonjol aspek sentuhan langsung sebagaimana sebuah lukisan / keinginan membuat masing-masing edisi terlihat berbeda sehingga publik teryakinkan bahwa karya tersebut dapat dianggap karya tunggal sejajar dengan lukisan -suatu term yang lebih popular dan mereka mengerti. Ini sekedar contoh praktek yang marak terjadi.
Sedang praktek lebih jauh yang juga banyak dilakukan pegrafis belakangan ini adalah “perluasan seni grafis”. Dalam hal ini teknik cetak diperlakukan bukan lagi sebagai elemen utama pembentuk karya, ia bisa jadi sekedar sampiran atau pelengkap tampilan visual yang keberadaannya kurang dari 50% dari keseluruhan elemen karya.
Penjurian
Seperti diketahui dalam seni grafis aspek teknik sangat menentukan dalam mengeksekusi sebuah karya. Berbeda pilihan teknik akan berbeda pula hasil cetaknya. Berhasil tidaknya sebuah cetakan yang diinginkan seniman bergantung pada tertib tidaknya ia dengan tahapan-tahapan teknik cetak itu sendiri.
Menimbang kenyataan tersebut, peranan teknik ini sepantasnya menjadi hal mutlak yang tidak perlu ditawar lagi dalam memilih karya peserta sekelas Trienal Seni Grafis. Sistim penjurian yang diterapkan hendaklah memberi peluang besar adanya “kontrol teknik” yang ketat atas karya yang dipilih, yang tidak mungkin tercapai hanya lewat pengamatan foto yang dikirimkan peserta. Model penjurian di dua Trienal Seni Grafis Indonesia yang terlalu lunak selama ini (hanya berdasarkan seleksi foto karya untuk menjaring finalis) ternyata beresiko menampilkan karya-karya yang sebenarnya tidak layak pamer namun harus tetap diikut sertakan karena telah lolos seleksi. Di beberapa kompetisi grafis internasional biasanya menerapkan 2 tahap seleksi: Setelah penyeleksian lewat foto, ada seleksi lagi berdasarkan karya asli untuk mencari finalis atau peserta layak pameran dan barulah setelah itu ditentukan karya pemenang. Memang konsekwensi penjurian seperti ini menyebabkan bertambahnya “bea pengeluaran” panitia karena akan ada karya yang dikembalikan ke peserta sekalipun karya itu telah lolos seleksi foto (Malah di beberapa even penjaringan peserta hanya berdasarkan kiriman karya langsung, tanpa melalui seleksi foto, yang menunjukkan betapa pentingnya pengamatan atas kualitas teknik sebuah karya cetak grafis). Dengan model penjurian yang baru ini kualitas pameran karya-karya finalis lebih terasa wibawanya sehingga kedepan diharapkan tidak ada lagi keluhan penonton yang terganggu karena beberapa karya peserta nampak belepotan /kotor/tidak presisi cetakannya.
Akhirnya,.....rasanya masih tetap relevan setiap berbicara seni grafis kita juga membicarakan: “bagaimana meresapnya tinta di atas materi yang menjadi landasan cetaknya ( baik itu kertas, kanvas atau materi-materi lain yang dicobakan seniman )”.
Yogyakarta, 8 Maret 2009
Syahrizal Pahlevi
Perupa, peminat grafis
(dikirim ke Kompas, TIDAK dimuat)
Langganan:
Postingan (Atom)